Pulang Kampung: Cerita dari Kota Lawas

by - 1:57 AM


Lebaran adalah momen yang digunakan oleh mayoritas umat Islam di Indonesia untuk bersilaturahmi kembali ke sanak saudara yang ada di kampung halaman. Entah dari mana budaya ini berasal dan berkembang (yang pasti bukan dari Arab, karena di Arab sendiri saat hari Eidul Fitri tiba mereka hanya merayakannya di rumah sambil menggemakan takbir) tapi libur Lebaran menjadi liburan terbesar untuk seluruh masyarakat Indonesia.

Dan di tahun ini saya dan keluarga berkesempatan untuk benar-benar pulang kampung. Karena selama ini kami hanya ikut-ikutan 'hype' pulang kampung yang ada di hari Lebaran saja. Biasanya kami pulang ke kampung orang lain di saat lebaran. Kami menggunakan momen lebaran untuk jalan-jalan keliling kota atau berwisata ke daerah yang belum pernah kami kunjungi seperti Jogja atau Cirebon. Tapi, di tahun ini, rumah impian Mama di kampung halamannya, Koto Laweh, Padang Panjang, Sumatera Barat, telah jadi. Maka, seminggu sebelum lebaran tiba kami memutuskan untuk benar-benar pulang ke kampung dan menikmati villa kami di sana.

Berada di kaki gunung Singgalang dan dikelilingi ladang padi dan perkebunan cabai di seklilingnya, membuat saya yakin kalau dari sinilah lukisan pemandangan alam yang biasa dibuat anak-anak SD tercipta. 
atas: pemandangan dari jendela kamar villa kami. bawah: lukisan pemandangan kebanyakan anak SD

Tanah Pusaka
Koto Laweh atau kalau dibahasa Indonesiakan, Kota Lawas. Sebuah desa kecil yang berada di antara Gunung Merapi dan Gunung Singgalang yang dimana jalanannya sering digunakan banyak pemudik sebagai jalan pintas antara Bukittinggi dan Padang Panjang. Jangan pernah berharap bisa mendapatkan alamat lengkap untuk mengunjungi ke rumah yang ada di daerah ini. Karena, masyarakat di sini hanya tahu beberapa nama tempat yang dikenal dan biasanya mereka hafal siapa saja orang yang tinggal disekitar situ. Contohnya, seperti villa rumah saya berada di jalan turunan setelah pertigaan yang ada di Balai Gadang. Untuk memperjelas jalan ke arah rumah, saya harus menggunakan kata kunci lain seperti Kandang di Guguak atau Gunung Singgalang. Dengan tiga keywords itu, siapapun yang tinggal di daerah Koto Laweh sudah tahu rumah siapa saja yang ada di kawasan itu. Dan biasanya mereka kenal karena mereka juga bertalian saudara entah dun sanak keluarga pasangan) atau bako (keluarga ayah). Dan memang tidak terlalu banyak sih, di sekitarnya saja mungkin hanya 4-5 rumah yang ada.

Penunjuk jalan yang ada di depan Balai Gadang. Jadi, cukup jelas dimana lokasi Koto Laweh ini kan?


Dan berbeda dengan Bukittinggi atau kota Padang yang mungkin pemukimannya juga sudah dihuni oleh warga pendatang dari pulau Jawa atau daerah lainnya. di Koto Laweh ini sudah dipastikan 100% orang Minang asli yang bisa membangun rumah di sana. Kenapa? Karena hampir seluruh tanah yang ada di desa ini adalah tanah warisan pusaka. Apa artinya? Artinya tiap inchi tanah di daerah Koto Laweh ini merupakan warisan dari peninggalan keluarga terdahulu, yang mungkin sudah ratusan tahun yang lalu. Dan, perbedaannya orang di desa ini dengan desa-desa yang ada di Jawa sana, walaupun tanah mereka tak bersertifikat (karena ratusan tahun yang lalu mungkin sistem administrasi negara mungkin belum tersentuh oleh mereka) tapi tiap keturunannya sudah di beritahukan yang mana saja warisan mereka. Dan seperti kita ketahui bersama, suku Minang adalah satu-satunya suku di Indonesia yang menganut Matriarki. Itu artinya garis keturunan dan warisan turun di anak perempuan. Anak perempuan dari orang tua suku Minang memiliki hak waris dua kali lipat lebih besar dibandingkan anak laki-lakinya. Tidak hanya itu, anak laki-laki dari suku Minang diharuskan untuk merantau ketika usia dewasa sedangkan anak perempuannya yang menjaga tanah pusaka.
Rumah atau villa kecil milik keluarga Mama saya (sebelah kanan), yang berarti akan jadi milik saya dan sepupu perempuan saya kelak. Di belakangnya adalah pemandangan Gunung Singgalang.

Dari apa yang saya sering beritahukan, tanah warisan atau tanah pusaka tidak bisa seenaknya di jual belikan kepada orang lain. Harus ada persetujuan dari keluarga perempuan lainnya untuk mengadakan jual-beli tanah pusaka. Dan kalaupun tidak di jual, tanah pusaka akan terus diturunkan ke anak-cucu- dan cicit perempuan dari garis keturunan keluarga tersebut. Bagaimana jika diujung garis keturunan tidak ada lagi anak perempuannya? Hak waris tanah dikembalikan ke keluarga besar. Jadi, sangat sulit untuk bisa membebaskan tanah pusaka dari suku Minang. Akibatnya, apa yang saya lihat dari kampung Koto Laweh di tahun 1995 dengan di tahun 2017, tidak terlau banyak perubahan. Jangan harap pemerintah bisa mengambil alih tanah-tanah tak bersertifikat yang ada di tanah pusaka, karena aturan adat yang ada di Sumatera Barat lebih galak ketimbang pemerintahannya. Terdengar rasis dan kuno, tapi, saya akui, ke-keras kepala-an orang-orang Minang-lah yang mampu menjaga ke asrian daerah dan lingkungannya.

ibu saya menikmati waktu seusai silaturahmi dengan keluarga dengan memberi makan ikan di tabek 


Kalau tidak karena tegasnya adat mereka soal tanah pusaka, saya rasa, hanya butuh kurang dari 10 tahun desa yang saya tinggali ini sudah dijajahi hotel dan bungalow bintang lima. Sampai hari ini, mini market sejenis alfamart dan Indomart masih belum menyentuh tanah minang, setidaknya tidak ada di sepanjang Padang Panjang hingga Bukittinggi. Jangan pernah berharap jalan-jalan di kampung saya dengan teknologi aplikasi transportasi, syukur-syukur dapat sinyal. Bagi saya yang memang tengah mencari momen untuk menenangkan diri dan menjauhi keramaian, lebaran di desa ini benar-benar pilihan yang tepat.

Walaupun di tiap pojokan jalan tidak ada alfamart, setidaknya di kampung ini saya bisa berfoto instagram di ladang padi yang tengah menguning. Tiap ganti sudut, berganti pula latar belakang pemandangan yang ditawarkan. mungkin itu mengapa jaman dulu banyak penyair dan penulis sajak ternama lahir di Sumatera Barat. Pemandangannya romantis dan cuacanya mendukung untuk selalu berkontemplasi.


Mata Pencaharian Penduduknya
Di desa kecil ini, bisa dibilang, lebih banyak ladang dan kebun ketimbang perumahan warganya. Jadi, hampir 90% keluarga yang ada di desa ini bermata pencaharian petani. Adapun hasil tani yang biasa dipanen dari desa ini adalah Cabai, Bawang Merah, dan Sayur Mayur. Mereka juga memiliki ladang padi yang luas, tapi tidak seluas di daerah Solok. Makanya Bareh Solok lebih terkenal dibandingkan daerah lainnya.
cabai merah yang umurnya sudah harus dipetik dibiarkan di pohon oleh para petani. Mereka menganggap upah petik cabai dengan harga perkilonya tidak sebanding. Dan Mama saya terlihat bahagia melihat cabai merah.

Sayangnya para petani ini masih teramat sangat bergantung dengan penjualan hasil tani di pasar tradisional. Contohnya waktu saya pulang kemarin, harga cabai keriting di Koto Laweh mencapai Rp 7.000 - Rp8.000/ kilo. Padahal di hari yang sama, di Jakarta harga cabai keriting merah masih berada di Rp35.000 - R 40.000/kilo.Hal ini dikarenakan lonjakan harga cabai keriting merah yang luar biasa berlebihannya di tahun 2016 lalu yang mencapai Rp 120.000/kilo. Karena kejadian tersebut banyak petani yang mengubah ladang sayur mayurnya menjadi cabai merah. Dan, kini, saat panen ketiga setelah kejadian tersebut, yang ada pasar-pasar di sekitar Padang Panjang memiliki stok cabai keriting merah yang berlebih. Karena merosotnya harga tersebut banyak petani yang membuang cabainya atau bahkan sengaja membiarkan cabainya membusuk di pohon.

Dan jujur saja, hal ini sempat membuat saya miris. Untuk daerah penghasil cabai, dengan masyarakat yang mayoritasnya mengkonsumsi cabai sebagai makanan sehari-hari, anjloknya harga cabai ini merupakan sebuah ironi terbesar yang pernah saya saksikan langsung. Sempat terbesit di benak saya, kenapa sih, orang Padang ini tidak ada yang mau membuat sambel kemasan sebagai oleh-oleh? Surabaya bukan penghasil cabai tapi sambel ibu Rudy terkenal sekali sebagai oleh-oleh Khas daerahnya. Dan, yang saya tahu semua orang dari semua suku sudah pasti pernah makan "sambal lado" bahkan sampai jadi lagu oleh pedangdut Ayu Ting Ting. Masak sih, enggak ada orang pintar dan kaya raya dari daerah ini yang mau membuat "Sambal Lado" kemasan khas Koto Laweh atau Padang Panjang. Kalau ada bisnis sejenis ini, setidaknya petani Koto Laweh dan Padang Panjang tidak harus melulu menggantungkan nasibnya kepada harga pasar tradisional.

Saya sempat berpikir membuat bisnis sejenis ini dengan ibu saya, tapi karena usia dan minimnya pengalaman bisnis sejenis Mama saya berkilah kalau membuat bisnis ini terlalu banyak resikonya. Ayah saya bilang "belum lagi kalau produknya ditiru orang," jujur saja, kalau bisnis khayalan ini bis aditiru orang banyak saya justru senang. Setidaknya petani cabai di kampung saya ini banyak pilihan konsumen. Tidak hanya yang ada di pasar.

Tata Krama Bicara dan Budaya
Dua hal ini yang ampun-ampunan rasanya saya lakukan tapi paling kecil dampaknya. Di kampung ini, orang-orangnya tidak hanya diharapkan sopan dan patuh pada yang tua tapi juga supel dengan sesama. Well, jelas itu sangat berat untuk saya. Bukan di bagian hormat dan patuhnya tapi di bagian supel. Dan mereka tidak main-main soal supel. Karena jika kita terlihat oleh orang kampung dan tidak menyapa mereka, maka keluarga kita bisa dibicarakan oleh mereka. Dan, seperti kebanyakan uni-uni berkerudung yang ada di Tanah Abang dibilang "sombong" adalah salah satu penghinaan sosial tertinggi di ranah Minang (berlebihan? Nope! Kalau kamu orang Padang coba sesekali pulang ke kampung gih, dan coba sesekali main melengos aja ketemu keluarga. Kalau enggak kena marah!)
Le Familia. Kalau dijelasin satu persatu talian saudaranya bagaimana dan seperti apa bisa satu Lebaran lagi juga enggak kelar. Pokoknya yang muda-muda jatuhnya sepupu dan yang yang gaek panggilnya etek.

Saya bukan orang yang mudah berbincang dengan orang lain. Bukan karena saya sombong, angkuh, atau apalah namanya (percayalah saya enggak punya apa-apa untuk diangkuhin) tapi karena saya sendiri bukan orang yang ekstrovert. Kalau sudah dekat saya memang bisa terbuka- seterbuka-bukanya orang. Bisa hal-hal remeh saya ceritakan dari diri saya, tapi untuk menyapa orang duluan? basa-basi sosial yang tak tentu arah? Apalagi berbicara langsung dihadapan banyak orang? Arghh lupakan! Saya lebih baik mengurung diri di kamar.

Dan menurut saya kewajiban untuk ngobrol dengan ini ada baik dan buruknya sih. Well, kebanyakan sih baik. Karena jadi tahu kondisi keluarga yang ada, memperjelas siapa anak siapa dan dari mana (wihh, ini sih paling wajib banget saat masuk ke kawasan kampung ini. No strangers allowed banget deh!), buruknya ya paling jadi ada kesempatan buat nanya-nanya gak penting "kapan kawin? beranak? nguliahin anak? mantu?" itu tuh dosa yang paling besar dari silaturahmi keluarga.

Tapi, hal yang paling mengejutkan untuk saya adalah beberapa orang Minang ternyata ada yang percaya dengan hitungan hari dan bulan untuk menentukan hari bagus. Saya enggak bohong! Saya pikir pikiran klenik dan mistis cuman miliki orang jawa semata, ternyata di Kota Padang Panjang yang berslogan "Serambi Mekkah"-nya Sumatera Barat ini juga percaya hal-hal tidak masuk akal tersebut. Di daerah lain, bahkan ada namanya Sungai Terlarang, dipercaya sungai ini tidak boleh dipakai memancing. Jika tetap memancing, hasil pancingan yang didapat bisa menimbulkan bahaya. Well, at least, cerita klenik terbesar yang mereka punya jelas legenda "Malin Kundang". Cerita karangan rakyat yang berujung jadi "legenda" ini memiliki maksud yang baik, supaya tidak durhaka dengan orang tua.

Walaupun memahami adat yang ada di kampung halaman ini sedikit aneh dan membingungkan (enggak sedikit deng, teramat sangat membingungkan), tapi jujur saja libur lebaran kali ini adalah liburan terbaik saya di 2017. Saya berkesempatan menjelajah area wisata terbaik yang ada di Sumatera Barat, belajar bahasa Minang, bisa berbincang dengan warga lokal. Dan semua bisa terjadi karena minimnya koneksi internet dan dinginnya cuaca di sana.

Saran saya, bagi kalian para manusia urban; orang-orang yang enggak bisa lepas dari koneksi internet 24 jam, minum starbucks setiap pagi, selfie tiap habis nge-gym, jika kalian punya kampung halaman saya sangat sarankan untuk pulang kampung. Bukan untuk meramaikan isi Instagram dengan foto-foto kampung halaman (walaupun saya juga melakukan itu sih) tapi mempelajari asal-usul keluarga bisa membuka cakrawala diri. Walaupun sudah sering jalan-jalan kesana-kemari, sampai Eropa atau Tanah Suci, bagi saya mengetahui siapa asal usul diri membantu kita menerima kekurangan dan kelebihan diri sendiri.  

"The best day of your life is the day when you were born and the day you found out why"



You May Also Like

0 comments