Powered by Blogger.

GA

Pages

  • Home
  • Let's Partner Up!

Lebaran adalah momen yang digunakan oleh mayoritas umat Islam di Indonesia untuk bersilaturahmi kembali ke sanak saudara yang ada di kampung halaman. Entah dari mana budaya ini berasal dan berkembang (yang pasti bukan dari Arab, karena di Arab sendiri saat hari Eidul Fitri tiba mereka hanya merayakannya di rumah sambil menggemakan takbir) tapi libur Lebaran menjadi liburan terbesar untuk seluruh masyarakat Indonesia.

Dan di tahun ini saya dan keluarga berkesempatan untuk benar-benar pulang kampung. Karena selama ini kami hanya ikut-ikutan 'hype' pulang kampung yang ada di hari Lebaran saja. Biasanya kami pulang ke kampung orang lain di saat lebaran. Kami menggunakan momen lebaran untuk jalan-jalan keliling kota atau berwisata ke daerah yang belum pernah kami kunjungi seperti Jogja atau Cirebon. Tapi, di tahun ini, rumah impian Mama di kampung halamannya, Koto Laweh, Padang Panjang, Sumatera Barat, telah jadi. Maka, seminggu sebelum lebaran tiba kami memutuskan untuk benar-benar pulang ke kampung dan menikmati villa kami di sana.

Berada di kaki gunung Singgalang dan dikelilingi ladang padi dan perkebunan cabai di seklilingnya, membuat saya yakin kalau dari sinilah lukisan pemandangan alam yang biasa dibuat anak-anak SD tercipta. 
atas: pemandangan dari jendela kamar villa kami. bawah: lukisan pemandangan kebanyakan anak SD

Tanah Pusaka
Koto Laweh atau kalau dibahasa Indonesiakan, Kota Lawas. Sebuah desa kecil yang berada di antara Gunung Merapi dan Gunung Singgalang yang dimana jalanannya sering digunakan banyak pemudik sebagai jalan pintas antara Bukittinggi dan Padang Panjang. Jangan pernah berharap bisa mendapatkan alamat lengkap untuk mengunjungi ke rumah yang ada di daerah ini. Karena, masyarakat di sini hanya tahu beberapa nama tempat yang dikenal dan biasanya mereka hafal siapa saja orang yang tinggal disekitar situ. Contohnya, seperti villa rumah saya berada di jalan turunan setelah pertigaan yang ada di Balai Gadang. Untuk memperjelas jalan ke arah rumah, saya harus menggunakan kata kunci lain seperti Kandang di Guguak atau Gunung Singgalang. Dengan tiga keywords itu, siapapun yang tinggal di daerah Koto Laweh sudah tahu rumah siapa saja yang ada di kawasan itu. Dan biasanya mereka kenal karena mereka juga bertalian saudara entah dun sanak keluarga pasangan) atau bako (keluarga ayah). Dan memang tidak terlalu banyak sih, di sekitarnya saja mungkin hanya 4-5 rumah yang ada.

Penunjuk jalan yang ada di depan Balai Gadang. Jadi, cukup jelas dimana lokasi Koto Laweh ini kan?


Dan berbeda dengan Bukittinggi atau kota Padang yang mungkin pemukimannya juga sudah dihuni oleh warga pendatang dari pulau Jawa atau daerah lainnya. di Koto Laweh ini sudah dipastikan 100% orang Minang asli yang bisa membangun rumah di sana. Kenapa? Karena hampir seluruh tanah yang ada di desa ini adalah tanah warisan pusaka. Apa artinya? Artinya tiap inchi tanah di daerah Koto Laweh ini merupakan warisan dari peninggalan keluarga terdahulu, yang mungkin sudah ratusan tahun yang lalu. Dan, perbedaannya orang di desa ini dengan desa-desa yang ada di Jawa sana, walaupun tanah mereka tak bersertifikat (karena ratusan tahun yang lalu mungkin sistem administrasi negara mungkin belum tersentuh oleh mereka) tapi tiap keturunannya sudah di beritahukan yang mana saja warisan mereka. Dan seperti kita ketahui bersama, suku Minang adalah satu-satunya suku di Indonesia yang menganut Matriarki. Itu artinya garis keturunan dan warisan turun di anak perempuan. Anak perempuan dari orang tua suku Minang memiliki hak waris dua kali lipat lebih besar dibandingkan anak laki-lakinya. Tidak hanya itu, anak laki-laki dari suku Minang diharuskan untuk merantau ketika usia dewasa sedangkan anak perempuannya yang menjaga tanah pusaka.
Rumah atau villa kecil milik keluarga Mama saya (sebelah kanan), yang berarti akan jadi milik saya dan sepupu perempuan saya kelak. Di belakangnya adalah pemandangan Gunung Singgalang.

Dari apa yang saya sering beritahukan, tanah warisan atau tanah pusaka tidak bisa seenaknya di jual belikan kepada orang lain. Harus ada persetujuan dari keluarga perempuan lainnya untuk mengadakan jual-beli tanah pusaka. Dan kalaupun tidak di jual, tanah pusaka akan terus diturunkan ke anak-cucu- dan cicit perempuan dari garis keturunan keluarga tersebut. Bagaimana jika diujung garis keturunan tidak ada lagi anak perempuannya? Hak waris tanah dikembalikan ke keluarga besar. Jadi, sangat sulit untuk bisa membebaskan tanah pusaka dari suku Minang. Akibatnya, apa yang saya lihat dari kampung Koto Laweh di tahun 1995 dengan di tahun 2017, tidak terlau banyak perubahan. Jangan harap pemerintah bisa mengambil alih tanah-tanah tak bersertifikat yang ada di tanah pusaka, karena aturan adat yang ada di Sumatera Barat lebih galak ketimbang pemerintahannya. Terdengar rasis dan kuno, tapi, saya akui, ke-keras kepala-an orang-orang Minang-lah yang mampu menjaga ke asrian daerah dan lingkungannya.

ibu saya menikmati waktu seusai silaturahmi dengan keluarga dengan memberi makan ikan di tabek 


Kalau tidak karena tegasnya adat mereka soal tanah pusaka, saya rasa, hanya butuh kurang dari 10 tahun desa yang saya tinggali ini sudah dijajahi hotel dan bungalow bintang lima. Sampai hari ini, mini market sejenis alfamart dan Indomart masih belum menyentuh tanah minang, setidaknya tidak ada di sepanjang Padang Panjang hingga Bukittinggi. Jangan pernah berharap jalan-jalan di kampung saya dengan teknologi aplikasi transportasi, syukur-syukur dapat sinyal. Bagi saya yang memang tengah mencari momen untuk menenangkan diri dan menjauhi keramaian, lebaran di desa ini benar-benar pilihan yang tepat.

Walaupun di tiap pojokan jalan tidak ada alfamart, setidaknya di kampung ini saya bisa berfoto instagram di ladang padi yang tengah menguning. Tiap ganti sudut, berganti pula latar belakang pemandangan yang ditawarkan. mungkin itu mengapa jaman dulu banyak penyair dan penulis sajak ternama lahir di Sumatera Barat. Pemandangannya romantis dan cuacanya mendukung untuk selalu berkontemplasi.


Mata Pencaharian Penduduknya
Di desa kecil ini, bisa dibilang, lebih banyak ladang dan kebun ketimbang perumahan warganya. Jadi, hampir 90% keluarga yang ada di desa ini bermata pencaharian petani. Adapun hasil tani yang biasa dipanen dari desa ini adalah Cabai, Bawang Merah, dan Sayur Mayur. Mereka juga memiliki ladang padi yang luas, tapi tidak seluas di daerah Solok. Makanya Bareh Solok lebih terkenal dibandingkan daerah lainnya.
cabai merah yang umurnya sudah harus dipetik dibiarkan di pohon oleh para petani. Mereka menganggap upah petik cabai dengan harga perkilonya tidak sebanding. Dan Mama saya terlihat bahagia melihat cabai merah.

Sayangnya para petani ini masih teramat sangat bergantung dengan penjualan hasil tani di pasar tradisional. Contohnya waktu saya pulang kemarin, harga cabai keriting di Koto Laweh mencapai Rp 7.000 - Rp8.000/ kilo. Padahal di hari yang sama, di Jakarta harga cabai keriting merah masih berada di Rp35.000 - R 40.000/kilo.Hal ini dikarenakan lonjakan harga cabai keriting merah yang luar biasa berlebihannya di tahun 2016 lalu yang mencapai Rp 120.000/kilo. Karena kejadian tersebut banyak petani yang mengubah ladang sayur mayurnya menjadi cabai merah. Dan, kini, saat panen ketiga setelah kejadian tersebut, yang ada pasar-pasar di sekitar Padang Panjang memiliki stok cabai keriting merah yang berlebih. Karena merosotnya harga tersebut banyak petani yang membuang cabainya atau bahkan sengaja membiarkan cabainya membusuk di pohon.

Dan jujur saja, hal ini sempat membuat saya miris. Untuk daerah penghasil cabai, dengan masyarakat yang mayoritasnya mengkonsumsi cabai sebagai makanan sehari-hari, anjloknya harga cabai ini merupakan sebuah ironi terbesar yang pernah saya saksikan langsung. Sempat terbesit di benak saya, kenapa sih, orang Padang ini tidak ada yang mau membuat sambel kemasan sebagai oleh-oleh? Surabaya bukan penghasil cabai tapi sambel ibu Rudy terkenal sekali sebagai oleh-oleh Khas daerahnya. Dan, yang saya tahu semua orang dari semua suku sudah pasti pernah makan "sambal lado" bahkan sampai jadi lagu oleh pedangdut Ayu Ting Ting. Masak sih, enggak ada orang pintar dan kaya raya dari daerah ini yang mau membuat "Sambal Lado" kemasan khas Koto Laweh atau Padang Panjang. Kalau ada bisnis sejenis ini, setidaknya petani Koto Laweh dan Padang Panjang tidak harus melulu menggantungkan nasibnya kepada harga pasar tradisional.

Saya sempat berpikir membuat bisnis sejenis ini dengan ibu saya, tapi karena usia dan minimnya pengalaman bisnis sejenis Mama saya berkilah kalau membuat bisnis ini terlalu banyak resikonya. Ayah saya bilang "belum lagi kalau produknya ditiru orang," jujur saja, kalau bisnis khayalan ini bis aditiru orang banyak saya justru senang. Setidaknya petani cabai di kampung saya ini banyak pilihan konsumen. Tidak hanya yang ada di pasar.

Tata Krama Bicara dan Budaya
Dua hal ini yang ampun-ampunan rasanya saya lakukan tapi paling kecil dampaknya. Di kampung ini, orang-orangnya tidak hanya diharapkan sopan dan patuh pada yang tua tapi juga supel dengan sesama. Well, jelas itu sangat berat untuk saya. Bukan di bagian hormat dan patuhnya tapi di bagian supel. Dan mereka tidak main-main soal supel. Karena jika kita terlihat oleh orang kampung dan tidak menyapa mereka, maka keluarga kita bisa dibicarakan oleh mereka. Dan, seperti kebanyakan uni-uni berkerudung yang ada di Tanah Abang dibilang "sombong" adalah salah satu penghinaan sosial tertinggi di ranah Minang (berlebihan? Nope! Kalau kamu orang Padang coba sesekali pulang ke kampung gih, dan coba sesekali main melengos aja ketemu keluarga. Kalau enggak kena marah!)
Le Familia. Kalau dijelasin satu persatu talian saudaranya bagaimana dan seperti apa bisa satu Lebaran lagi juga enggak kelar. Pokoknya yang muda-muda jatuhnya sepupu dan yang yang gaek panggilnya etek.

Saya bukan orang yang mudah berbincang dengan orang lain. Bukan karena saya sombong, angkuh, atau apalah namanya (percayalah saya enggak punya apa-apa untuk diangkuhin) tapi karena saya sendiri bukan orang yang ekstrovert. Kalau sudah dekat saya memang bisa terbuka- seterbuka-bukanya orang. Bisa hal-hal remeh saya ceritakan dari diri saya, tapi untuk menyapa orang duluan? basa-basi sosial yang tak tentu arah? Apalagi berbicara langsung dihadapan banyak orang? Arghh lupakan! Saya lebih baik mengurung diri di kamar.

Dan menurut saya kewajiban untuk ngobrol dengan ini ada baik dan buruknya sih. Well, kebanyakan sih baik. Karena jadi tahu kondisi keluarga yang ada, memperjelas siapa anak siapa dan dari mana (wihh, ini sih paling wajib banget saat masuk ke kawasan kampung ini. No strangers allowed banget deh!), buruknya ya paling jadi ada kesempatan buat nanya-nanya gak penting "kapan kawin? beranak? nguliahin anak? mantu?" itu tuh dosa yang paling besar dari silaturahmi keluarga.

Tapi, hal yang paling mengejutkan untuk saya adalah beberapa orang Minang ternyata ada yang percaya dengan hitungan hari dan bulan untuk menentukan hari bagus. Saya enggak bohong! Saya pikir pikiran klenik dan mistis cuman miliki orang jawa semata, ternyata di Kota Padang Panjang yang berslogan "Serambi Mekkah"-nya Sumatera Barat ini juga percaya hal-hal tidak masuk akal tersebut. Di daerah lain, bahkan ada namanya Sungai Terlarang, dipercaya sungai ini tidak boleh dipakai memancing. Jika tetap memancing, hasil pancingan yang didapat bisa menimbulkan bahaya. Well, at least, cerita klenik terbesar yang mereka punya jelas legenda "Malin Kundang". Cerita karangan rakyat yang berujung jadi "legenda" ini memiliki maksud yang baik, supaya tidak durhaka dengan orang tua.

Walaupun memahami adat yang ada di kampung halaman ini sedikit aneh dan membingungkan (enggak sedikit deng, teramat sangat membingungkan), tapi jujur saja libur lebaran kali ini adalah liburan terbaik saya di 2017. Saya berkesempatan menjelajah area wisata terbaik yang ada di Sumatera Barat, belajar bahasa Minang, bisa berbincang dengan warga lokal. Dan semua bisa terjadi karena minimnya koneksi internet dan dinginnya cuaca di sana.

Saran saya, bagi kalian para manusia urban; orang-orang yang enggak bisa lepas dari koneksi internet 24 jam, minum starbucks setiap pagi, selfie tiap habis nge-gym, jika kalian punya kampung halaman saya sangat sarankan untuk pulang kampung. Bukan untuk meramaikan isi Instagram dengan foto-foto kampung halaman (walaupun saya juga melakukan itu sih) tapi mempelajari asal-usul keluarga bisa membuka cakrawala diri. Walaupun sudah sering jalan-jalan kesana-kemari, sampai Eropa atau Tanah Suci, bagi saya mengetahui siapa asal usul diri membantu kita menerima kekurangan dan kelebihan diri sendiri.  

"The best day of your life is the day when you were born and the day you found out why"



Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Bagi saya, hal yang paling menyenangkan saat mengunjungi kota atau negara asing ketika bisa mencicipi makanan khas daerah tersebut. Karena, lewat makanan saya bisa belajar banyak soal budaya dan tipikal masyarakatnya. Dan Nepal memiliki banyak kesamaan rasa dengan masakan Indonesia, terutama Sumatera.

Mirip dengan makanan India, makanan Nepali banyak menggunakan rempah-rempah sebagai bahan utama. Rasa pedas dan gurih mendominasi kuliner Nepal. Berikut adalah lima makanan Nepal yang saya yakin pasti cocok dilidah orang Indonesia.

1. Dal-Bhat-Tarkari
a handful of Dal Bhat Tarkari is never failed to put my smile cheek to cheek
Dal Bhat adalah sebuah set nasi tradisional Nepal. Dal Bhat sendiri artinya adalah sup Dal dan Nasi. Hampir mirip dengan menu makanan India kebanyakan yang dihidangkan di piring lebar, nasi di tengah, dan lauk pauk dipinggirnya. Setiap orang memiliki seleranya tersendiri mengenai isi dari seporsi Dal Bhat. Tapi biasanya, di dalam satu piring Dal Bhat terdapat nasi briyani, kari sayur atau kari ayam, sup Dal (semacam sup sayur-sayuran pedas), acar timun, yogur kambing, brokoli goreng, dan keripik. Tapi, tiap warung yang saya datangi memiliki kombinasi nasi yang berbeda, yang pasti akan selalu pakai sup Dal dan Nasi.
Umumnya se porsi Dal Bhat Tarkari di banderol dengan harga 350 - 400 Nepali Rupee, atau 500 Nepali Rupee kalau makannya di restoran yang cukup terkenal. Ini salah stau menu yang saya rasa cocok dengan nafsu makan orang Indonesia. Porsinya besar, banyak lauk, mengenyangkan, dan rasanya mirip-mirip dengan makanan nasi Padang. 

2. Momo
I want to try Momo, but I have a doubt that it has pork in it. So this is Momo in display (myrepublica.com)

Kalau Anda pernah makan Gyoza di warung makan Jepang atau Dumpling di Restoran China, maka Anda pasti tidak akan asing dengan Momo. Makanan yang di masak dengan cara di kukus lalu di goreng. Tapi tiap restoran atau toko punya caranya sendiri-sendiri.
Isian yang ada di dalam Momo biasanya adalah campuran daging mulai dari ayam, babi, kerbau, dan juga kambing dengan kombinasi keju kaming dan sayuran. Tapi dibeberapa tempat di Kathmandu lebih banyak yang isinya daging ayam dengan rempah-rempah atau adapula menu vegetarian yang berisi kentang tumbuk. Sama seperti Gyoza, menyantap Momo juga harus ditemani dengan saus khusus. Umumnya Momo ditemani dengan saus tomat tapi jika adapula beberapa tempat yang menawarkan Momo dnegan ditemani kuah kari. Mengapa? Karena kuah kari yang ada di kawasan Asia Selatan tidak pernah salah.

3. Mutton Curry
A classic way to enjoy Mutton Curry. With Roti Canai.

Mutton adalah daging kambing. Dan seperti kita ketahui kalau daerah Asia Selatan ini banyak umat Hindu yang tidak bisa makan daging sapi sehingga banyak menu makanan mereka yang didominasi dengan daging kambing. Kari Kambing adalah salah satu andalannya. Tidak hanya di Nepal tapi juga di India. Sebenarnya rasa kuah karinya hampir-hampir sama, tapi menyantap langsung dari negara asli lebih menyenangkan bukan?

4. Thukpa
Mee Tek Tek nya Nepal, hehe

Kalau di Indonesia, mungkin Thukpa ini adalah mie tek-teknya Nepal. Karena isi dari noodle sup ini rempah-rempah bening dengan sayur mayur. Pas saya riset makanan ini di Google ternyata menu ini aslinya dari Tibet tapi cukup populer di Nepal. Mungkin karena rasanya cukup pedas dan hangat untuk disantap malam hari membuat menu ini populer juga di Nepal. Mungkin ya!

5. Masala Chai
My day in Nepal always start with Masala Tea

Teh salah satu minuman terpopuler di dunia. Mkaa tidak mengherankan ketika saya sampai di Nepal, saya mendapatkan cara penyajian teh khas negara ini. Kalau dilihat dari luar Teh Masala ini mirip dengan Milk Tea kebanyakan, tapi pas dicoba ada rasa rempah-rempah yang turut diaduk didalam teh. Rasanya jadi sedikit seperti jamu dengan efek hangat. Banyak yang mengatakan kalau teh ini yang biasanya dibawa para Sherpa menemani para pendaki Everest untuk menghangatkan tubuh. 



Share
Tweet
Pin
Share
1 comments

Annapurna Range View dari Bukit Sarangkot pukul 6 pagi

Berbukit dengan iklim tropis, itulah gambaran biologis Nepal dari kacamata saya. Negara yang dikelilingi pegunungan Himalaya ini menjadi tempat yang penting bagi umat Buddha, pasalnya di daerah yang dihimpit datarn China dan India inilah sang Buddha, Siddartha Gautama lahir. Selama ribuan tahun Nepal telah menjadi banyak tujuan religius bagi para biksu dan pemuka agama, Namun, memasuki abad ke-20, Nepal lebih dikenal sebagai gerbang utama bagi para pecinta alam yang ingin menaklukan puncak gunung Sagarmatha atau lebih dikenal, Everest.

Saya sendiri bukan orang yang senang mendaki gunung, bahkan saya bukan tipe orang yang menikmati liburan ke gunung. Nuansanya yang tenang dan senyap buat saya sangat menakutkan.
Adapun keputusan saya untuk terbang ke Nepal semata karena tiket murah dan ketidakmampuan saya untuk menolak ajakan jalan-jalan.

Menjelajahi negara yang punya perbedaan bahasa, makanan, dan wajah selalu menarik ego penjelajah gadungan seperti saya. Dan, surprisingly, Nepal memiliki vibe yang  serupa dengan Indonesia. Wajah masyarakat di dominasi oleh paras India dan China dan percampuran diantara keduanya, seperti apa bentuknya? Ya, kira-kira seperti wajah orang Indonesia kebanyakan. Makanan mereka juga kaya bumbu rempah-rempah, satu piring Nepali Plates itu rasanya mirip dengan satu piring menu makanan Padang. Bedanya mereka tidak menggunakan daging sapi di dalam masakannya. Masalah bahasa? Nepal punya gap kefasihan bahasa Inggris yang sangat jauh. Jika Anda bertemu dengan orang Nepal yang bisa berbahasa Inggris, dia pasti bisa bicara dengan sangat fasih, tapi jika Anda bertemu dengan orang yang tidak bisa berbahasa Inggris, mereka benar-benar tidak mengerti apapun yang Anda coba sampaikan.

Salah satu pengalaman saya bertemu pertama kali dengan orang Nepal adalah di pesawat terbang menuju Kathmandu dari Kuala Lumpur. Pria asli Nepal ini duduk disebelah saya dan berusaha membuat percakapan dengan menggunakan bahasa Inggris, dan ketika saya menjawab dengan bahasa Inggris lagi dia langsung memasang raut wajah menyesal karena tidak mengerti sepatah katapun yang saya lontarkan.

"I'm from Jakarta, where do you come from?"
hening
"home, where do you come from?"
"Nepal"
"Yes, i know, but what city? are you originally from Kathmandu?"
hening
"Your house"
"my house"
"Yes, where?"
hening
40 menit kemudian, dia kembali mencoba berinteraksi
"Can you speak Melayu?"
(Allahu akbar, capek-capek ngomong tau-taunya dia bisa ngomong Melayu)

Tapi di luar kendala yang enggak kendala-kendala banget tersebut, bagi saya pelarian saya ke Nepal merupakan keputusan terbaik kedua di 2017 (yang pertama adalah keluar dari kantor dan memutuskan untuk menjadi full time freelancer social media dan PR Digital. Yes, i am join forces with those kind of millenials).

Jadi, kalau Anda seperti saya, suka jalan-jalan tapi cemen untuk tracking apalagi climbing berikut beberapa tempat yang wajib Anda kunjungi selama di Nepal.

1. Boudhanath - Swayambunath - Pasupathinath
Swayambunath
Begitu landing tiga tempat inilah yang jadi tujuan utama dan pertama saya di Kathmandu. Karena jika Anda cari di Google, "must visit place in Kathmandu" tiga kuil ini berada diurutan teratas. Dan layaknya turis gadungan kebanyakan saya nurut saja dengan rekomendasi Google. Tapi diluar itu, ketiga kuil ini letaknya tidak terlallu jauh antara satu dengan yang lainnya, jadi masuk akal jika hari pertama saya habiskan untuk menjelajahi tiga kuil ini.

Boudhanath
Boudhanath dan Swayambunath adalah kuil umat Buddha, sedangkan Pasupathinath adalah kuil umat Hindu. Perbedaannya sudah sangat terlihat begitu Anda memasuki daerah ini. Di Boudhanath dan Swayambunath Anda akan disambut oleh kuil dengan atap emas yang dihiasi wajah Buddha di depannya. Kebanyakan orang yang berada di kuil ini pun kebanyakan masyarakat berwajah China ataupun Tibet. Sedangkan Pasupathinath, Anda akan melihat sebuah komplek candi-candi kecil dengan sungai Bagmati di hadapannya yang biasa dijadikan tempat kremasi. Dan tempat ini dipadati oleh para petapa Hindu di dalamnya.
Pashupatinath (nepaladvisor.com)

Untuk berkunjung ke temapt-tempat ini sebenarnya ada angkutan umum dari Thamel tapi karena waktu saya terbatas, maka saya memilih menyewa mobil dari tempat kami menginap untuk mengunjungi tempat-tempat ini. Harga normal yang ada di website untuk menyewa taksi sekali jalan adalah 900 - 1000 Nepali Rupee, dan untuk menyewa seharian seharga 2000 - 2500 Nepali Rupee (atau setara dengan 200 ribu - 250 ribu Rupiah). Harga yang cukup wajar untuk orang yang enggak punya waktu banyak seperti saya. Tapi tenang saja, hampir semua kuil buka dari pagi hingga malam hari. Tapi Pashupathinath terkadang ditutup untuk umum pada pukul 5 sore.


  • Swayambunath. Ticket Fee: 200 Nepali Rupee
  • Boudhanath. Ticket Fee: 250 Nepali Rupee
  • Pashupatinath. Ticket Fee: 1000 Nepali Rupee. 



2. Kathmandu Durbar Square

Durbar Square near Kal Bhairav, where people confess to their sins. And yes, its always crowded in here!

Seperti yang saya katakan di awal, Nepal sudah ada ribuan tahun lamanya, bahkan sebelum Masehi. Maka tidak mengherankan ketika kota sebesar Kathmandu saya dipadati dengan tempat-tempat kaya sejarah di dalamnya. Dan salah satu komplek terluas di Kathmandu dengan dipadati dengan kuil-kuil Hindu bersejarah adalah Kathmandu Durbar Square. Setidaknya ada 43 artefak yang ada di Durbar Square ini.  Di tiap kuil ataupun artefaknya memiliki cerita dan lokasi tersendiri. Karena lokasi ini dipadati dengan turis mancanegara sehingga banyak pedagang, toko suvenir, dan penduduk lokal yang tinggal di sekitar Durbar Square. Anda harus benar-benar jeli dan memegang peta instruksi yang diberikan saat membeli tiket agar tidak tersesat. Tapi, tenang saja, ada pemandu lokal yang bisa Anda sewa untuk menemani Anda berkeliling Durbar Square. Dengan harga 500 Nepali Rupee Anda bisa berkeliling sambil mempelajari kebudayaan Hindu dari sini.
Yang unik dari sini adalah tiap tiket yang Anda beli bisa berlaku untuk dua kali kunjungan di dua hari berbeda. Karena bisa dibilang tempat ini cukup luas untuk dijelajahi dalam satu hari. Anda harus meminta stempel di Kathmandu Metropolitan City di bagian tiket sebelum jam 5 sore agar tiket yang Anda pegang bisa digunakan untuk hari lain.

  • Kathmandu Durbar Square. Ticket Fee: 1000 Nepali Rupee.


3. Garden of Dreams
One out f six view in Garden of Dreams (kathmandu.im)

Jika Anda menginap di daerah Thamel (dan kemungkinan besar Anda pasti akan menginap di jantung kota turis ini), maka kunjungan ke Garden of Dreams bisa jadi pilihan Anda saat jalan-jalan sore di sekitar Thamel. Garden of Dreams, bagi saya pribadi seperti paradoks yang menyejukkan di tengah Thamel. Karena saat Anda sampai di Thamel, hawa panas, kotor, dan debu ada disekitar Anda. Dan memasuki taman ini Anda merasa di tengah Eropa yang dikelilingi tumbuhan tropis yang eksotis. Bagi saya kunjungan ke tempat ini sih optional, tapi percayalah Anda akan sangat butuh melihat pemandangan hijau di tengah gersangnya Thamel. Di dalamnya juga ada cafe yang cukup memadai untuk menemani Anda santap sore.


  • Garden of Dreams. Ticket Fee: 200 Nepali Rupee.Opening Hours: 9 AM - 10 PM
4. Sunrise in Pokhara

Saat Anda mengujungi Nepal dan tidak ada rencana untuk mendaki gunung (karena ada banyak pilihan pendakian di Nepal, tidak harus Everest, tapi bukit lainnya juga bisa didaki), saran saya adalah mengunjungi Pokhara, Nepal. Pokhara itu seperti Puncak bagi Jakarta (yang dimana Thamel adalah Jakarta, lebih buruk dari Jakrta bahkan). Udaranya cenderung lebih sejuk, pemandangannya jauh lebih bagus, dan di sini lebih banyak penginapan mewah. Di jalan utama Lakeside Pokhara, mereka memiliki rentetetan toko, resto, dan butik, layaknya di Seminyak Bali. Dengan suasan Hindu yang kental, dan jalanan yang baru saja terguyur hujan ketika kami datang, maka untuk sesaat saya merasa tengah jalan-jalan di Seminyak.
Dan saat membicarakan Pokahara sebenarnya banyak yang bisa dikunjungi dan dilakukan (mungkin akan saya ceritakan di post lainnya). Tapi salah satu hal yang wajib Anda lakukan di Pokhara adalah naik ke Sarankot dan menyaksikan matahari terbit dari atas bukit. Well, sebagai orang Indonesia yang pernah ke Bromo dan punya kampung halaman di Bukit Tinggi sebenarnya pemandangan yang ditawarkan biasa saja. Yang bikin istimewa adalah pemandangan rentetan gunung es sebagai latar belakang foto. Selebihnya, hampir sama semua!


  • Sarankot Hill. Ticket Fee: 200 Nepali Rupee per car. Recommendation: 4AM - 6AM
    • Taxi from hotel: 1500 Nepali Rupee. Please make an appointment a night before you go.

5. Lake View
One of the reason people visit Phewa Lake because it has temple in the middle of the lake (the smokey one is the temple land) and also they have a stair to the top of the hill to the Peace Stupa

Ada banyak danau di daerah Pokhara, mulai dari Phewa Lake, Begnas Lake, dan Rupa Lake. an menurut saya semuanya memiliki keindahan yang serupa. Tapi jika Anda terbatas oleh waktu dan ingin menikmati keindahan danau di Pokhara, Phewa Lake bisa jadi pilihannya. Menagapa? Dekat dengan pusat kota dan juga tempat-tempat menarik lainnya yang ada di Pokhara. Saat di Phewa Lake Anda bisa menyewa sebua perahu yang bisa mengantarkan Anda berkeliling danau. Saya memutuskan menyewa perahu untuk alasan, ya, apalagi kalau bukan foto-foto. Menurut saya, kunjungan ke danau bisa menjadi pilihan yang sempurna untuk menutup hari Anda di Pokhara sebelum kembali lagi ke Kathmandu atau beranjak ke kota lainnya.

  • Boat in Phewa Lake. Ticket fee: 500 Nepali Rupee. Recommendation hours: 4 PM - 6 PM. The sun about to set down and it is very beautiful.
Jadi, jika Anda baru saja mendapatkan tiket murah AirAsia ke Nepal dalam kurun waktu kurang dari seminggu, mungkin lima tempat diatas bisa jadi pilihan Anda selama di sana. Dan apapun yang ingin Anda lakukan di Nepal, cobalah untuk menghargai tempat-tempat suci yang ada di sana, karena tidak semua tempat yang "instagramable" itu layak masuk instagram.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

Gita Adinda

Gita Adinda
Freelance writer full time day dreamer. Passionate story teller and traveler. Very critical about politic and music. Love sleeping and good food. True Cancer Signs.

About Me

Gita Adinda
View my complete profile

Blog Archive

  • ►  2020 (1)
    • ►  December (1)
  • ►  2019 (2)
    • ►  July (1)
    • ►  February (1)
  • ►  2018 (1)
    • ►  December (1)
  • ▼  2017 (27)
    • ►  December (1)
    • ►  November (1)
    • ►  July (2)
    • ▼  June (3)
      • Pulang Kampung: Cerita dari Kota Lawas
      • 5 Nepali Cuisine that Indonesian Must Be Loved
      • Discover Nepal
    • ►  April (5)
    • ►  March (4)
    • ►  February (4)
    • ►  January (7)
  • ►  2016 (3)
    • ►  August (1)
    • ►  April (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2015 (1)
    • ►  November (1)
  • ►  2014 (2)
    • ►  August (2)

Follow Me at




Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates