Powered by Blogger.

GA

Pages

  • Home
  • Let's Partner Up!


There is nothing more i expected in my life rather than being a mom.
It almost feel like my final purpose in this life.
Being a mom, having a daughter, its everything i wanted.

Until, a global pandemic called COVID-19 hitting in the Indonesia.

Usia kandungan masuk 6 bulan waktu pandemi mulai benar-benar memberi efek ke kehidupan sehari-hari.
Rumah sakit yang rencananya mau jadi tempat lahiran, jadi rumah sakit rujukan COVID-19. Jadwal check up bulanan di tiadakan, ibu hamil cuman boleh ke rumah sakit saat sudah dalam kondisii darurat atau sudah masuk minggu ke 28 untuk lahiran. Kantor pun mulai memberlakukan work from home ketika pegawai salah satu kantor di lokasi yang sama ada yang terjangkit COVID-19. Orang-orang mulai mengalami histeria massal dengan memborong makanan dan masker kesehatan di hampir semua swalayan. Dan semua kengerian itu terjadi di akhir bulan Maret 2020, ketika kasus COVID-19 di Indonesia baru 2 orang.

Waktu itu, ketakutan saya satu-satunya hanyalah 'gimana caranya saya bisa melahirkan di era pandemi seperti ini?'.
Pertama saya harus ganti rumah sakit, ganti Obgyn, dan juga ganti persiapan lahiran. 
awalnya saya sudah mantap untuk melahirkan di salah satu rumah sakit di Bintaro bersama salah satu obgyn terkenal yang ada di sana. Walaupun biayanya rada fantastis, tapi saya eudah mantep mau di sana, mengingat ini adalah kelahiran anak pertama kami dengan kehamilan kedua. Jadi, kalau memang harus keluar sampai 40-50 juta untuk lahiran, gakpapalah yang penting selamat.

Tapi bulan Maret pandemik masuk ke rumah sakit tersebut. Salah satu dokter yang ada di sana ada yang meninggal karena Covid-19. Parahnya lagi, dokter tersebut adalah dokter syaraf ibu saya. Jadi, sempat ada keparnoan di rumah kami untuk kembai ke check up ke rumah sakit itu. Obgyn saya juga menyarankan untuk tidak check up dulu sampai lebaran nanti (bulan Juni), kecuali kehamilan saya mengalami kondisi emergency. 

Tapi kalau saya menunggu untuk check up kembali setelah lebaran, saya merasa itu terlalu mepet dengan HPL (pertengahan Juli). Alhasil saya dan ibu saya pun memutuskan untuk mencari rumah sakit khusus ibu dan anak untuk lahiran. Setelah meriset beberapa tempat dan melihat list obgyn yang ada, akhirnya pilihan saya jatuh pada rumah sakit yang ada di BSD, kebetulan dekat dengan rumah orang tua juga. Rumah Sakit Medika BSD, walaupun bukan rumah sakit ibu dan anak tapi rumah sakit ini enggak terlalu ramai dibandingkan rumah sakit ibu dan anak. Mereka juga menjaga protokol kesehatan dengan sangat ketat. Dan rumah sakit ini juga bukan rumah sakit rujukan COVID-19. 



Setelah riset juga, akhirnya saya memutuskan untuk berkonsultasi bersama dr Fadhilah Akhdasari, Sp.OG. Awalnya saya mau sama beliau karena saya enggak merasa nyaman check up sama dokter laki-laki. Tapi begitu sudah konsultasi dengan beliau saya merasa sangat nyaman. Beliau menjelaskan kondisi kehamilan saya dengan sangat jelas. Mungkin karena usia beliau relatif lebih muda dari dokter saya sebelumnya, jadi beliau lebih detail dan pelan-pelan menjelaskan segala kegundahan dan pertanyaan yang saya berikan. 

Saat di check, ternyata Hb saya sangat rendah sedangkan usia kandungan sudah memasuki 7 bulan. Untuk melahirkan butuh Hb 13 ke atas sedangkan Hb saya hanya 7,9. Jadi saya terpaksa konsumsi maltofer dan minum jus buah bit setiap hari untuk naikin Hb. Sebulan kemudian Hb saya perlahan naik jadi 8,3 tapi tekanan darah saya juga ikut naik jadi 140/100. Padahal waktu lahiran udah itungan minggu. Alhasil saya harus nambah minum obat darah tinggi, puasa beberapa makanan asin, dan check up seminggu sekali.

Meanwhile, our little bundle of joy tetap terlihat sehat dan berat badannya pun sesuai dengan perkembangannya. Posisinya pun sangat bagus untuk lahiran normal. dr. Fadhilah pun optimis untuk bisa melahirkan normal bersama saya. Yang harus saya perjuangkan adalah kondisi darah saya. Karena sangat berbahaya melahirkan normal dengan kondisi tekanan darah tinggi. Sedangkan untuk Hb, dokter Fadhilah menyarankan untuk transfusi darah dulu sebelum lahiran. 

BLEEDING THROUGH MY BIRTHDAY
HPL saya diprediksi tanggal 11-15 Juli, sedangkan ulang tahun saya 10 Juli. Waktu tau tanggal prediksi kelahiran. saya sempat bilang ke suami, keren kali ya kalau ulang tahun saya sama ulang tahun anak kita sama. Dan itulah yang terjadi.

jam 5 pagi, 10 Juli 2020, saya ke kamar mandi untuk ambil wudhu solat subuh. Begitu sampai kamar mandi, saya merasa ada yang mengalir di paha saya. Di situ saya lihat sudah ada darah. Saya langsung whatsapp dokter Fadhillah, mengabarkan kondisi saya. Dan luar biasanya dokter Fadhillah langsung membalas whatsapp saya dan menyarankan saya langsung ke IGD Rumah Sakit Medika. Waktu itu saya merasa baik baik saja, enggak ada rasa kontraksi atau apapun, jadi saya bilang ke orang tua saya untuk santai saja, sarapan dan mandi aja dulu sebelum berangkat. Dan baru satu jam, saya langsung merasa ada sengatan yang tidak nyaman dari bawah perut. Awalnya hanya terjadi beberapa detik dan hilang untuk beberapa menit. Lama-lama sakitnya lebih lama dan lebih sering.

Kami sampai di rumah sakit pukul 7.00 pagi. Sesampainya di sana, hal pertama yang saya lakukan adalah ngabarin orang kantor kalau saya sudah persiapan lahiran. Karena dalam kondisi WFH, setiap harinya saya harus report pekerjaan apa saja yang sudah saya lakukan. Dan hari itu rencananya saya akan meeting konten dengan salah satu media untuk acara Hari Anak Nasional. Karena saya masih yakin kalau anak saya lahirannya di antara tanggal HPL, jadi saya pun mengajukan cuti dari tanggal 13 Juli. Tapi, ternyata kami dan si bayi kecil kami sama-sama udah enggak sabar saling bertemu. Di hari ulang tahun saya, ia bersiap untuk lahir. Di hari jumat, di waktu subuh, ia memberi tanda untuk siap di lahirkan.

Sesampainya di IGD, bidan yang jaga mengatakan kalau saya baru pembukaan 4, jika ingin lahiran normal kemungkinan lahiran baru akan mulai sekitar jam 7 malam. Tapi, apa nasib berkata lain, sampai jam 12 siang, pembukaan enggak ada nambah, padahal kontraksi sudah semakin menjadi jadi, ketuban pun sudah rembes dengan warna hijau keruh. Kata dokter Fadhillah "bayinya sudah setress nih, sudah mau lahir tapi jalurnya enggak kebuka, jadi kita jadwalin sesar aja ya mba Gita," alhasil saya pun mengalami operasi sesar pukul 3 sore.

Alhamdulilah operasi berjalan lancar, pukul 15.53 Asiya Salsabila Arunaputri lahir kedunia di tanggal dan bulan yang sama dengan saya. Lahir dengan berat 3,4 kg, Asiya merupakan kado ulang tahun terindah yang pernah saya dapatkan. Dan, luar biasanya lagi lahiran sesar kali ini tidak hanya berhasil melahirkan anak pertama saya, tapi juga berhasil mengeluarkan penyakit yang ada di rahim saya selama ini. Operasi sesar berlangsung enggak sampai 1 jam tapi saya baru keluar dari ruang operasi jam 18.00 tepat adzan maghrib. Selama operasi saya dengar dokter bedah dan obgyn berbincang kalau di rahim saya terjadi pelengketan, yang kemungkinan akibat dari keguguran kehamilan pertama saya yang belum bersih atau mungkin mioma yang pecah. Jadi para dokter harus membersihkan semua itu dari rahim saya selesai melahirkan Asiya. Selain itu terjadi juga varises di jaringan dalam rahim saya yang membuat dokter menyarankan untuk operasi sesar untuk kehamilan selanjutnya.

Bersyukurnya Asiya lahir dengan sehat tanpa ada cacat ataupun sakit apapun. Tidak terlahir kuning ataupun masalah bayi yang umum ditemui beberapa saat setelah lahir. Asiya juga berhasil langsung menyusu, menghisap kolostrum pertama dari payudara langsung. Serunya adalah keesokan hari setelah melahirkan, Asiya langsung dibiarkan berdua bersama saya untuk menyusu. Di siang hari air susu masih mau keluar, tapi pas malah hari sama sekali enggak ada. Sedangkan Asiya menangis kehausan terus menerus. Saya yang kondisinya masih kesakitan setelah operasi sesar pun jadi ikut panik, sedangkan bidan menolak untuk mengantarkan Asiya ke ruang bayi, katanya 24 jam pertama harus sama ibunya. Hingga akhirnya jam 4 pagi, bidan merasa kasihan dengan saya dan Asiya, mereka pun membawa Asiya keruangan bayi. Saya pun bisa tertidur dan sayup sayup dari ruangan saya tidak lagi mendengar tangis Asiya hingga pagi hari.

Asiya lahir dengan penuh perjuangan, enggak disangka lahir di tanggal yang sama dengan saya

Saya kasihan dengan mama yang kebetulan lagi menjaga saya hari itu, terpaksa ikut begadang bersama saya dan Asiya. Tapi, ternyata 24 jam saya menjadi ibu membuat kebutuhan tidur saya juga berubah drastis. Jam 8 pagi, setelah tidur kurang dari 4 jam, suster ke ruangan saya untuk mengajarkan sya berjalan dan ke kamar mandi. Berkat dorongan yang sangat besar ingin buang hajat dan bersih bersih sendiri saya pun berhasil melakukannya walau berjalan dengan sangat lama. Dan setelah saya bersih, tidak lama Asiya kembali ke ruangan saya, sudah dimandikan dan dipakaikan baju yang rapi. Karena hari itu hari minggu, dokter Fadhilah tidak berkunjung lagi, hanya saja menitipkan pesan kalau tidak ada masalah apa-apa, saya dan Asiya sudah dibolehkan pulang dan diminta untuk kontrol kembali di hari ke-10. Walaupun saya masih merasa nyeri-nyeri, tapi saya merasa lebih nyaman mengurus Asiya di kamar rumah saya sendiri ketimbang di rumah sakit. Jadi, dengan mantap saya bilang kalau saya sudah merasa lebih enakan dan siap untuk pulang. 

5 MONTH OF MOTHERHOOD
Baru satu hari Asiya sampai dirumah, badannya langsung demam di malam hari. Penyebabnya, mungkin karena imunisasi polio yang diberikan saat sebelum pulang dari rumah sakit. Setelah diberikan kompres tempel untuk newborn dan disusui terus menerus Asiya berhasil normal kembali. Lalu saat usianya 6 minggu, Asiya juga harus mengalami demam tinggi disertai diare hebat. Penyebabnya mungkin dari gado-gado yang menggunakan sayur gak mateng yang saya makan sehari sebelumnya. Karena dokter bilang di pupnya ada warna hijau yang biasanya penyebabnya karena jamur makanan bukan karena virus ataupun bakteri. Dan juga karena hasil lab pup Asiya tidak ditemukan adanya virus tapi adanya jamur. Setelah diberikan obat puyer untuk diare, dan obat jamur, Asiya juga diberikan himbauan agar ibunya tidak meminum makanan mengandung protein susu sapi karena dari pupnya juga terdapat bercak darah yang katanya adalah ciri ciri bayi yang alergi protein sapi. Belum selesai di situ aja, setelah Asiya sembuh setiap bulannya harus suntik vaksin DPT yang selalu membuat Asiya demam ringan. Tapi karena takut Asiya demam tinggi lagi sampai 39 derajat seperti kejadian saat dia diare, saya dan suami selalu memberikan tempra. Dan baru-baru ini, setelah apa yang bayi kecil ini lalu enggak lama ia mengalami alergi di kulit yang cukup parah. Untungnya tidak disertai demam atau gejala lainnya. Tapi karena sangat parah, terjadi disekujur tubuhnya, jadilah ia harus kembali minum obat puyer dari dokter. Dan semua itu harus dilalui sebelum usianya 5 bulan.
 
Rasa cemas, panik, sedih, dan yang pasti frustasi semua saya alami seiring berjalannya waktu. Frustasi dan depresi terberat saya sempat rasakan di seminggu awal kelahirannya. Asiya sering nangis gak berhenti-berhenti setiap malam sampai subuh, saya kurang tidur, makanpun dipaksa paksain bukan karena nafsu atau suka, dan manalagi badan saya pasca sesar yang juga belum kunjung sepenuhnya pulih. Tapi benar-benar hanya di satu minggu itu saya rasakan berat dan frustasi sendiri. Nangis di kamar mandi tanpa jelas kenapa, tapi setiap semuanya berlalu, kembali lihat Asiya tidur nyenyak, nyusunya kuat, bahkan lihat pupnya lancar itu seperti ada energi baru masuk ke dalam tubuh saya untuk kembali kuat. Kembali semangat. Padahal setiap ngerasa down, saya merasa enggak akan sanggup jalanin peran baru sebagai ibu ini. Karena seluruh tubuh dan pikiran saya kaget betapa menjadi ibu itu menyita tenaga, pikiran, waktu, kayak enggak penting sepagi apapun saya bangun saya enggak akan bisa punya waktu untuk diri saya sendiri. Jangankan untuk sekedar dandan pakai baju cantik dan foto bareng yang proper gitu, untuk pegang handphone dan sekedar liat update berita aja saya kayak enggak sempat. Karena seringnya saya ikut ketidur waktu Asiya tidur dan waktu Asiya bangun saya gak mungkin saya sambil pegang handphone. Lihat aja, niat saya mau nulis blog ini aja baru kesampaian setelah jadi ibu selama 5 bulan dan Asiya udah terlatih tidur siang 2 jam setiap jam 2 siang. Sebelumnya, dia tiap tidur siang cuman setengah jam abis itu melek lagi, ngajak main lagi, terus rewel lagi, tidur lagi, dan terus gitu ampe waktunya tidur malem. Dan kalaupun saya jenuh dan sumpek dirumah terus saya enggak bisa keluar rumah, kayak ke mall gitu, karena kondisinya lagi pandemi. Mall AEON BSD paling deket dari rumah saya aja sampai 2 kali tutup karena ada yang kena COVID-19 di karyawannya selama saya cuti melahirkan.

 

Tapi masa-masa frustasi dan depresi syukurnya juga berlalu dengan gitu aja. Tiba-tiba aja semua kebiasaan jadi ibu baru ini udah melekat aja ke diri saya. Ya, tapi saya enggak mau jumawa, mama dan mertua saya berperan besar membantu saya menghadapi masa transisi menjadi ibu. Ibu mertua saya full tinggal di rumah selama kurang lebih sebulan, bantu masak, bantu gendongin  Asiya kala rewel dari isya ke subuh. Mama juga gak kalah helpful, apalagi setelah mama mertua pulang ke Jogja, ngajarin saya mandiin anak, ngajarin nyusuin sambil tidur, ngajarin saya gendong anak pakai kain, ya walaupun ujung ujungnya beliau lebih suka megang Asiya sendiri. Hehehe.

Dan setelah 5 bulan, saya tidak hanya nyaman menjadi ibu tapi juga nyaman dengan title working mom. Saya sudah bisa memerah susu ke dalam botol, Asiya juga bisa minum susu dari botol, Asiya juga tidurnya sudah lebih teratur dan terprediksi. Tumbuh kembangnya juga alhamdulilah selalu baik. Bahkan condong terlalu baik alias terlalu gendut. Mau dalam kondisi sakit atau enggak Asiya selalu naik berat badannya sampai 1 kilo dan panjang badannya asti nambah 2 cm. Dan bagi saya saat ini enggak ada yang lebih rewarding dibandingkan melihat anak saya sehat dan tumbuh kembangnya sesuai anjuran.

NEVER TOO SOON OR TOO LATE
Dan menjadi ibu di masa pandemi seperti ini, saya merasa teramat sangat bersyukur sekali. Walaupun banyak hal yang tidak bisa saya dan Asiya lakukan seperti bayi di masa-masa sebelumnya, tapi untuk menjadi ibu, masa pandemi membantu saya bonding dengan anak saya lebih dekat. Karena saya benar-benar menjadi ibu bagi Asiya selama 24 jam. Karena saya bekerja juga masih working from home, kalaupun ada momen saya tidak megang Asiya, at least suami atau mama yang lagi ada di dekat Asiya. Jadi, kebutuhan Asiya selama ini masih dari keluarganya belum ada nanny ataupun suster yang ikut mengasuhnya.

 

Selain itu, saya juga bersyukur menjalani peran baru saya sebagai ibu di usia 30 tahun. Enggak kebayang kalau saya menjalani hidup menjadi ibu diusia saya baru 25 tahun, yang dimana gelora untuk jalan-jalan dan hura hura saya masih sangat berapi-api. Saya pikir, perempuan seperti saya pasti akan mengalami depresi yang lebih lama lagi. Karena bisa dibilang di usia ini ternyata saya benar-benar nyaman dengan kegiatan domestik, seperti memasak, menyiapkan pakaian suami, menjadi ibu, bukan berarti jiwa petualang saya untuk wisata ke luar negeri dan nonton konsernya sudah hilang, tapi ambisinya sudah beda. Saya pengen kalau next tripnya nanti bersama suami dan Asiya (tentunya juga bareng dua teman rempong saya April dan Susan dan juga pasangan mereka masing masing lah). Perjalanan yang lebih family friendly. Dan karena ambisinya sudah beda, jadi persiapan nabungnya juga sudah untuk hal-hal yang beda. Walaupun pikiran saya ada di antara Jepang ataupun Melbourne, tapi saya sadar sebagai keluarga saya perlu kendaraan sendiri. Jadi di tahun 2021, saya dan suami komitmen untuk membeli mobil dulu, ambil cicilan yang 18 bulan, lalu baru setelah itu kita nabung untuk trip-trip seru yang dimana Asiya juga sudah cukup umurlah, sekitar 2-3 tahun. Karena kalau sekarang merencanakan untuk trip juga Asiya masih terlalu kecil, dan dunia masih dalam kondisi pandemi jadi rada takut trip keluar negeri dengan bayi. 


Dan dari situ, saya juga sadar satu hal, kita kayaknya harus berhenti membuat seolah olah berkeluarga dan punya anak adalah sebuah achievement untuk perempuan. Karena, setelah dijalani, being a mother should be a true call, a nature call. Bukan karena kata ibu, tante, temen, atau orang-orang, jadi ibu harus karena dorongan dari diri sendiri. Jadi ibu karena sayang sama anak, karena ingin anaknya mendapatkan yang terbaik walaupun ibunya hanya seadanya. Jadi ibu adalah proses menjadi selfless yang panjang dan melelahkan. Karena ketika anak menangis, percayalah, walau udah dipegang sama neneknya atau suster professional, yang anak inginkan adalah pelukan ibunya. Walau ibunya sendiri masih jauh dari sempurna. ya, emang sih banya juga anak yang gede sama mba and turns out fine, tapi rasanya akan beda aja ketika Dan, iya, he eh, semua ini menyadarkan saya betapa semua ocehan dan peraturan dari mama saya adalah bentuk cinta beliau ke saya. 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments


Sudah hampir tiga bulan saya menikah. Dengan pria pilihan saya. Saya tidak mengada-ada, saya benar-benar memilih dia untuk menjadi pasangan saya. Setelah beberapa orang yang saya kenal dan jajaki secara langsung maupun aplikasi kencan digital, entah mengapa semesta mendukung akan hubungan saya dan suami.

Di bulan Agustus tahun lalu, kami "matched" di sebuah aplikasi kencan. Kami ngobrol seadanya, tidak ada yang spesial, dan seperti kebanyakan cerita cinta digital, kami pun tidak bertukar kontak yang mengindikasikan akan adanya kemungkinan kontak lanjutan. Hingga akhirnya beberapa minggu kemudian, sebuah pesan masuk ke inbox direct message di akun Instagram saya. Dia kembali memperkenalkan diri dan mengatakan kalau dirinya baru saja menghapus aplikasi kencan setelah chatting dengan saya. Wah, gombal juga rupanya. Karena saya lumayan sudah kenyang kena rayuan gombal digital, mulai dari yang serius, becanda, sampai yang ada maksud MLM di baliknya, saya pun menjawabnya seadanya. Jelas saya tanyakan apa yang membuat dia begitu yakin dengan saya? Ketemu fisik saja belum pernah. Dan satu jawaban dia yang hingga hari ini kata-kata tersebut belum terhapus dari inbox DM Instagram saya yaitu, "Gak tahu, ngerasa yakin aja".


Dan satu jawaban dia yang hingga hari ini kata-kata tersebut belum terhapus dari inbox DM Instagram saya yaitu, "Gak tahu, ngerasa yakin aja".

Tapi kami tidak memutuskan apa-apa. Saya anggap pesannya itu sebagai bentuk ekspresi dia terhadap diri saya, dan saya pun tidak merasa ada hal yang perlu ditelaah lebih jauh lewat pesannya tersebut. Minggu berganti bulan. Komunikasi kami enggak lebih dari dm-dm di inbox Instagram. Entah dia menyakan perjalanan saya ke Nepal, atau foto-foto lama saya waktu di Jepang. Mungkin orangnya sedang ingin cari inspirasi travelling, begitu pikir saya. Tapi itu tidak berlangsung lama, hampir 3 bulan dia tidak lagi men-DM saya. Mungkin sudah menemukan wanita lain yang lebih antusias menanggapinya, saya pikir.

Semua mulai berubah ketika Mama saya mulai serius memperkenalkan saya dengan seorang pria. Orang Padang, baik kok, cuman kok ya sepertinya, sedikit militan dalam beragama. Tidak ada yang salah sih, toh saya juga masih dalam masa pembelajaran dalam menjalani agama ini. Tapi kok, ya, saya semakin lama semakin risih. Bukan risih dengan kemilitannya. Tapi risih dengan kondisi saya yang terus-terusan disuruh menyeriusi hubungan saya dengan pria ini. Tante saya sudah berkoar-koar kalau akhir tahun 2018 mereka akan pulang ke Padang dan memberi tanda kepada keluarga sang pria untuk sebagai tanda lamar. Sementara saya benar-benar tidak merasa nyaman dengan komunikasi kami. Mungkin sayanya aja yang gampang menghakimi, tapi kok ya saat saya sedang gundah gulana akan kehadiran si pria militan agama ini, tiba-tiba orang yang tiga bulan tidak terdengar kabar kembali memberikan pesan lewat DM Instagram. Tidak ada halo ataupun apakabar. Kalimat pertama yang ia tuliskan adalah "maaf tiba-tiba ngilang, baru saja selesai masa PraJab. Baru bisa pegang handphone lagi"
Saat itu saya cuman bengong membaca pesan. Saya saja lupa dengan siapa saya saat itu berbicara, boro-boro mau ngeh kalau dia lagi ngilang. Akhirnya, saya kembali membaca pesan-pesan terdahulu sehingga saya ingat kembali apa saja yang pernah kami bicarakan. Kami pun berbincang cukup lama. Sekali lagi, tidak ada yang terlalu berat ataupun terlalu intense. Hanya bertukar kabar dan membicarakan film apa yang tengah seru di minggu itu. Saya rekomendasikan dia film "Bohemian Rhapsody" untuk ditonton. Ia pun menyanggupi, dan janji akan nonton film itu ... sendiri. Hahaha, karena posisinya saya sudah nonton dan sekali lagi saya enggak ada kepikiran hubungan kami mampu keluar dari DM.

Keesokan harinya, ia mengatakan kalau dia sudah nonton film itu. kami pun saling bertukar review. Dari situ saya tahu kalau selera musiknya lumayan bagus. Dan buat orang seperti saya, selera musik salah satu deal breaker. mau Anda tuh kaya raya, mobil seminggu sekali ganti tapi ternyata fanboy K-Pop yang hardcore, mohon maaf rada susah saya naksirnya. Oke balik lagi ke jalan cerita. Dari perbincangan ngalor ngidul itu, akhirnya dia mengindikasikan kalau dirinya sesekali mau main ke daerah BSD. Saya pun memberitahukan opsi-opsi angkutan umumnya. Dia pun berjanji kapan-kapan akan mencobanya. Saya pun dengan santai menjawab "oke kabarin aja ya!"

Belum sempat dia ketemu waktu liburnya, di minggu itu saya dapat tugas ke Surabaya. Mengantar salah satu artis dari label saya untuk main di acara media online nasional. Dengan akomodasi Garuda yag cuman ada di terminal 3, saya teringat kalau si dia yang enggak pernah melampaui DM Instagram ini, untuk menemui saya di terminal 3 keberangkatan. Penerbangan kami pukul 11 siang, dan saya sudah datang lebih awal untuk menepati janji yang sudah saya buat sendiri. Ada rasa deg-degan karena saya akan bertemu dengan orang asing yang cuman saya kenali lewat internet. "Gimana kalau dia bohong dan sebenernya enggak kerja di sini?" , "Gimana kalau aslinya dia udah punya istri? (been there done that)", "Gimana kalau begini begitu", biasalah pemikiran negatif merangsang saraf untuk membuang hal negatif. Begitu saya sampai di bandara, saya langsung mules dan buang air. Begitu selesaikan hajat saya bilang ke diri saya sendiri "it just a meeting, kalau emang dia mengecewakan toh lo gak berhutang apa-apa saa dia? Lo gak menjanjikan apa-apa sama dia? Nothing should happen after this meeting Gita, it just a casual meeting"
Dan akhirnya kami bertemu di taman yag ada di terminal 3. Orangnya cukup kaku waktu saya pertama kali ketemu. Tapi setelah ngobrol lama, saya menyimpulkan "oh ya, mungkin karena dari daerah ya!". Bukannya saya mau merendahkan orang daerah, justru karena kental tata krama daerah yang masih si mas ini bawa dlam pertemuan kami lah yang membuat saya enggak se-takut dan se-curiga. Kalau ngobrolnya udah luwes sok asik ketawa haha hihi sambil ngerokok itu justru yang bikin saya males.

Kami ngobrol enggak begitu lama. Sekitar setengah jam, enggak lama tim manajemen artis beserta artis yang akan saya bawa ke Surabaya sampai di bandara. kmai pun berpisah. Tidak lupa sambil bertukar nomor handphone. Pikir saya, yasudahlah, 'what the worst thing could happen' sih. 

Setibanya saya sampai di Surabaya, ibu saya telfon, kalau orang yang ia jodohkan dengan saya (si mas militan agama, remember?) mau datang ke rumah. "Kamu katanya janjian mau ketemu Bang Jojo hari ini? Dia mau ke rumah loh". Asli saya lupa selupa-lupanya. Saya pun langsung telfon si abang militan ini, dan bilang kalau saya lagi enggak di rumah. Saya lagi di luar kota. Tapi dengan sigap dia mengatakan "Gakpapa dek, abang cuman mau ketemu sama mama aja. Mau ngobrol-ngobrol, kan udah janji waktu di kawinan itu kalau abang mau ke rumah kan?". Holly shit. Perdana banget saya pengen banget loncat dari lantai 15 hotel Citra Artpreneur Surabaya. Gimana sih, orang ini udah ditolak secara halus juga masih kekeuh. Dan yang lebih bikin saya frustasi lagi, ibu saya mendukung hubungan ini. 

Malamnya, adik saya telfon. Adik saya tahu persis kalau saya enggak mau banget dengan orang ini. Dia bilang "Uni, lo mau pulang jam berapa? Kalau sekiranya nyampe rumah jam 8an, mending lo tunggu di luar dulu ya. Soalnya ini si abang Jojo bilang dia mau nungguin lo pulang. Gue tadi bilang ke mama kalau elu pulangnya tengah malem". Maderfaker. Gila banget udah kayak mau dicegat di sama preman pangkalan ini rasanya. Dan, emang nyatanya di tiket pulang saya memang tulisannya landing di Jakarta jam 8 malem. Dan sepanjang perjalanan saya enggak pernah berdoa hal buruk terjadi di pesawat, tapi saya berharap kali ini aja Garuda itu delay. Dan ternyata ya kawan-kawan, kalau kita berdoa jelek untuk kemaslahatan umat banyak, insya Allah do'a kita pasti ... tidak akan terkabul. Karena dari yang tulisan di cetaknya landing jam 20.10, saya keluar pesawat jam 20.00. Kopet!

Sambil cek-cek ombak saya tanya ke adik saya via Whatsapp, "gimana udah pulang?". "Udah, katanya dia enggak enak lama-lama di rumah, dan katanya mau janjian lagi sama elu untuk ketemu berdua aja di luar", jawab si Ifan. Dan bener aja, gak lama si abang Jojo ini nelfon saya, yang intinya ngajakin ketemuan berdua aja di Jakarta, ngobrol-ngobrol lah, apalah. Dan lagi-lagi saya tolak dnegan bilang, "Iya bang, tapi kalau hari kerja Gita udah capek banget, pulangnya jauh. Dan kalau weekend malas main ke Jakarta," gila belagu banget gak jawabannya minta di slepet sarung plintir. "Oh yaudah, kalau gitu, wiken ini baang main lagi ajalah ke BSD, gakpapa kok, hehe," OHSYIT! WAII!!!

Besokannya mama saya dengan sumringah menjejeli saya kekagumannya dengan si bang Jojo ini. Yang dia usahanya udah maju lah. Yang dia agamanya baguslah. yang dia aslinya pinter banget lah. apalah. You name it. Saya pun mulai terbuka sama mama kalau saya sebenernya enggak sreg dengan pilihannya ini. Dan saya minta untuk enggak mendesak yang harusnya mendesak. Daaann, seperti yang bisa dibayangkan, seorang mamak mamak minang kalau ngomel itu enggak mungkin cuman satu topik aja. mulai dari topik "kewajiban menikah", topik "kebahagian berumah tangga", lalu "contoh-contoh perempuan yang telat menikah di dalam keluarga yang jadi buah bibir keluarga", you know topik-topik yang saya gak pernah jadi beban pikiran saya. 

Cuman saya tahu ini beban pikiran beliau. Beban yang sangat sangat berat. 

Dan, di masa-masa itu, saya inget banget, enggak luput di tiap solat saya, saya berdoa sambil menangis. Enggak menangis kaleng-kaleng ala FTV. Bener-bener nangis sambil meneteskan air mata. Enggak saya enggak minta ke Allah untuk dijauhkan dari pria yang begitu diyakini oleh ibu saya. Kali ini perminta saya enggak muluk-muluk sama Allah. "Ya Allah, jika memang dia yang sudah Engkau Jodohkan kepada hamba, maka bukakanlah pintu hati Hamba. Yakini dan kuatkan hati hamba untuk menjadikannya pasangan hidup Hamba. Hamba pasrahkan semua kepada Engkau Pemilik Takdir"


"Ya Allah, jika memang dia yang sudah Engkau Jodohkan kepada hamba, maka bukakanlah pintu hati Hamba. Yakini dan kuatkan hati hamba untuk menjadikannya pasangan hidup Hamba. Hamba pasrahkan semua kepada Engkau Pemilik Takdir"


Pasrah.

Enggak ada yang bisa saya lakuin lagi. Kalau memang itu pilihan yang ibu saya yakini, saya ikut.

Sampai akhirnya, di akhir November. ditengah kerempongan tantet-tante saya yang heboh mau pulang kampung sambil bawa tanda ke keluarga bang Jojo. Saya, mama, dan adik saya sempat ada perjalanan ke Thailand. Saya ingat hari itu, hari jumat, dan penerbangan kami tepat pukul 13.30 siang dengan AirAsia. Perjalanan yang bisa dibilang enggak bisa saya lupakan. Karena ini jadi perombakan hati yang terombak-rombaknya. Haha, lebay. 

Okey lanjut. Karena saya kembali akan ke terminal 3 Soekarno Hatta, saya ingat kalau saya punya kenalan yang kerja di sini. Sok playful dan tanpa ada rasa gimana-gimana saya bilang ke si mas Soekarno Hatta ini, "eh saya besok mau ke thailand terbangnya lewat terminal tiga. Kalau mau ketemu lagi boleh lho!". Dia pun menyanggupi. Dengan berbekal informasi tujuan dan nama pesawat saya, kami pun berjanji akan bertemu di tempat yang sama. Pikir saya, hanya sekedar "say hi" kan gakpapa. 

Keluarga saya yang hobi nongkrong lama di bandara, di hari itu tumben-tumbenan mepet banget berangkatnya. Kami sampai di bandara tempat pukul 11.30. Memang masih lama menuju take off, lah ya tapi kan ini waktu kepotong solat jumat. Alhasil, adik saya yang emang ada wajib jumatan langsung terpogoh-pogoh nyari mesjid. Saya pun yang udah janjian dengan si mas bandara ini pun gak berharap banyak, pasti dia juga udah siap-siap solat jumat. Justru saya kecewa berat kalau dia ninggalin solat jumat cuman buat ketemu saya. 

Kelar solat jumat, saya pun mengirim beberapa pesan ke si mas bandara ini. Ynag dimana isi pesannya lebih kearah saya pamit mau masuk ke imigrasi dan menuju pesawat. Saya juga bilang kalau lain kali saja kami janjian berjumpa lagi. 
Dengan waktu yang sudah teramat mepet dengan waktu take off, saya bersyukur banget dengan mobil golf di bandara yang mampu nganterin penumpang ke ujung terminal. Pas banget jam 13.00 saya sampai di depan gate. Sampai akhirnya pas giliran saya untuk masuk ke pesawat anehnya tiket saya dan adik saya ada kesalahan teknis gitu. Mendadak petugas ticketing di depan pesawat bilang kalau tiket saya dan adik saya sudah hangus. WHAT!! WHAT!! Alhasil saya dan adik saya gak bisa masuk dong. Melihat kami berdua gak bisa masuk, mama saya yang udah masuk duluan, langsung keluar lagi. Dia bilang kalau, dia enggak mau ikut erbang kalau kami berdua enggak bisa masuk. Dan petugas ticketing pun menjelaskan kalau ada kesalahan teknis sedikit, jadi bukannya enggak bisa masuk, cuman agak repot harus di masukin manual data-datanya lagi. Meanwhile kan yaa, waktu terus berjalan, tinggalan saya bertiga di depan gate meratap pintu masuk menuju Thailand. "So close yet so far". 

Dan enggak lama, kayak ada yang nepok bahu saya dari belakang, saya pikir petugas dari AirAsia yang mau bantuin permasalahan tiket ini. Tau taunya... ya... seperti yang sudah diduga. Si mas bandara yang punya airport pass dan juga hehe, immigration badge. Saya lupa kalau dia bisa nyamperin saya sampai depan gate. Dengan terpogoh-pogoh dia nanya "ada masalah masuknya?". Saya yang sempat bingung, kaget, tapi dalam hati seneng. Seneng 'eh kok ya ada sih orang yang mau segininya banget ke gue'. Lebih keperasaan gitu. Tapi cepat-cepat saya menanggapi, 
"Iya nih, enggak tahu, katanya tiketnya bermasalah. Jadi harus di input ulang,"
"Oh, tapi aman"
"Kayaknya sih,"
Sambil ngobrol saya merasa ada tatapan dingin dari punggung dan menembus hingga sanubari saya. Sontak jiwa raga ini membalikan badan dan memperkenalkan si mas dengan mama dan adik saya.
"Oh ya mas, kenalin ini mama sama adik aku, ma kenalin ini namanya mas Aji. Dia kerja di Imigrasi bandara sini,"
"Oh, halo, ya"
Entah apa yang mas Aji dan mama saya bicarakan, karena enggak lama petugas gate memanggil saya dan memberikan tiket dan nomor kursi baru untuk saya dan adik saya. Kesal sih, tpai yaudah lah, dari pada enggak jadi sama sekali ke Thailand.
Saya pun mengucap pamit ke mas Aji, dan berjanji akan menghubungi sesampainya di negeri gajah putih. Dan seperti dugaan saya, sepanjang perjalanan, di dalam pesawat mama saya membredel saya dengan segambreng pertanyaan yang saya jawab sebisanya. "Dia siapa?", "kenal dimana", "kamu kok kenalan sama cowok lain sih dalam status lagi sama bang jojo begini", "emang hubungan kamu sejauh apa?", "kamu yakin dia cowok bener?","gak baik tau Git, kamu ini lagi mau dijodohin gini terus bawa-bawa orang lain", "kamu tau lagu ayam den lapeh? siku capang siku lapeh, itu sifat yang kamu lagi lakuin sekarang. Yang satu belum tentu jadi, kamu udah bawa orang lain lagi, hasilnya semua lepas", wah pokok lengkap deh nasehat bundo kanduang. 
Love - Hate Relationship since 1990
Kesayang akuh

Tapi anehnya, saya enggak merasa terganggu dengan rentetan pertanyaan mama. Untuk pertama kalinya saya senyum-senyum sendiri melihat tingkah laku mama. Padahal belum tentu juga si mas ini mau nikahin saya. Tapi membahas tentang si mas dan prospek apa yang saya miliki dengan si mas dengan mama, jujur buat saya happy. Walaupun belum ada yang pasti. Toh, dia mungkin merasa enggak enak aja karena udah janji ketemu dan bukan tipe orang yang mau membatalkan. Atau mungkin aja dia sering melakukan itu ke perempuan lain, saya enggak tau juga. Yang saya tahu, waktu itu, di momen itu, saya merasa sangat dihargai. Untuk pertama kalinya, saya merasa diutamakan. Perasaan yang belum pernah saya rasakan dalam hubungan antar manusia manapun selama 28 tahun hidup. Sama orang tua, saya harus mengutamakan orang tua. Sama adik, harus bantuin adik dalam apapun. Sama temen, kadang ngorbanin waktu leha-leha dan perasaan sendiri demi nemenin mereka curhat. Pacar, ahhh lebih-lebih lagi, apa sih yang enggak saya lakuin untuk bikin pacar saya senang. Selalu saya yang berusaha untuk membuat semua orang nyaman dengan kehadiran saya ditengah mereka. Sesekalinya saya punya waktu luang sendiri, saya gunakan dengan seegois-egoisnya. Jalan-jalan sejauh-jauhnya, sehabis-habisannya uang tabungan.

oke balik lagi ke plot utama. Bagi saya, usaha si mas untuk nemui saya di depan gate pesawat, walau hanya sekadar numpang lewat, itu luar biasa untuk saya. Padahal kalau dia enggak ngelakuin hal itu, saya enggak akan ilfeel dengan si mas. Saya bakalan biasa aja. Toh, juga kami saat itu juga bukan siapa-siapa. Cuman "acquaintances", gak lebih. Tapi, dengan gesture yang dia tunjukkan, kok ya saya jadi kepikiran dia terus. Belum lagi, si Mama enggak berenti-berenti menggali bioadata si mas.

Anyway, perjalanan ke Thailand lancar. Kami pulang dengan membawa segudang kenangan yang menyenangkan. Dan juga jadi pintu pembuka hubungan saya yang lebih intense dengan si mas Aji. Enggak butuh waktu lama buat kami untuk jalan bareng, ketemuan, dan juga membicarakan serius tentang diri kami. Bckground keluarga kami. Momok terbesar dalam hidup kami. Dan yang pasti, apa yang sama-sama kami cari dalam hubungan ini. Saya ingat di pertengahan Desember kami pun mulai menjalani hubungan ini dengan serius. Niatnya untuk menuju pernikahan. Enggak buru-buru kok. niat kami, mungkin pertengahan tahun 2019, saya diperkenalkan dengan keluarga mas Aji di Jogja, lalu mungkin akhir tahun 2019 sudah mulai membicarakan pertunangan ataupun kebutuhan lainnya.


never before seen picture of our date. Dua foto berbeda dengan hari berbeda, entah kenapa bajunya sama mulu saya nya. hff

Ya, namanya juga anak manusia yang berencana, ibu-ibu mereka pun yang berkehendak. Akhir Desember mas Aji ketemu mama dan papa di rumah. Enggak cuman memperkenalkan diri, tapi juga menyatakan niatnya seriusnya menjalani hubungan dengan anaknya ini. Mama dan Papa cukup impresif dengan pembawaan mas Aji waktu itu. Mungkin juga karena dia datang dengan mengenakan kemeja batik lengan panjang. Super sekali. Selesai makan siang kami pun berkunjung ke rumah tantenya Mas Aji di Cipayung, syukur alhamdulilah, vibe yang sama seperti keluarga sendiri saya dapatkan dari keluarga ini. sepulangnya dari Cipayung, kami saling bertatapan dan mengamini apapun yang sedang direncanakan Yang Maha Esa. 

Akhir Januari, Ibu mas Aji datang ke Jakarta, mas Aji membawa saya menemui ibunya. Ngobrol sebentar sambil sekalian berkunjung ke rumah sepupu yang baru lahiran, mama mas Aji menanyakan hal-hal seputar keluarga dan juga pertemuan kami. Akhir pertemuan, mama Mas Aji mengatakan kalau dirinya akan berkunjung ke rumah di bSD akhir pekan ini. Dan di hari Sabtu itu, mama mas Aji datang bersama keluarga yang lain ke rumah dengan membawa hantaran sebagai tanda perkenalan. Yah, tapi namanya juga si mama Linda, udah enggak sabar banget punya mantu, langsung aja enggak pakai babibu mengungkapkan keresahannya melihat putrinya "dekat" dengan pria lain tanpa ikatan pernikahan. Hmmm. Minggu depannya mama dan papa saya diundang ke rumah keluarga di Cipayung, dari obrolan sederhana, disitu akhirnya diputuskan tanggal 24 Februari tanggal pertunangan dan 20 April sebagai tanggal pernikahan. 

when this things wrap around my finger, i realize, his first DM message was for real. 


Kaget? Tentu, tapi sejujurnya enggak se-kaget itu. Mungkin terasa seperti "kok ya cepet banget sih", tapi anehnya saya enggak merasa sepanik itu. It feels like, you know its going to happen and surprisingly i feel happy it is going to happen.


It feels like, you know its going to happen and surprisingly, i feel happy its going to happen.


Dan, jangan salah sangka, sepanjang perjalanan menuju pertunangan dan pernikahan, pastinya banget ada hal-hal yang membuat saya dan si mas berantem atau selisih paham. Dan ini keanehan lainnya. Dulu, setiap saya berantem entah sama pacar atau mungkin baru sama gebetan aja, saya tuh segitu bucinnya sampai saya tuh ngalah banget dan takut banget mau ngelakuin apapun asalkan hubungannya enggak bubar. Sama si mas, kok ya saya kehilangan sense of cancer sign saya yang hobinya dodging the controversy. Beberapa kali ketidaknyamanan saya ungkapin dengan segitu gamblangnya. Saya jelasin apa yang membuat saya nyaman dan enggak nyaman dari hubungan ini. Tapi, saya enggak mau membuat si mas merasa banyak dituntut sepihak, jadi saya selalu terbuka sama dia hal apa yang menurut si mas yang harus berubah dari saya. Dan bahkan saya sempat bilang ke mas, saya enggak akan menahan mas kalau mas merasa semua ini terlalu cepat, atau ternyata mas menyadari kalau saya bukanlah pilihannya. Karena saya enggak mau punya pengalaman ditinggal pasangan di pelaminan (yang dimasa itu, lagi ngetren banget orang-orang disekitar saya pada putuh di h-seminggu lah, h-3 menikah lah, ngaco banget kan), jadi kalau terindentifikasi sejak dini kalau saya bukan yang dia cari saya enggak melarang dia untuk mundur. 

Dan mungkin itu kali ya, kekuatan pasrah berserah diri kepada yang maha Berkehendak, alhamdulilah banget enggak ada pertikaian yang besar banget yang bikin kami ribut sampai enggak ngomongan, atau ada kejadian yang bikin saya meragu untuk mundur dari pilihan ini. Dan itu enggak cuman menuju pernikahan bahkan sampai sekarang. 

the rain destroy my dream wedding, but it strengthen my early step of marriage


Ketika saya memilih untuk menjadi diri saya sendiri dan ditambah berserah diri kepada yang Maha Kuasa, (dan memfilter omongan-omongan orang yang masuk ke dalam telinga kita), ternyata semuanya malah dilancarkan. Ya kecuali pas di pesta pernikahan kita. Tiba-tiba ujan aja. Enggak deng enggak ujan, lebih tepatnya badai. Mantep bener lah!

Mungkin bagi teman-teman dekat saya, yang pasti auto komen:
1. "Gila Git, ini lu cepet banget sih, lu yakin mau nikah sama orang yang baru lu kenal?"
2. "Lo belum pernah berantem hebat pastikan sama si mas? Lo gak tau aslinya dia gimana kan? Gimana kalau dia tukang mukul? Gimana kalau dia abbusive?"
3. "Wah, lo gila sih, lo beneran yakin mau nikah? Lo udah tau enggak gaji dia berapa? Mana tau cicilan dia banyak lho. Lo nikah sama dia, lo juga nikah sama utang-utangnya"
4. "Tetep hati-hati Git, gue cuman bisa doain semoga lo bahagia aja sih!"

Dan masih banyak lagi omongan orang lainnya, yang kalau dimasukin ke hati banget pasti lah ngerasa ragu. Dan sebagai cancer sejati jelas saya sempat merasakan keraguan itu. "Apa iya gue dan si mas udah dalam tahap siap menikah? Gimana kalau gaji kami emang bener kata Vera yang enggak cukup buat berumah tangga di ibukota? Apa iya si mas suka mukul?"

Dan semua keraguan yang saya rasain, saya omongin aja lagsung ke orangnya. Saya malas merasa sedih dan bimbang sendiri. Hasilnya apa? Hasilnya kami ngobrol panjang lagi tentang rencana setelah pernikahan. Bagaimana kami akan menyusun budget rumah tangga kami (yang ternyata udah dipikirin juga sama si mas) dan hal-hal lainnya. 

Dan sebelum kami mengikat janji sehidup semati, kami juga membuat sebuah janji mengenai perilaku abusive, poligami, dan hal-hal lainnya. Semacam pre-nub tak tertulis yang kami berdua sepakati untuk bisa sama-sama nyaman berada dalam pernikahan ini. 

I know this marriage will be fun, because i have such a blast day during our honeymoon in Bali. Ambisius tapi tetap harus leha-leha.


Itu mengapa, saya buat judulnya pernikahan tidak untuk semua orang. 

Iya, saya yakin tidak ada satu pun manusia yang sempurna, semua pasti luput dengan perilaku dan tabiat buruknya masing-masing. Tapi, keburukan atau apapun namanya itu, harusnya enggak menjadi alasan kita untuk menghindari untuk berhubungan dengan manusia. Justru, perbedaan yang harusnya jadi jembatan kita untuk lebih bisa saling menghargai. Intinya sih, begini, bagi saya yang baru 3 bulan jadi istri orang sih merasa resepnya orang yang bisa  menikah itu simpel: kompromi dan terbuka antar satu sama lain. Kalau untuk melakukan dua hal ini saja terasa berat, ya, saya setuju pernikahan bukan hal yang cocok buat kamu.


Intinya sih, begini, bagi saya yang baru 3 bulan jadi istri orang sih merasa resepnya orang yang bisa  menikah itu simpel: kompromi dan terbuka antar satu sama lain. 


And thats fine. Jujur saja, saya bukan orang yang mudah menerima kehadiran orang lain dalam hidup saya. Jangankah orang, pekerjaan udah dua tahun saya jalanin aja masih aja ada salah-salahnya. Apalagi jalanin hidup dengan orang lain, dan kontraknya sehidup semati. Itu bukan hal gampang. Tapi, saya juga sadari hidup ini bukan tentang gimana gampangnya aja. Tapi gimana caranya untuk bisa jadi lebih dari yang kemarin, gimana caranya bisa lebih berguna untuk orang banyak. Beberapa orang harus mengikuti siklus kehidupan (lahir - dewasa - kuliah - bekerja - menikah - punya anak - punya mantu - punya cucu - mati) untuk menjadi orang yang lebih baik. Beberapa orang udah bisa mencapai semua hal yang perlu ia capai dalam hidupnya tanpa harus mengikuti siklus kehidupan. 

Ada orang yang merasa tujuan hidupnya sudah tercapai sampai bisa bekerja dan jadi top management. 

Ada yang merasa cukup dengan punya pasangan, saling cinta dan sayang, tanpa harus punya anak.

Ada yang merasa sangat bahagia dengan status orang tua single. Karena bisa lebih fokus bekerja dan membesarkan anak. 

Ada yang merasa semua tujuan hidupnya sudah tercapai tanpa kehadiran anak, tanpa pasangan, dan tanpa pekerjaan 9 to 5 yang mengekang. Ia merasa cukup dengan pekerjaan freelance nya yang mencukupi untuk bayar kebutuhan sehari-harinya bersama seekor anjingnya.

Kadang kita suka kelewat sibuk untuk memprojeksikan kesempurnaan hidup milik kita ke dalam pilihan hidup orang lain. Itu lah mengapa terjadi perkumpulan grup-grup whatsapp julid yang isinya gak lebih dari ngomongin pilihan hidup orang lain:

"Ih ya ampun dia kok mau ya nikah sama si ini"
--> Ya lo gak tau kan gimana caranya orang itu bikin temen kita bahagia. Hal apa yang dirasain sama temen kita dan enggak di rasain saat sama pasangan sebelumnya. Pertanyaan jenis kayak gini nih, mau orang yang diomongin udah punya anak dua tetep aja enggak akan ngerti.

"Ya ampun, dia nikah pake taaruf? Waw, berani ya?"
--> Lah emang taaruf kayak jurit malam apa? Kenapa mesti takut! Taaruf bukan proses semalam langsung nikah. Ada proses pengenalan antar dua pihak yang kredibel. Bisa antar keluarga, antar ustadz yang jadi kepercayaan satu sama lain. 

"Ih, masa sih dia udah 6 tahun nikah enggak punya anak"
--> Lo bantuin dana waktu pasangan itu mutusin untuk coba bayi tabung gak? Lo bantuin cariin dokter yang bagus gak waktu mereka juga ngerasa gelisah enggak dikasih-kasih momongan? Enggak! yaudah diem, gausah ngomongin! Dan juga jangan sotoy, mana tau merekanya emang enggak mau punya anak. Takut melahirkan anak di era netizen julid ada di mana-mana. Bikin snewen aja.

"Eh ya ampun, kesian banget deh dia dipacarin 9 tahun, eh lakinya malah nikah sama cewek lain"
--> Kalau ada sohib-sohib kuh yang pernah ditikung sama temen ampe nikah sama mantan, plis deh, lo itu lagi dilindungi oleh Yang Maha Esa. Tukang selingkuh dijodohin sama tukang selingkuh, jadi jangan sedih. Dan yang hobi ngomongin, jangan sotoy juga! Mana tau yang ditinggalin santai aja!

"Duh, gue sih males berurusan sama si perawan tua, galak banget"
--> Lah apa urusannya keperawanan sama kegalakan orang ya. Kalau elu nyebelin sih, mau yang perawan, enggak perawan, nenek-nenek juga pasti galak. Dan, udahlah istilah perawan tua itu udah gak valid lagi di pake di jaman sekarang. Otaknya udah pada kotor semua. 

"Si pak ini udah manajer, cakep, belum nikah-nikah, kayaknya cong ya?"
--> Kalau emang iya, itu bukan urusan elu. Dia mau jadi cong kek, activist LGBT yang penting enggak jadi BGST kayak elu. Nah, kalau terbukti enggak, ya mungkin aja emang belum ketemu yang cocok. Daripada ngomongin mending bantuin cariin. 

Udah ah, sekian dulu tauziah saya hari ini. Besok-besok kita lanjutin lagi. Pokoknya stay strong ya people. Pasrahin aja, sama sering-sering ngobrol sama yang punya Takdir, insya Allah dikasihnya yang emang terbaik untuk diri kita. 








Share
Tweet
Pin
Share
No comments


For once in my life, i finally understand everything.
Why everything work this way and not that way.


Assalamualaikum blog yang sudah lama enggak saya update.
Apa kabar?
Enggak terasa udah tahun 2019 aja.
Dan enggak terasa sudah banyak yang dilalui.
Mulai dari jatuh hati, patah hati, kecewa, lalu bahagia lagi.

Enggak tau gimana caranya me-rekap perasaan dan kehidupan saya selama satu tahun terakhir ini ke dalam satu postingan. Tapi bisa dibilang 2018 is one of hellish roller coaster untuk kehidupan personal saya. Yah, bisa dilihat lah, materi postingan saya yang terakhir saya update aja bahan tulisan yang harusnya saya selsaikan tahun 2017 kan. Hahaha.

Emang lagi agak malas juga sih saya nya. Tapi juga saya sendiri lagi mengalami banyak problema kehidupan di penghujung usia 20-an ini. Iya dari pekerjaan, iya dari pasangan juga. Well, paling seru sih dalam pencarian pasangan ya!

Hahaha, saya enggak mau munafik lah, kalau tahun lalu saya sedang rindu-rindunya punya pasangan. Pengen juga kembali jalanin hidup penuh romansa-romansa. Dan tahun 2018 menjadi tahun percomblangan ter-epik dalam hidup saya. Beragam pria yang sudah dikenalkan ke saya, mulai dari tinder saya coba, lalu kenalan dengan kenalannya teman, lalu anaknya teman orang tua, sampai-sampai keluarga saya mau nyomblangin saya sama saudara sepupu saya sendiri (mereka bilang enggak sepupu langsung tapi kalau di tarik garis keturunan kami masih satu nenek, gila banget kan? Hahaha).

Dan pada kesempatan kali ini saya enggak mau ngomongin detail tentang orang-orang ini. Tapi mungkin seperti Ariana Grande "Thank U, Next", saya ingin mengucapkan terima kasih kepada setiap orang yang saya temui di tahun 2018 dan tahun-tahun sebelumnya. Karena kalau tanpa kehadiran mereka, mungkin saya enggak akan sampai ke minggu ini. Minggu dimana saya akan mengakhiri masa lajang saya, karena hari Minggu, 24 Februari 2019 keluarga dari pria yang jadi pilihan akan datang ke rumah dan melamar saya (mau tahu siapa? tunggu postingan setelah ini ya!) (Jangan terlalu berharap kalau saya akan nulisnya akan cepet ya, mungkin minggu depan).

Jadi, meniru judul serial Netflix favorit anak jaman sekarang "To All The Boy That I Have (and Forced To) Met Before":

1. Terima kasih kepada kamu yang highly promoted by tante saya. Dengan pekerjaan yang kamu miliki, saya yakin kamu bisa menemukan perempuan yang mungkin lebih baik dan mungkin sama pandangan politiknya dengan kamu. Kalau kamu harus tahu, saya sempat mungkin tertarik lah ya sama kamu karena "yaudahlah Git, cari apalagi sih, seiman, kerjaannya juga bagus, sama-sama orang Padang, selera musiknya juga bagus". Dan kalau kamu harus tahu kenapa saya memilih untuk enggak sama kamu, well, kayaknya kamu juga tahu deh. Di hari kamu meminta saya untuk memberi selamat atas terpilihnya bos baru kamu, thats the moment i'm done with you.  Tapi kalau saya boleh memberikan masukan, kamu sebenarnya punya waktu untuk melumpuhkan saya kalau saja kamu sedikit agresif mendekati saya. Saat terakhir kita bertemu, kamu bilang kita akan ketemu lagi. Tapi sampai satu bulan, dua bulan ke depan kamu enggak jelas kabarnya. Whatsapp saya cuman menyapa abis itu ngomongin sesuatu yang enggak jelas maksudnya apa. Pernah dua kali kita janjian lagi untuk ketemuan tapi kamu yang batalin. Dan buat pria-pria di sini, satu pelajaran yaa, "saat kalian janjian sama orang yang lagi kalian deketin tapi kalian sendiri belum pasti bisa, tolong jangan mengiyakan". Karena bagi saya itu kesalahan sepele dalam awal hubungan yang cukup bikin cewe ilfil sih. Dan, oh ya, buat kamu, terima kasih atas segala whatsappnya yang random gak jelasnya. Saya tahu pasti niatnya baik, semoga kamu juga di pertemukan sama yang lebih baik.

2. Terima kasih kepada kamu yang saya swipe right di Tinder. Kamu yang entah berapa banyak kamu yang saya maksud. Terima kasih atas pencerahannya atas kehidupan ini. Terima kasih atas undangannya untuk one night stand padahal profile picture saya sudah jelas-jelas berhijab (saya enggak ngerti lagi gimana nanggepinnya), terima kasih atas chat yang tak berkesudahan tanpa ada janji temu yang jelas, terima kasih atas rayuan yang Maha Dahsyat sukses membuat saya senyum-senyum sendiri, terima kasih atas obrolan yang luar biasa mendalam mengenai penyakit dalam yang kamu derita sehingga membuat saya lebih mawas diri, terima kasih atas keterbukaannya terima kasih canda tawanya. Semoga kalian semua mendapatkan orang yang memang sesuai dengan harapan kalian.

3. Terima kasih kepada kamu yang dulu pernah datang lalu pergi lagi. Kalau untuk kamu, khusus lagunya Adele "i wish nothing but the best for you". Terima kasih, atas kehadiran kamu. Mungkin kalau enggak ada kamu, saya enggak mungkin menyadari betapa beruntungnya saya. Mungkin kalau kita dulu enggak pernah dipertemukan, mungkin saya enggak akan pernah sadar betapa indahnya dicintai tanpa banyak tuntutan. Kalau saya enggak pernah bertemu dengan kamu, saya enggak akan pernah tahu betapa beruntungnya saya hari ini yang bisa dicintai dengan sebegitu tulusnya. Kalau saya enggak pernah ketemu sama kamu, saya enggak akan pernah tahu kalau harusnya cinta itu nyaman dan sederhana. Dan untuk kamu yang kini juga tengah menikah dan menantikan momongannya, terima kasih atas pengalamannya. Kamu benar-benar mengajari saya kalau pengalaman adalah guru terbaik dalam kehidupan. 

4. Terima kasih kepada kamu, sepupu saya yang mau dicomblangin sama saya. Ya Tuhan, saya baru tahu kalau keluarga saya yang aku sayang dan cinta ini ternyata aneh banget. Terima kasih atas kehadirannya sehingga mengajarkan saya kalau agama memperbolehkan pernikahan antar sepupu jika yang bersaudara beda gender. Sungguh rumit dan sungguh-sungguh aneh. Buat yang memang punya keluarga yang menikah antar sepupu saya enggak nge-judge, memang jalannya jodoh orang beda-beda. Ada yang ketemu satu kampus, satu kantor, satu tongkrongan, tapi bisa juga satu keluarga. Hhaaha, asik kan biar undangan nikahannya gak ngasih makan orang lain, masih keluarga juga aja semuanya. (Oh God no, thank you for not let this happen to me!)

Kayaknya udah sih segitu aja, duhh gak banyak yaa. Terima kasih juga untuk teman-teman yang selama ini udah bareng-bareng sama saya, yang tahu betul siapa siapa aja orang yang saya omongin di sini. Terima kasih telah menjadi teman saat jomblo bersama, kere bersama, julid bersama, hahaha, kini waktunya kita songsong chapter baru dalam kehidupan kita masing-masing ya! Semoga masih bisa menjalani chapter ini dengan bersama-sama juga.


Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Ya ampun, ini tulisan yang harusnya di tahun lalu akhirnya rampung juga! Yah, gimana dong, namanya juga Gita! Okelah, kelanjutan keseruan kami di Jepang lanjut lagi yaa yang udah literary setahun lamanya ini.




Haruki Murakami bisa jadi salah satu orang Jepang yang membuat kunjungan saya ke Tokyo seperti pulang ke 'rumah'. Tiap saya melewati Stasiun Shinjuku yang dekat dengan jalan metro express way tokyo, saya jadi ingat adegan pembuka yang ada di buku 1Q84. Bagaimana Aomame hadir pertama kali di novel tersebut seperti perempuan muda pada umumnya. Kesal karena terjebak di dalam taksi di jalan layang express way, lalu ia memilih turun dari taksi dan menggunakan tangga tol darurat agar bisa tepat waktu sampai di Shinjuku untuk menyelesaikan meeting pentingnya hari itu. Di akhir chapter, baru saya tahu kalau Aomame adalah seorang pembunuh bayaran yang terampil dalam menggunakan jarum sebagai alat mematikannya.

Bukan contoh yang sempurna untuk menggambarkan rasa familiar saya terhadap Shinjuku tapi setidaknya saat saya pulang ke rumah dan kembali membuka Norwegian Wood atau 1Q84, saya sudah bisa mendapatkan gambaran utuh tempat-tempat yang Murakami coba deskripsikan dalam novelnya.

Setidaknya hal itulah yang kami harapkan dari perjalanan ini. Sedikit nostalgia dengan literatur, tokoh kartun, ataupun film-film favorit kami yang mengambil lokasi di Tokyo ataupun Jepang. Jelas, kami bertiga punya idola yang berbeda, personally saya pengin berkunjung ke museum Yayoi Kusama dan cari buku Haruki Murakami. Sedangkan Susan ambisius mau ke Ghibli Studio. Begitupula April, tapi dia juga pengin ke Universal Studio dan juga Museum Doraemon.

Sayangnya, enggak ada satupun dari rencana itu yang berhasil terwujud. Tiket masuk Yayoi Kusama sudah full booked sampai bulan Januari 2018. Museum Ghibli cuman bisa di pesan satu bulan sebelum kunjungan, dan Universal Studio terlalu mahal dan kalau kita kesana terlalu buang-buang waktu karena pasti akan ngabisin satu hari penuh di sana! Walaupun begitu, kita bertiga cukup kecewa karena enggak dapet tiket Ghibli. Karena sejak awal beli, museum itu yang jadi cita-cita kami. Tapi, ya, seperti yang dibaca dari postingan sebelumnya, neither of us were prepared to find out how to get the ticket. Walaupun demikian, we still very much has a blessed trip to Japan. 

Roti Enak dan Rusa Agresif 
Setelah menhabiskan satu malam di Ibis Shinjuku, secara fisik dan mental kami sebenarnya sudah ingin stay di Tokyo. Tapi apa daya, seluruh barang, pakaian, dan colokan chargeran kami kebanyakan masih tertinggal di Nagai Osaka. Butuh 4 jam dengan menggunakan kereta biasa - shinkansen - kereta biasa dari tempat kami tidur saat itu, ketempat barang-barang kami tertinggal. Kalau menurut kalian 4 jam bukanlah waktu yang panjang, coba bayangkan jarak yang kami tempuh. Shinkansen yang kami kendarai punya kecepatan di 350 - 385 km/jam. Dari Tokyo Station ke Shin osaka Station butuh waktu 2,5 jam, berapakah jarak km kedua tempat tersebut? Yap! Berkisar di 700-an km. Jarak yang sama seperti Jakarta - Surabaya lah. Hft.

Jam 7 pagi, tanpa mandi dan gosok gigi, kami langsung meluncur ke Tokyo Station. April yang memang sudah mem-booking Ibis Shinjuku untuk kami tinggali malam ini juga langsung check in dan meminta kamar yang sama. Dan seperti saya perkirakan, kami sampai di Osaka Station (1 stasiun dari Shin - Osaka) pukul setengah sebelas. Butuh setengah jam lagi untuk ke Tennoji Station lalu lanjut ke Nagai Station (Geez, tell me again why we choose that place?).

Mungkin karena tahu perjalanan kami masih panjang dan lama, untuk pertama kalinya kami enggak buang-buang waktu untuk nyasar atau keperluan enggak penting lainnya. Sesampainya di apartemen kami langsung mandi dan bebenah. Enggak ada ngulet-ngulet atau basa-basi yang enggak perlu tepat pukul 13.00 kami sudah siap untuk meninggalkan apartemen. Tanpa ada nyasar ke Tokyo (read this: Perjalanan Ambisius dan Banyak Mau) pun saya sudah prediksi kalau kita keluar apartemen sekitar jam 12an atau jam 1. Sayangnya, pencapaian ini enggak didukung dengan cuaca yang memadai. Karena, pas kami akan keluar kamar, hujan turun deras, sederas-derasnya. Tidak ingin membuang-buang waktu lagi, kami pun memutuskan sesuatu yang jauh sebelum kami berangkat sudah banyak di wanti-wanti orang untuk tidak dilakukan, yaitu, "Naik Taksi".

"Ya, tapi sekarang kan hujan, mana bawaan kita banyak banget! Kalau enggak naik taksi, lo mau nunggu ujan reda?" ujar Susan.
"Iya sih! Tapi kita mau naik taksi ampe mana? Kabarnya tarif mereka tuh mahal banget lho!" ungkap saya dengan nada pasrah, tapi juga masih perhitungan.
"Stasiun terdekat kita, tuh apa sih? Tennoji kan yaa? Yaudah, ke stasiun itu aja! Mana tau lebih murah!" solusi April.
Melihat hujan deras yang enggak memperlihatkan tanda-tanda akan berhenti kami pun setuju untuk meminta tim dari Hossy (host appartemen kami di Nagai), untuk memanggilkan taksi.
"We need it at 1.15," ujar saya lewat telepon.
"Oke, 1.15..." ujar si mbaknya yang diikuti dengan bahasa Jepang. Saya membalas dengan "haik" dan diakhiri dengan "arigatou".

Dan seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, apapun yang bergerak di Jepang itu enggak ada yang telat ataupun kecepetan. Pas, jam 1.15 supir taksi sampai di apartemen kami dan langsung sigap membawakan mengangkat seluruh tas kami. Tidak sampai 5 menit, kami sudah menuju Tennoji. Hujan masih deras mengguyur Nagai, pemandangan kota kecil Nagai ternyata tidak terlalu buruk di musim gugur ini. Tapi, sayangnya, saya sulit unguk menikmati pemandangan karena mata dan pikiran saya hanya berkonsentrasi dengan tarif taksi yang terus berjalan.

Pelajaran pertama, tarif taksi di Jepang memang cukup edan harganya. Sekali masuk, tarif mulai di 440 yen. Dan tiap kilometernya dia naik 440 yen. Jarak dari apartemen kami ke stasiun Tennoji sekitar 5-6 kilometer. Yang kalau pakai Uber di Jakarta mah masih kena 20ribu rupiah lah. Tapi di sini, kami turun di Tennoji dengan tarif 2500 yen atau berkisar 300 ribu rupiah. Nyesek? Pasti, tapi mau gimana lagi!

Walaupun uang kami udah terkuras 2500 yen untuk taksi, namun kami masih punya banyak tenanga untuk menjalankan ke BM-an kami lainnya, yaitu, ke Nara Park. Kebetulan Nara Park jaraknya hanya 30 menit dengan kereta dari stasiun Tennoji. Setelah berdiskusi singkat kami setuju untuk berkunjung ke kota Rusa sebelum menuju Tokyo. Kami pun setuju menyimpan tas bawaan kami di coin locker yang ada di stasiun Tennoji. Pelajaran kedua dari Jepang, koin loker itu hanya menerima coin 100 yen. Dan satu loker kecil seharga 500 yen dan satu loker besar seharga 700 yen. Sedangkan di momen itu, uang kami bentuknya udah aur-auran. Beberapa uang kertas 1000 yen, 5000 yen, dan selembar 10000 yen. Uang koin kami beragam dari 1 yen, 5 yen, 10 yen, 50 yen, dan enggak ada 100 yen! Solusinya, kami harus memecahkan salah satu uang kertas kami! 1000 yen ini enggak akan cukup untuk membuka 3 loker bertiga, jadi terpaksalah kami memecahkan uang kertas 5000 yen.

Di stasiun Tennoji ini cukup besarlah. Banyak vending machine, salon, nail art buka gerainya di sini. Dan saat saya berpikir untuk memecahkan uang, saya sadar sedikit pilihan tempat jajanan yang tersedia di sini. Sampai saya melihat sebuah toko roti kecil di dekat pintu masuk. Saya lupa nama toko roti-nya, tapi di dalamnya menjual beragam sandwhich seharga 110 yen - 140 yen. "Wah, murah nih!" dalam hati saya.

Saya pun masuk, dan seorang mbak-mbak Jepang yang lagi borong sandwhich. "Wah, kayaknya beneran enak nih!"tambah saya dalam batin makin yakin. Sambil memilih-milih, saya memutuskan rasa cookies cream dengan harga 140 yen. Setelah menunggu diantrian dengan tanpa sabar, si sesembaknya yang nge-borong baru selesai memilih sandwhich. Dan pas dihitung, harga sandwhich yang dia beli lebih dari 5000 yen. Mereka keliatan berdiskusi dengan bahasa Jepang, tapi sebagai orang pure Indonesia saya tahu, kaalu si sesembaknya cuman punya uang 5000 yen dan lagi coba nego untuk mengurangi sandwhich. Alhasil, 5 menit terkuras untuk si sesembaknya memilih 3 sandwhich yang dibatalkan dan kasirnya kembali menghitung satu persatu belanjaannya. "my God! ternyata ada embak embak dodol juga deh di Jepang," ujar saya dalam hati.

Hampir 15 menit menunggu akhirnya saya mendapatkan sandwhich dan pecahan uang 2100 yen dalam bentuk koin. Seluruh gembolan tas kami pun tersimpan dengan rapi. Kami menuju Yamatoji Line untuk menuju Nara Station. Di Google sih hanya ada 6 stops dengan estimasi perjalanan 33 menit. Hujan masih turun lumayan deras, saya pikir, "yaudahlah kalau emang hujan dan enggak mungkin main-main di Nara, kita tinggal balik lagi aja ke Osaka. Toh, setengah jam juga enggak lama!"
Di peron, kami udah mulai pinter untuk melihat arah dan nama Line kereta yang akan dituju. Dari stasiun Tennoji ada Yamatoji Line dan juga Osaka Loop Line. Kali ini, kita berhasil naik di Line yang tepat... tapi kereta yang salah! Well, enggak entirely salah sih. Tujuannya sama, cuman yang kami naiki keretanya jauh lebih lama karena kereta ini berhenti di seluruh stasiun dan hanya stasiun Oji. Which is dari stasiun Oji tinggal 1 stasiun lagi menuju Nara. Perjalanan yang harusnya cuman 33 menit jadi 1 jam lebih. Another time wasted on train, hft! But, on the other side, brighter side, hujan deras yang awalnya mengguyur perlahan mulai reda.
Sore mendung menggantung di Nara Park 


Tepat pukul 15.30 kita sampai di Nara Station. Stasiun kereta yang cukup besar untuk kota kecil Rusa ini. Enaknya, di setiap stasiun di Jepang sudah pasti jadi tempat pangkalan bus-bus. Jadi kemanapun kami nyasar, pasti ada kendaraan umum yang siap mengantar. Dan dari awal keluar stasiun Nara, kami sudah diarahkan ke sebuah papan bergambar rusa beserta nomor peron tempat menunggu busnya. Jadi, walaupun tulisannya full huruf Jepang tapi kami enggak nyasar. Di peron yang kami tunggu menunjukkan sebuah rute yang cukup menarik, mulai dari museum Nara, Taman Rusa, dan beberapa Shrine yang menarik untuk dikunjungi. Karena waktu terbatas, kami hanya mengunjungi Taman Rusa kenamaan.
kayak taman Bogor sih, cuman di sini Rusa dan Manusia dibiarkan bebas berinteraksi. Saking bebasnya sampai ke jalanan juga enggak ada yang marahin!
Meski mendung, tapi kami cukup puas bisa sampai ke kota Rusa ini. Rusa-rusa di sini besar-besar, enggak kayak di taman Bogor. Atau mungkin yang di taman Bogor itu kancil kali yaa? Any way, we made it here! Rusa di sini dibiarkan bebas lepas menyambut turis-turis mancanegara macam kami. Dan pastinya dengan sok akrab kami langsung menyapa hewan-hewan manis ini dengan penuh kehangatan.
Manis ya? Aslinya ganas!

Mereka sensitif banget sama turis yang bawa kantong plastik. btw, itu kantong plastik isi sandwhich yang gue perjuangkan beli di Stasiun Tennoji.
Betapa lucu dan menggemasnya bukan? Tapi itu hanya ilusi. Sekalinya kami datang, kami langsung di sambut dengan riang gembira oleh rusa-rusa ini. Bukan karena mereka ramah, tapi karena mereka kelaperan. Gini nih, permasalah di tiap daerah wisata yang ada  hewan liarnya. Kayak di Bali contohnya, monyet-monyet Pura itu kan udah pada pinter ngambil makanan ke tangan turis, bahkan enggak jarang sampai ada yang naik ke atas bahu turis buat ngambil makanan. Begitupula  Rusa Jepang. Mereka udah sensitif banget sama turis yang bawa kantong bawaan ke daerah taman. Langsung aja di sergap dan diikutin book. Awalnya kami sih ngerasa lucu dan gemes, sampe akhirnya kepala suku Rusa yang gede banget nyamperin. Emang sih tanduknya udah di potong tapi tetep aja horor karena badannya dua kali lipat dari badan rusa lainnya. Susan yang bawaannya adem ayem langsung panik dan ngelemparin si kantong makanan (yang berisi roti sandwhich penuh perjuangan) ke arah saya. Saya yang enggak siap mendapatkan banyak perhatian dari rusa-rusa ganas tanpa melirik langsung melempar balik ke arah Susan. Sayangnya, lemparan saya enggak nyampe ke Susan. Tersungkur dia di jalanan taman. Dan langsung aja plastik isi roti saya di lahap habis oleh si Rusa super gede. Kami menyaksikannya dengan penuh takut.

"Gila ketauan orang sini kayaknya bisa dipenjara enggak sih kita" pikir saya
"Duh, padahal semalem kita abis ngata-ngatain cewek yang ngasih minum alkohol ke hewan kebun bintang. Hari ini kita kasih makan plastik ke Rusa Jepang," ungkap Susan.
"Ambil Ta, ih kasian tau rusanya" ujar April berkali-kali (ada kali 10 kali)
"Enggak berani gue Pril, lo aja coba" jawab saya yang masih berusaha menarik plastik sandwhich dengan gagang payung. Tapi kalau dipikir-pikir, ya, kalau saya berani ngapain saya lempar kantongnya.

Perjalanan kami yang berawal gloomy beranjak makin gloomy. Enggak lama sekumpulan anak sekolah lewat di depan kami yang tengah menyaksikan Rusa makan plastik isi roti Sandwhich. Kami pun berusaha stay cool dengan sok-sok an melihat pemandangan sekitar. Baru beberapa saat si murid-murid Nippon lewat, plastik pun sudah lenyap! Habis terlap oleh Rusa.
"Ini gila banget deh si Rusa, laper banget apa emang segitu ganasnya yak!"

Mengingat sudah tidak ada daya dan upaya yang bisa kami lakukan, kami pun melanjutkan perjalanan. Dengan diikuti oleh Rusa pemakan plastik. sedih, takut, enggak enak sama Rusanya, karena enggak bisa ngasih makanan yang lebih bervitamin tinggi. Tapi di sisi lain ada perasaan "itu kan roti gue! kok lo makan sih. Dasar rusa anjing!" ungkap saya dalam hati. Tapi, karena tersangka utama dalam kasus ini adalah saya, jadi lewat blog ini saya ingin mengucapkan beribu-ribu maaf saya kepada Rusa Nara Park. Dan dari kejadian ini saya bersumpah untuk mengurangi penggunaan sampah plastik. Sudah cukup hewan-hewan laut yang hidup terjerat dalam sampah plastik, jangan ada lagi hewan-hewan dari maupun udara yang terganggu ekosistemnya oleh sampah plastik. Walaupun sebenernya di kasus saya ini enggak sepenuhnya saya ngasih makan mereka pakai plastik sih. Saya cuman melakukan perlawanan diri... karena takut... diserang... Rusa. Huff

Any way, walaupun perjalanan jadi enggak asik gara-gara Rusa makan plastiktapi hal tersebut enggak mempengaruhi kita untuk foto-foto asik  (eh bisa nge-rhyme gitu yal!). Tentu saja, foto-foto paripurna tingkat dewa bisa langsung disaksikan di akun-akun instagram kami. Tapi untuk salah satu foto-nya:

Physically cold and mentally traumatized. Tapi tetep harus happy
We able to spent our entire noon in Nara and it provided us the best memory for a life time. Kira-kira jam 5.30 kami sudah kembali lagi ke stasiun Nara. Kali ini kami berhasil menggunakan kereta cepat. Dalam waktu 33 menit (sesuai estimasi Google) kami berhasil kembali ke Tennoji Station dan melanjutkan perjalanan ke Shin - Osaka. Dan memulai kembali petualangan baru kami di TOKYO.

Prediksi Salju dan Desa Di Balik Bukit
Selama perjalanan menuju Tokyo, saya, April dan Susan mulai memikirkan itenerary kami untuk empat hari kedepan.
"Yuk, ah, kita jangan buang-buang waktu di jalan!" ungkap Susan, dengan balasan anggukan dari saya dan April.
"Kita rencananya di Tokyo mau kemana aja Ta?"
"Personally sih gue pengen ke Harajuku ketemu cosplayer sama main ke museum National Art di Tokyo, terus besokannya gue merencanakan ke Shirakawago. Mumpung JR-Pass kita masih aktif nih, sayang kalau dipake PP buat Tokyo - Osaka doang. Abis itu, besokannya kita masih punya satu hari JR-Pass bisa dipake buat jalan-jalan di Tokyo, kayak ke Asakusa atau belanja ke Shibuya," jelas saya.
Susan dengan sigap membuka aplikasi Accuweather (pelajaran ketiga saat jalan-jalan di Jepang, selalu lihat prediksi cuaca karena itu penting untuk menentukan harus gaya busana dan harus enggaknya bawa payung) dan pas di cek, diprediksikan kalau Shirakawago mulai bersalju. Rasa lelah yang melanda kami pun sirna. "Boookkk, lusa aja yuk kita ke Shirakawago! Biar bisa liat salju!".
Sekali lagi, tanpa booking bus, tanpa pengetahuan apapun. Kami pun membulatkan tekad ke Shirakawago.
Personally, saya agak seneng sih kita enggak langsung lanjut ke Shirakawago, karena badan saya udah mau rontok, demam, dan pusing kleyengan tak terperi. Jadi, saya punyalah waktu satu hari untuk mengistirahatkan diri. Untungnya kami dapat menginap yang nyaman selama di Tokyo. Yaitu di Mercure Ginza. Well, sebenernya rada jauh sih dari tempat favorit di tokyo, but at least, kami bisa istirahat dengan nyaman aman dan tentram.

Petualangan di Tokyo sebelum besok lanjut ke Shirakawago

Foto wajib saat ke Shibuya. Foto sama patung Hatchi. Turis abis!

Main ke toko Disney. Awalnya gak mau beli apa-apa, tapi ujung-ujungnya beli miniatur Toys Story 2. Kalau dirupiahin 180ribu rupiah Pas dibongkar, Made In Indonesia. Gakpapah banget!

Shibuya at night, freaking beautiful. Ku love banget.

aku selfie maka aku ada. 




senangnya punya temen super kaya

harta yang paling berharga Adalah titipan belanjaan keluarga pas kita lagi asik jalan jalan.

Ku tak sanggup belanja, aku mampunya foto-foto di window displaynya aja.

April nemu aja tempat beli kamera Leica yang murah. Gak boong sih beneran murah. 7 juta udah dapet Leica tuh waw banget! Bangga deh!

Ke Harajuku tapi enggak ketemu anak-anak cosplay itu sedih nya bukan main. Keliatan kan sedihnya. 

Duh, tante merusak momen deh!

Setelah kelar keliling-keliling Tokyo. Balik hotel dan foto foto lewlah. Karena besok kembali berpetualang. 

 KANAZAWA DAN SHIRAKAWA

Semakin hari, saya semakin yakin kalau perjalanan kita ke Jepang adalah untuk membuktikan seberapa jauh kita bisa ngalor ngidul. Karena perjalanan berlanjut ke Kanazawa dan Shirakawago.
Dan perjalanan ke Kanazawa dan Shirakawa-go bukanlah perkara mudah. Kami harus naik kereta subuh, dari Tokyo menuju Kanazawa yang perjalanannya butuh waktu 4 jam. Yap, empat jam pemirsa. Sesampainya di Kanazawa, kita harus booking bis untuk ke Shirakawago. Di sini juga drama, sama halnya kayak ke Fuji, bis atau kendaraan ke Shirakawago itu ada jadwalnya.
Seingat saya, kami tiba di Kanzawa pukul 11.00 siang, sedangkan bis baru ada pukul 13.00, sedangkan perjalanan ke Shirakawago hampir 2 jam, dan bis terakhir itu jam 18.00, jadi semacam kita nyampe sana foto-foto, menghangatkan diri terus balik. Benar-benar sebuah perjalanan yang lama dijalan. Tapi gakpapa lah, memaksimalkan JR Pass seharga 3,5 juta yang bener-bener dipake keseluruh Jepang.
Capek, lelah, tapi pengalamannya bener-bener gak bisa dilupain. Pengen nyoba sekali lagi ke Jepang sebelum Vsa Waivernya angus. Semoga tahun 2019, bisa kesampean. Meanwhile, menuju penghujung tahun 2018 ini mungkin kenangannya aja dulu lah yang dipamerin.




















Share
Tweet
Pin
Share
1 comments
Older Posts

Gita Adinda

Gita Adinda
Freelance writer full time day dreamer. Passionate story teller and traveler. Very critical about politic and music. Love sleeping and good food. True Cancer Signs.

About Me

Gita Adinda
View my complete profile

Blog Archive

  • ▼  2020 (1)
    • ▼  December (1)
      • BEING A NEW MOM IN THIS 2020
  • ►  2019 (2)
    • ►  July (1)
    • ►  February (1)
  • ►  2018 (1)
    • ►  December (1)
  • ►  2017 (27)
    • ►  December (1)
    • ►  November (1)
    • ►  July (2)
    • ►  June (3)
    • ►  April (5)
    • ►  March (4)
    • ►  February (4)
    • ►  January (7)
  • ►  2016 (3)
    • ►  August (1)
    • ►  April (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2015 (1)
    • ►  November (1)
  • ►  2014 (2)
    • ►  August (2)

Follow Me at




Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates