No, marriage is not your final destination and it is not for everyone!

by - 8:45 AM



Sudah hampir tiga bulan saya menikah. Dengan pria pilihan saya. Saya tidak mengada-ada, saya benar-benar memilih dia untuk menjadi pasangan saya. Setelah beberapa orang yang saya kenal dan jajaki secara langsung maupun aplikasi kencan digital, entah mengapa semesta mendukung akan hubungan saya dan suami.

Di bulan Agustus tahun lalu, kami "matched" di sebuah aplikasi kencan. Kami ngobrol seadanya, tidak ada yang spesial, dan seperti kebanyakan cerita cinta digital, kami pun tidak bertukar kontak yang mengindikasikan akan adanya kemungkinan kontak lanjutan. Hingga akhirnya beberapa minggu kemudian, sebuah pesan masuk ke inbox direct message di akun Instagram saya. Dia kembali memperkenalkan diri dan mengatakan kalau dirinya baru saja menghapus aplikasi kencan setelah chatting dengan saya. Wah, gombal juga rupanya. Karena saya lumayan sudah kenyang kena rayuan gombal digital, mulai dari yang serius, becanda, sampai yang ada maksud MLM di baliknya, saya pun menjawabnya seadanya. Jelas saya tanyakan apa yang membuat dia begitu yakin dengan saya? Ketemu fisik saja belum pernah. Dan satu jawaban dia yang hingga hari ini kata-kata tersebut belum terhapus dari inbox DM Instagram saya yaitu, "Gak tahu, ngerasa yakin aja".


Dan satu jawaban dia yang hingga hari ini kata-kata tersebut belum terhapus dari inbox DM Instagram saya yaitu, "Gak tahu, ngerasa yakin aja".

Tapi kami tidak memutuskan apa-apa. Saya anggap pesannya itu sebagai bentuk ekspresi dia terhadap diri saya, dan saya pun tidak merasa ada hal yang perlu ditelaah lebih jauh lewat pesannya tersebut. Minggu berganti bulan. Komunikasi kami enggak lebih dari dm-dm di inbox Instagram. Entah dia menyakan perjalanan saya ke Nepal, atau foto-foto lama saya waktu di Jepang. Mungkin orangnya sedang ingin cari inspirasi travelling, begitu pikir saya. Tapi itu tidak berlangsung lama, hampir 3 bulan dia tidak lagi men-DM saya. Mungkin sudah menemukan wanita lain yang lebih antusias menanggapinya, saya pikir.

Semua mulai berubah ketika Mama saya mulai serius memperkenalkan saya dengan seorang pria. Orang Padang, baik kok, cuman kok ya sepertinya, sedikit militan dalam beragama. Tidak ada yang salah sih, toh saya juga masih dalam masa pembelajaran dalam menjalani agama ini. Tapi kok, ya, saya semakin lama semakin risih. Bukan risih dengan kemilitannya. Tapi risih dengan kondisi saya yang terus-terusan disuruh menyeriusi hubungan saya dengan pria ini. Tante saya sudah berkoar-koar kalau akhir tahun 2018 mereka akan pulang ke Padang dan memberi tanda kepada keluarga sang pria untuk sebagai tanda lamar. Sementara saya benar-benar tidak merasa nyaman dengan komunikasi kami. Mungkin sayanya aja yang gampang menghakimi, tapi kok ya saat saya sedang gundah gulana akan kehadiran si pria militan agama ini, tiba-tiba orang yang tiga bulan tidak terdengar kabar kembali memberikan pesan lewat DM Instagram. Tidak ada halo ataupun apakabar. Kalimat pertama yang ia tuliskan adalah "maaf tiba-tiba ngilang, baru saja selesai masa PraJab. Baru bisa pegang handphone lagi"
Saat itu saya cuman bengong membaca pesan. Saya saja lupa dengan siapa saya saat itu berbicara, boro-boro mau ngeh kalau dia lagi ngilang. Akhirnya, saya kembali membaca pesan-pesan terdahulu sehingga saya ingat kembali apa saja yang pernah kami bicarakan. Kami pun berbincang cukup lama. Sekali lagi, tidak ada yang terlalu berat ataupun terlalu intense. Hanya bertukar kabar dan membicarakan film apa yang tengah seru di minggu itu. Saya rekomendasikan dia film "Bohemian Rhapsody" untuk ditonton. Ia pun menyanggupi, dan janji akan nonton film itu ... sendiri. Hahaha, karena posisinya saya sudah nonton dan sekali lagi saya enggak ada kepikiran hubungan kami mampu keluar dari DM.

Keesokan harinya, ia mengatakan kalau dia sudah nonton film itu. kami pun saling bertukar review. Dari situ saya tahu kalau selera musiknya lumayan bagus. Dan buat orang seperti saya, selera musik salah satu deal breaker. mau Anda tuh kaya raya, mobil seminggu sekali ganti tapi ternyata fanboy K-Pop yang hardcore, mohon maaf rada susah saya naksirnya. Oke balik lagi ke jalan cerita. Dari perbincangan ngalor ngidul itu, akhirnya dia mengindikasikan kalau dirinya sesekali mau main ke daerah BSD. Saya pun memberitahukan opsi-opsi angkutan umumnya. Dia pun berjanji kapan-kapan akan mencobanya. Saya pun dengan santai menjawab "oke kabarin aja ya!"

Belum sempat dia ketemu waktu liburnya, di minggu itu saya dapat tugas ke Surabaya. Mengantar salah satu artis dari label saya untuk main di acara media online nasional. Dengan akomodasi Garuda yag cuman ada di terminal 3, saya teringat kalau si dia yang enggak pernah melampaui DM Instagram ini, untuk menemui saya di terminal 3 keberangkatan. Penerbangan kami pukul 11 siang, dan saya sudah datang lebih awal untuk menepati janji yang sudah saya buat sendiri. Ada rasa deg-degan karena saya akan bertemu dengan orang asing yang cuman saya kenali lewat internet. "Gimana kalau dia bohong dan sebenernya enggak kerja di sini?" , "Gimana kalau aslinya dia udah punya istri? (been there done that)", "Gimana kalau begini begitu", biasalah pemikiran negatif merangsang saraf untuk membuang hal negatif. Begitu saya sampai di bandara, saya langsung mules dan buang air. Begitu selesaikan hajat saya bilang ke diri saya sendiri "it just a meeting, kalau emang dia mengecewakan toh lo gak berhutang apa-apa saa dia? Lo gak menjanjikan apa-apa sama dia? Nothing should happen after this meeting Gita, it just a casual meeting"
Dan akhirnya kami bertemu di taman yag ada di terminal 3. Orangnya cukup kaku waktu saya pertama kali ketemu. Tapi setelah ngobrol lama, saya menyimpulkan "oh ya, mungkin karena dari daerah ya!". Bukannya saya mau merendahkan orang daerah, justru karena kental tata krama daerah yang masih si mas ini bawa dlam pertemuan kami lah yang membuat saya enggak se-takut dan se-curiga. Kalau ngobrolnya udah luwes sok asik ketawa haha hihi sambil ngerokok itu justru yang bikin saya males.

Kami ngobrol enggak begitu lama. Sekitar setengah jam, enggak lama tim manajemen artis beserta artis yang akan saya bawa ke Surabaya sampai di bandara. kmai pun berpisah. Tidak lupa sambil bertukar nomor handphone. Pikir saya, yasudahlah, 'what the worst thing could happen' sih

Setibanya saya sampai di Surabaya, ibu saya telfon, kalau orang yang ia jodohkan dengan saya (si mas militan agama, remember?) mau datang ke rumah. "Kamu katanya janjian mau ketemu Bang Jojo hari ini? Dia mau ke rumah loh". Asli saya lupa selupa-lupanya. Saya pun langsung telfon si abang militan ini, dan bilang kalau saya lagi enggak di rumah. Saya lagi di luar kota. Tapi dengan sigap dia mengatakan "Gakpapa dek, abang cuman mau ketemu sama mama aja. Mau ngobrol-ngobrol, kan udah janji waktu di kawinan itu kalau abang mau ke rumah kan?". Holly shit. Perdana banget saya pengen banget loncat dari lantai 15 hotel Citra Artpreneur Surabaya. Gimana sih, orang ini udah ditolak secara halus juga masih kekeuh. Dan yang lebih bikin saya frustasi lagi, ibu saya mendukung hubungan ini. 

Malamnya, adik saya telfon. Adik saya tahu persis kalau saya enggak mau banget dengan orang ini. Dia bilang "Uni, lo mau pulang jam berapa? Kalau sekiranya nyampe rumah jam 8an, mending lo tunggu di luar dulu ya. Soalnya ini si abang Jojo bilang dia mau nungguin lo pulang. Gue tadi bilang ke mama kalau elu pulangnya tengah malem". Maderfaker. Gila banget udah kayak mau dicegat di sama preman pangkalan ini rasanya. Dan, emang nyatanya di tiket pulang saya memang tulisannya landing di Jakarta jam 8 malem. Dan sepanjang perjalanan saya enggak pernah berdoa hal buruk terjadi di pesawat, tapi saya berharap kali ini aja Garuda itu delay. Dan ternyata ya kawan-kawan, kalau kita berdoa jelek untuk kemaslahatan umat banyak, insya Allah do'a kita pasti ... tidak akan terkabul. Karena dari yang tulisan di cetaknya landing jam 20.10, saya keluar pesawat jam 20.00. Kopet!

Sambil cek-cek ombak saya tanya ke adik saya via Whatsapp, "gimana udah pulang?". "Udah, katanya dia enggak enak lama-lama di rumah, dan katanya mau janjian lagi sama elu untuk ketemu berdua aja di luar", jawab si Ifan. Dan bener aja, gak lama si abang Jojo ini nelfon saya, yang intinya ngajakin ketemuan berdua aja di Jakarta, ngobrol-ngobrol lah, apalah. Dan lagi-lagi saya tolak dnegan bilang, "Iya bang, tapi kalau hari kerja Gita udah capek banget, pulangnya jauh. Dan kalau weekend malas main ke Jakarta," gila belagu banget gak jawabannya minta di slepet sarung plintir. "Oh yaudah, kalau gitu, wiken ini baang main lagi ajalah ke BSD, gakpapa kok, hehe," OHSYIT! WAII!!!

Besokannya mama saya dengan sumringah menjejeli saya kekagumannya dengan si bang Jojo ini. Yang dia usahanya udah maju lah. Yang dia agamanya baguslah. yang dia aslinya pinter banget lah. apalah. You name it. Saya pun mulai terbuka sama mama kalau saya sebenernya enggak sreg dengan pilihannya ini. Dan saya minta untuk enggak mendesak yang harusnya mendesak. Daaann, seperti yang bisa dibayangkan, seorang mamak mamak minang kalau ngomel itu enggak mungkin cuman satu topik aja. mulai dari topik "kewajiban menikah", topik "kebahagian berumah tangga", lalu "contoh-contoh perempuan yang telat menikah di dalam keluarga yang jadi buah bibir keluarga", you know topik-topik yang saya gak pernah jadi beban pikiran saya. 

Cuman saya tahu ini beban pikiran beliau. Beban yang sangat sangat berat. 

Dan, di masa-masa itu, saya inget banget, enggak luput di tiap solat saya, saya berdoa sambil menangis. Enggak menangis kaleng-kaleng ala FTV. Bener-bener nangis sambil meneteskan air mata. Enggak saya enggak minta ke Allah untuk dijauhkan dari pria yang begitu diyakini oleh ibu saya. Kali ini perminta saya enggak muluk-muluk sama Allah. "Ya Allah, jika memang dia yang sudah Engkau Jodohkan kepada hamba, maka bukakanlah pintu hati Hamba. Yakini dan kuatkan hati hamba untuk menjadikannya pasangan hidup Hamba. Hamba pasrahkan semua kepada Engkau Pemilik Takdir"


"Ya Allah, jika memang dia yang sudah Engkau Jodohkan kepada hamba, maka bukakanlah pintu hati Hamba. Yakini dan kuatkan hati hamba untuk menjadikannya pasangan hidup Hamba. Hamba pasrahkan semua kepada Engkau Pemilik Takdir"


Pasrah.

Enggak ada yang bisa saya lakuin lagi. Kalau memang itu pilihan yang ibu saya yakini, saya ikut.

Sampai akhirnya, di akhir November. ditengah kerempongan tantet-tante saya yang heboh mau pulang kampung sambil bawa tanda ke keluarga bang Jojo. Saya, mama, dan adik saya sempat ada perjalanan ke Thailand. Saya ingat hari itu, hari jumat, dan penerbangan kami tepat pukul 13.30 siang dengan AirAsia. Perjalanan yang bisa dibilang enggak bisa saya lupakan. Karena ini jadi perombakan hati yang terombak-rombaknya. Haha, lebay. 

Okey lanjut. Karena saya kembali akan ke terminal 3 Soekarno Hatta, saya ingat kalau saya punya kenalan yang kerja di sini. Sok playful dan tanpa ada rasa gimana-gimana saya bilang ke si mas Soekarno Hatta ini, "eh saya besok mau ke thailand terbangnya lewat terminal tiga. Kalau mau ketemu lagi boleh lho!". Dia pun menyanggupi. Dengan berbekal informasi tujuan dan nama pesawat saya, kami pun berjanji akan bertemu di tempat yang sama. Pikir saya, hanya sekedar "say hi" kan gakpapa. 

Keluarga saya yang hobi nongkrong lama di bandara, di hari itu tumben-tumbenan mepet banget berangkatnya. Kami sampai di bandara tempat pukul 11.30. Memang masih lama menuju take off, lah ya tapi kan ini waktu kepotong solat jumat. Alhasil, adik saya yang emang ada wajib jumatan langsung terpogoh-pogoh nyari mesjid. Saya pun yang udah janjian dengan si mas bandara ini pun gak berharap banyak, pasti dia juga udah siap-siap solat jumat. Justru saya kecewa berat kalau dia ninggalin solat jumat cuman buat ketemu saya. 

Kelar solat jumat, saya pun mengirim beberapa pesan ke si mas bandara ini. Ynag dimana isi pesannya lebih kearah saya pamit mau masuk ke imigrasi dan menuju pesawat. Saya juga bilang kalau lain kali saja kami janjian berjumpa lagi. 
Dengan waktu yang sudah teramat mepet dengan waktu take off, saya bersyukur banget dengan mobil golf di bandara yang mampu nganterin penumpang ke ujung terminal. Pas banget jam 13.00 saya sampai di depan gate. Sampai akhirnya pas giliran saya untuk masuk ke pesawat anehnya tiket saya dan adik saya ada kesalahan teknis gitu. Mendadak petugas ticketing di depan pesawat bilang kalau tiket saya dan adik saya sudah hangus. WHAT!! WHAT!! Alhasil saya dan adik saya gak bisa masuk dong. Melihat kami berdua gak bisa masuk, mama saya yang udah masuk duluan, langsung keluar lagi. Dia bilang kalau, dia enggak mau ikut erbang kalau kami berdua enggak bisa masuk. Dan petugas ticketing pun menjelaskan kalau ada kesalahan teknis sedikit, jadi bukannya enggak bisa masuk, cuman agak repot harus di masukin manual data-datanya lagi. Meanwhile kan yaa, waktu terus berjalan, tinggalan saya bertiga di depan gate meratap pintu masuk menuju Thailand. "So close yet so far". 

Dan enggak lama, kayak ada yang nepok bahu saya dari belakang, saya pikir petugas dari AirAsia yang mau bantuin permasalahan tiket ini. Tau taunya... ya... seperti yang sudah diduga. Si mas bandara yang punya airport pass dan juga hehe, immigration badge. Saya lupa kalau dia bisa nyamperin saya sampai depan gate. Dengan terpogoh-pogoh dia nanya "ada masalah masuknya?". Saya yang sempat bingung, kaget, tapi dalam hati seneng. Seneng 'eh kok ya ada sih orang yang mau segininya banget ke gue'. Lebih keperasaan gitu. Tapi cepat-cepat saya menanggapi, 
"Iya nih, enggak tahu, katanya tiketnya bermasalah. Jadi harus di input ulang,"
"Oh, tapi aman"
"Kayaknya sih,"
Sambil ngobrol saya merasa ada tatapan dingin dari punggung dan menembus hingga sanubari saya. Sontak jiwa raga ini membalikan badan dan memperkenalkan si mas dengan mama dan adik saya.
"Oh ya mas, kenalin ini mama sama adik aku, ma kenalin ini namanya mas Aji. Dia kerja di Imigrasi bandara sini,"
"Oh, halo, ya"
Entah apa yang mas Aji dan mama saya bicarakan, karena enggak lama petugas gate memanggil saya dan memberikan tiket dan nomor kursi baru untuk saya dan adik saya. Kesal sih, tpai yaudah lah, dari pada enggak jadi sama sekali ke Thailand.
Saya pun mengucap pamit ke mas Aji, dan berjanji akan menghubungi sesampainya di negeri gajah putih. Dan seperti dugaan saya, sepanjang perjalanan, di dalam pesawat mama saya membredel saya dengan segambreng pertanyaan yang saya jawab sebisanya. "Dia siapa?", "kenal dimana", "kamu kok kenalan sama cowok lain sih dalam status lagi sama bang jojo begini", "emang hubungan kamu sejauh apa?", "kamu yakin dia cowok bener?","gak baik tau Git, kamu ini lagi mau dijodohin gini terus bawa-bawa orang lain", "kamu tau lagu ayam den lapeh? siku capang siku lapeh, itu sifat yang kamu lagi lakuin sekarang. Yang satu belum tentu jadi, kamu udah bawa orang lain lagi, hasilnya semua lepas", wah pokok lengkap deh nasehat bundo kanduang. 
Love - Hate Relationship since 1990
Kesayang akuh

Tapi anehnya, saya enggak merasa terganggu dengan rentetan pertanyaan mama. Untuk pertama kalinya saya senyum-senyum sendiri melihat tingkah laku mama. Padahal belum tentu juga si mas ini mau nikahin saya. Tapi membahas tentang si mas dan prospek apa yang saya miliki dengan si mas dengan mama, jujur buat saya happy. Walaupun belum ada yang pasti. Toh, dia mungkin merasa enggak enak aja karena udah janji ketemu dan bukan tipe orang yang mau membatalkan. Atau mungkin aja dia sering melakukan itu ke perempuan lain, saya enggak tau juga. Yang saya tahu, waktu itu, di momen itu, saya merasa sangat dihargai. Untuk pertama kalinya, saya merasa diutamakan. Perasaan yang belum pernah saya rasakan dalam hubungan antar manusia manapun selama 28 tahun hidup. Sama orang tua, saya harus mengutamakan orang tua. Sama adik, harus bantuin adik dalam apapun. Sama temen, kadang ngorbanin waktu leha-leha dan perasaan sendiri demi nemenin mereka curhat. Pacar, ahhh lebih-lebih lagi, apa sih yang enggak saya lakuin untuk bikin pacar saya senang. Selalu saya yang berusaha untuk membuat semua orang nyaman dengan kehadiran saya ditengah mereka. Sesekalinya saya punya waktu luang sendiri, saya gunakan dengan seegois-egoisnya. Jalan-jalan sejauh-jauhnya, sehabis-habisannya uang tabungan.

oke balik lagi ke plot utama. Bagi saya, usaha si mas untuk nemui saya di depan gate pesawat, walau hanya sekadar numpang lewat, itu luar biasa untuk saya. Padahal kalau dia enggak ngelakuin hal itu, saya enggak akan ilfeel dengan si mas. Saya bakalan biasa aja. Toh, juga kami saat itu juga bukan siapa-siapa. Cuman "acquaintances", gak lebih. Tapi, dengan gesture yang dia tunjukkan, kok ya saya jadi kepikiran dia terus. Belum lagi, si Mama enggak berenti-berenti menggali bioadata si mas.

Anyway, perjalanan ke Thailand lancar. Kami pulang dengan membawa segudang kenangan yang menyenangkan. Dan juga jadi pintu pembuka hubungan saya yang lebih intense dengan si mas Aji. Enggak butuh waktu lama buat kami untuk jalan bareng, ketemuan, dan juga membicarakan serius tentang diri kami. Bckground keluarga kami. Momok terbesar dalam hidup kami. Dan yang pasti, apa yang sama-sama kami cari dalam hubungan ini. Saya ingat di pertengahan Desember kami pun mulai menjalani hubungan ini dengan serius. Niatnya untuk menuju pernikahan. Enggak buru-buru kok. niat kami, mungkin pertengahan tahun 2019, saya diperkenalkan dengan keluarga mas Aji di Jogja, lalu mungkin akhir tahun 2019 sudah mulai membicarakan pertunangan ataupun kebutuhan lainnya.


never before seen picture of our date. Dua foto berbeda dengan hari berbeda, entah kenapa bajunya sama mulu saya nya. hff

Ya, namanya juga anak manusia yang berencana, ibu-ibu mereka pun yang berkehendak. Akhir Desember mas Aji ketemu mama dan papa di rumah. Enggak cuman memperkenalkan diri, tapi juga menyatakan niatnya seriusnya menjalani hubungan dengan anaknya ini. Mama dan Papa cukup impresif dengan pembawaan mas Aji waktu itu. Mungkin juga karena dia datang dengan mengenakan kemeja batik lengan panjang. Super sekali. Selesai makan siang kami pun berkunjung ke rumah tantenya Mas Aji di Cipayung, syukur alhamdulilah, vibe yang sama seperti keluarga sendiri saya dapatkan dari keluarga ini. sepulangnya dari Cipayung, kami saling bertatapan dan mengamini apapun yang sedang direncanakan Yang Maha Esa. 

Akhir Januari, Ibu mas Aji datang ke Jakarta, mas Aji membawa saya menemui ibunya. Ngobrol sebentar sambil sekalian berkunjung ke rumah sepupu yang baru lahiran, mama mas Aji menanyakan hal-hal seputar keluarga dan juga pertemuan kami. Akhir pertemuan, mama Mas Aji mengatakan kalau dirinya akan berkunjung ke rumah di bSD akhir pekan ini. Dan di hari Sabtu itu, mama mas Aji datang bersama keluarga yang lain ke rumah dengan membawa hantaran sebagai tanda perkenalan. Yah, tapi namanya juga si mama Linda, udah enggak sabar banget punya mantu, langsung aja enggak pakai babibu mengungkapkan keresahannya melihat putrinya "dekat" dengan pria lain tanpa ikatan pernikahan. Hmmm. Minggu depannya mama dan papa saya diundang ke rumah keluarga di Cipayung, dari obrolan sederhana, disitu akhirnya diputuskan tanggal 24 Februari tanggal pertunangan dan 20 April sebagai tanggal pernikahan. 

when this things wrap around my finger, i realize, his first DM message was for real. 


Kaget? Tentu, tapi sejujurnya enggak se-kaget itu. Mungkin terasa seperti "kok ya cepet banget sih", tapi anehnya saya enggak merasa sepanik itu. It feels like, you know its going to happen and surprisingly i feel happy it is going to happen.


It feels like, you know its going to happen and surprisingly, i feel happy its going to happen.


Dan, jangan salah sangka, sepanjang perjalanan menuju pertunangan dan pernikahan, pastinya banget ada hal-hal yang membuat saya dan si mas berantem atau selisih paham. Dan ini keanehan lainnya. Dulu, setiap saya berantem entah sama pacar atau mungkin baru sama gebetan aja, saya tuh segitu bucinnya sampai saya tuh ngalah banget dan takut banget mau ngelakuin apapun asalkan hubungannya enggak bubar. Sama si mas, kok ya saya kehilangan sense of cancer sign saya yang hobinya dodging the controversy. Beberapa kali ketidaknyamanan saya ungkapin dengan segitu gamblangnya. Saya jelasin apa yang membuat saya nyaman dan enggak nyaman dari hubungan ini. Tapi, saya enggak mau membuat si mas merasa banyak dituntut sepihak, jadi saya selalu terbuka sama dia hal apa yang menurut si mas yang harus berubah dari saya. Dan bahkan saya sempat bilang ke mas, saya enggak akan menahan mas kalau mas merasa semua ini terlalu cepat, atau ternyata mas menyadari kalau saya bukanlah pilihannya. Karena saya enggak mau punya pengalaman ditinggal pasangan di pelaminan (yang dimasa itu, lagi ngetren banget orang-orang disekitar saya pada putuh di h-seminggu lah, h-3 menikah lah, ngaco banget kan), jadi kalau terindentifikasi sejak dini kalau saya bukan yang dia cari saya enggak melarang dia untuk mundur. 

Dan mungkin itu kali ya, kekuatan pasrah berserah diri kepada yang maha Berkehendak, alhamdulilah banget enggak ada pertikaian yang besar banget yang bikin kami ribut sampai enggak ngomongan, atau ada kejadian yang bikin saya meragu untuk mundur dari pilihan ini. Dan itu enggak cuman menuju pernikahan bahkan sampai sekarang. 

the rain destroy my dream wedding, but it strengthen my early step of marriage


Ketika saya memilih untuk menjadi diri saya sendiri dan ditambah berserah diri kepada yang Maha Kuasa, (dan memfilter omongan-omongan orang yang masuk ke dalam telinga kita), ternyata semuanya malah dilancarkan. Ya kecuali pas di pesta pernikahan kita. Tiba-tiba ujan aja. Enggak deng enggak ujan, lebih tepatnya badai. Mantep bener lah!

Mungkin bagi teman-teman dekat saya, yang pasti auto komen:
1. "Gila Git, ini lu cepet banget sih, lu yakin mau nikah sama orang yang baru lu kenal?"
2. "Lo belum pernah berantem hebat pastikan sama si mas? Lo gak tau aslinya dia gimana kan? Gimana kalau dia tukang mukul? Gimana kalau dia abbusive?"
3. "Wah, lo gila sih, lo beneran yakin mau nikah? Lo udah tau enggak gaji dia berapa? Mana tau cicilan dia banyak lho. Lo nikah sama dia, lo juga nikah sama utang-utangnya"
4. "Tetep hati-hati Git, gue cuman bisa doain semoga lo bahagia aja sih!"

Dan masih banyak lagi omongan orang lainnya, yang kalau dimasukin ke hati banget pasti lah ngerasa ragu. Dan sebagai cancer sejati jelas saya sempat merasakan keraguan itu. "Apa iya gue dan si mas udah dalam tahap siap menikah? Gimana kalau gaji kami emang bener kata Vera yang enggak cukup buat berumah tangga di ibukota? Apa iya si mas suka mukul?"

Dan semua keraguan yang saya rasain, saya omongin aja lagsung ke orangnya. Saya malas merasa sedih dan bimbang sendiri. Hasilnya apa? Hasilnya kami ngobrol panjang lagi tentang rencana setelah pernikahan. Bagaimana kami akan menyusun budget rumah tangga kami (yang ternyata udah dipikirin juga sama si mas) dan hal-hal lainnya. 

Dan sebelum kami mengikat janji sehidup semati, kami juga membuat sebuah janji mengenai perilaku abusive, poligami, dan hal-hal lainnya. Semacam pre-nub tak tertulis yang kami berdua sepakati untuk bisa sama-sama nyaman berada dalam pernikahan ini. 

I know this marriage will be fun, because i have such a blast day during our honeymoon in Bali. Ambisius tapi tetap harus leha-leha.


Itu mengapa, saya buat judulnya pernikahan tidak untuk semua orang. 

Iya, saya yakin tidak ada satu pun manusia yang sempurna, semua pasti luput dengan perilaku dan tabiat buruknya masing-masing. Tapi, keburukan atau apapun namanya itu, harusnya enggak menjadi alasan kita untuk menghindari untuk berhubungan dengan manusia. Justru, perbedaan yang harusnya jadi jembatan kita untuk lebih bisa saling menghargai. Intinya sih, begini, bagi saya yang baru 3 bulan jadi istri orang sih merasa resepnya orang yang bisa  menikah itu simpel: kompromi dan terbuka antar satu sama lain. Kalau untuk melakukan dua hal ini saja terasa berat, ya, saya setuju pernikahan bukan hal yang cocok buat kamu.


Intinya sih, begini, bagi saya yang baru 3 bulan jadi istri orang sih merasa resepnya orang yang bisa  menikah itu simpel: kompromi dan terbuka antar satu sama lain. 


And thats fine. Jujur saja, saya bukan orang yang mudah menerima kehadiran orang lain dalam hidup saya. Jangankah orang, pekerjaan udah dua tahun saya jalanin aja masih aja ada salah-salahnya. Apalagi jalanin hidup dengan orang lain, dan kontraknya sehidup semati. Itu bukan hal gampang. Tapi, saya juga sadari hidup ini bukan tentang gimana gampangnya aja. Tapi gimana caranya untuk bisa jadi lebih dari yang kemarin, gimana caranya bisa lebih berguna untuk orang banyak. Beberapa orang harus mengikuti siklus kehidupan (lahir - dewasa - kuliah - bekerja - menikah - punya anak - punya mantu - punya cucu - mati) untuk menjadi orang yang lebih baik. Beberapa orang udah bisa mencapai semua hal yang perlu ia capai dalam hidupnya tanpa harus mengikuti siklus kehidupan. 

Ada orang yang merasa tujuan hidupnya sudah tercapai sampai bisa bekerja dan jadi top management. 

Ada yang merasa cukup dengan punya pasangan, saling cinta dan sayang, tanpa harus punya anak.

Ada yang merasa sangat bahagia dengan status orang tua single. Karena bisa lebih fokus bekerja dan membesarkan anak. 

Ada yang merasa semua tujuan hidupnya sudah tercapai tanpa kehadiran anak, tanpa pasangan, dan tanpa pekerjaan 9 to 5 yang mengekang. Ia merasa cukup dengan pekerjaan freelance nya yang mencukupi untuk bayar kebutuhan sehari-harinya bersama seekor anjingnya.

Kadang kita suka kelewat sibuk untuk memprojeksikan kesempurnaan hidup milik kita ke dalam pilihan hidup orang lain. Itu lah mengapa terjadi perkumpulan grup-grup whatsapp julid yang isinya gak lebih dari ngomongin pilihan hidup orang lain:

"Ih ya ampun dia kok mau ya nikah sama si ini"
--> Ya lo gak tau kan gimana caranya orang itu bikin temen kita bahagia. Hal apa yang dirasain sama temen kita dan enggak di rasain saat sama pasangan sebelumnya. Pertanyaan jenis kayak gini nih, mau orang yang diomongin udah punya anak dua tetep aja enggak akan ngerti.

"Ya ampun, dia nikah pake taaruf? Waw, berani ya?"
--> Lah emang taaruf kayak jurit malam apa? Kenapa mesti takut! Taaruf bukan proses semalam langsung nikah. Ada proses pengenalan antar dua pihak yang kredibel. Bisa antar keluarga, antar ustadz yang jadi kepercayaan satu sama lain. 

"Ih, masa sih dia udah 6 tahun nikah enggak punya anak"
--> Lo bantuin dana waktu pasangan itu mutusin untuk coba bayi tabung gak? Lo bantuin cariin dokter yang bagus gak waktu mereka juga ngerasa gelisah enggak dikasih-kasih momongan? Enggak! yaudah diem, gausah ngomongin! Dan juga jangan sotoy, mana tau merekanya emang enggak mau punya anak. Takut melahirkan anak di era netizen julid ada di mana-mana. Bikin snewen aja.

"Eh ya ampun, kesian banget deh dia dipacarin 9 tahun, eh lakinya malah nikah sama cewek lain"
--> Kalau ada sohib-sohib kuh yang pernah ditikung sama temen ampe nikah sama mantan, plis deh, lo itu lagi dilindungi oleh Yang Maha Esa. Tukang selingkuh dijodohin sama tukang selingkuh, jadi jangan sedih. Dan yang hobi ngomongin, jangan sotoy juga! Mana tau yang ditinggalin santai aja!

"Duh, gue sih males berurusan sama si perawan tua, galak banget"
--> Lah apa urusannya keperawanan sama kegalakan orang ya. Kalau elu nyebelin sih, mau yang perawan, enggak perawan, nenek-nenek juga pasti galak. Dan, udahlah istilah perawan tua itu udah gak valid lagi di pake di jaman sekarang. Otaknya udah pada kotor semua. 

"Si pak ini udah manajer, cakep, belum nikah-nikah, kayaknya cong ya?"
--> Kalau emang iya, itu bukan urusan elu. Dia mau jadi cong kek, activist LGBT yang penting enggak jadi BGST kayak elu. Nah, kalau terbukti enggak, ya mungkin aja emang belum ketemu yang cocok. Daripada ngomongin mending bantuin cariin. 

Udah ah, sekian dulu tauziah saya hari ini. Besok-besok kita lanjutin lagi. Pokoknya stay strong ya people. Pasrahin aja, sama sering-sering ngobrol sama yang punya Takdir, insya Allah dikasihnya yang emang terbaik untuk diri kita. 








You May Also Like

0 comments