It almost feel like my final purpose in this life.
Being a mom, having a daughter, its everything i wanted.
Until, a global pandemic called COVID-19 hitting in the Indonesia.
Usia kandungan masuk 6 bulan waktu pandemi mulai benar-benar memberi efek ke kehidupan sehari-hari.
Rumah sakit yang rencananya mau jadi tempat lahiran, jadi rumah sakit rujukan COVID-19. Jadwal check up bulanan di tiadakan, ibu hamil cuman boleh ke rumah sakit saat sudah dalam kondisii darurat atau sudah masuk minggu ke 28 untuk lahiran. Kantor pun mulai memberlakukan work from home ketika pegawai salah satu kantor di lokasi yang sama ada yang terjangkit COVID-19. Orang-orang mulai mengalami histeria massal dengan memborong makanan dan masker kesehatan di hampir semua swalayan. Dan semua kengerian itu terjadi di akhir bulan Maret 2020, ketika kasus COVID-19 di Indonesia baru 2 orang.
Waktu itu, ketakutan saya satu-satunya hanyalah 'gimana caranya saya bisa melahirkan di era pandemi seperti ini?'.
Pertama saya harus ganti rumah sakit, ganti Obgyn, dan juga ganti persiapan lahiran.
awalnya saya sudah mantap untuk melahirkan di salah satu rumah sakit di Bintaro bersama salah satu obgyn terkenal yang ada di sana. Walaupun biayanya rada fantastis, tapi saya eudah mantep mau di sana, mengingat ini adalah kelahiran anak pertama kami dengan kehamilan kedua. Jadi, kalau memang harus keluar sampai 40-50 juta untuk lahiran, gakpapalah yang penting selamat.
Tapi bulan Maret pandemik masuk ke rumah sakit tersebut. Salah satu dokter yang ada di sana ada yang meninggal karena Covid-19. Parahnya lagi, dokter tersebut adalah dokter syaraf ibu saya. Jadi, sempat ada keparnoan di rumah kami untuk kembai ke check up ke rumah sakit itu. Obgyn saya juga menyarankan untuk tidak check up dulu sampai lebaran nanti (bulan Juni), kecuali kehamilan saya mengalami kondisi emergency.
Tapi kalau saya menunggu untuk check up kembali setelah lebaran, saya merasa itu terlalu mepet dengan HPL (pertengahan Juli). Alhasil saya dan ibu saya pun memutuskan untuk mencari rumah sakit khusus ibu dan anak untuk lahiran. Setelah meriset beberapa tempat dan melihat list obgyn yang ada, akhirnya pilihan saya jatuh pada rumah sakit yang ada di BSD, kebetulan dekat dengan rumah orang tua juga. Rumah Sakit Medika BSD, walaupun bukan rumah sakit ibu dan anak tapi rumah sakit ini enggak terlalu ramai dibandingkan rumah sakit ibu dan anak. Mereka juga menjaga protokol kesehatan dengan sangat ketat. Dan rumah sakit ini juga bukan rumah sakit rujukan COVID-19.
Setelah riset juga, akhirnya saya memutuskan untuk berkonsultasi bersama dr Fadhilah Akhdasari, Sp.OG. Awalnya saya mau sama beliau karena saya enggak merasa nyaman check up sama dokter laki-laki. Tapi begitu sudah konsultasi dengan beliau saya merasa sangat nyaman. Beliau menjelaskan kondisi kehamilan saya dengan sangat jelas. Mungkin karena usia beliau relatif lebih muda dari dokter saya sebelumnya, jadi beliau lebih detail dan pelan-pelan menjelaskan segala kegundahan dan pertanyaan yang saya berikan.
Saat di check, ternyata Hb saya sangat rendah sedangkan usia kandungan sudah memasuki 7 bulan. Untuk melahirkan butuh Hb 13 ke atas sedangkan Hb saya hanya 7,9. Jadi saya terpaksa konsumsi maltofer dan minum jus buah bit setiap hari untuk naikin Hb. Sebulan kemudian Hb saya perlahan naik jadi 8,3 tapi tekanan darah saya juga ikut naik jadi 140/100. Padahal waktu lahiran udah itungan minggu. Alhasil saya harus nambah minum obat darah tinggi, puasa beberapa makanan asin, dan check up seminggu sekali.
Meanwhile, our little bundle of joy tetap terlihat sehat dan berat badannya pun sesuai dengan perkembangannya. Posisinya pun sangat bagus untuk lahiran normal. dr. Fadhilah pun optimis untuk bisa melahirkan normal bersama saya. Yang harus saya perjuangkan adalah kondisi darah saya. Karena sangat berbahaya melahirkan normal dengan kondisi tekanan darah tinggi. Sedangkan untuk Hb, dokter Fadhilah menyarankan untuk transfusi darah dulu sebelum lahiran.
BLEEDING THROUGH MY BIRTHDAY
HPL saya diprediksi tanggal 11-15 Juli, sedangkan ulang tahun saya 10 Juli. Waktu tau tanggal prediksi kelahiran. saya sempat bilang ke suami, keren kali ya kalau ulang tahun saya sama ulang tahun anak kita sama. Dan itulah yang terjadi.
jam 5 pagi, 10 Juli 2020, saya ke kamar mandi untuk ambil wudhu solat subuh. Begitu sampai kamar mandi, saya merasa ada yang mengalir di paha saya. Di situ saya lihat sudah ada darah. Saya langsung whatsapp dokter Fadhillah, mengabarkan kondisi saya. Dan luar biasanya dokter Fadhillah langsung membalas whatsapp saya dan menyarankan saya langsung ke IGD Rumah Sakit Medika. Waktu itu saya merasa baik baik saja, enggak ada rasa kontraksi atau apapun, jadi saya bilang ke orang tua saya untuk santai saja, sarapan dan mandi aja dulu sebelum berangkat. Dan baru satu jam, saya langsung merasa ada sengatan yang tidak nyaman dari bawah perut. Awalnya hanya terjadi beberapa detik dan hilang untuk beberapa menit. Lama-lama sakitnya lebih lama dan lebih sering.
Kami sampai di rumah sakit pukul 7.00 pagi. Sesampainya di sana, hal pertama yang saya lakukan adalah ngabarin orang kantor kalau saya sudah persiapan lahiran. Karena dalam kondisi WFH, setiap harinya saya harus report pekerjaan apa saja yang sudah saya lakukan. Dan hari itu rencananya saya akan meeting konten dengan salah satu media untuk acara Hari Anak Nasional. Karena saya masih yakin kalau anak saya lahirannya di antara tanggal HPL, jadi saya pun mengajukan cuti dari tanggal 13 Juli. Tapi, ternyata kami dan si bayi kecil kami sama-sama udah enggak sabar saling bertemu. Di hari ulang tahun saya, ia bersiap untuk lahir. Di hari jumat, di waktu subuh, ia memberi tanda untuk siap di lahirkan.
Sesampainya di IGD, bidan yang jaga mengatakan kalau saya baru pembukaan 4, jika ingin lahiran normal kemungkinan lahiran baru akan mulai sekitar jam 7 malam. Tapi, apa nasib berkata lain, sampai jam 12 siang, pembukaan enggak ada nambah, padahal kontraksi sudah semakin menjadi jadi, ketuban pun sudah rembes dengan warna hijau keruh. Kata dokter Fadhillah "bayinya sudah setress nih, sudah mau lahir tapi jalurnya enggak kebuka, jadi kita jadwalin sesar aja ya mba Gita," alhasil saya pun mengalami operasi sesar pukul 3 sore.
Alhamdulilah operasi berjalan lancar, pukul 15.53 Asiya Salsabila Arunaputri lahir kedunia di tanggal dan bulan yang sama dengan saya. Lahir dengan berat 3,4 kg, Asiya merupakan kado ulang tahun terindah yang pernah saya dapatkan. Dan, luar biasanya lagi lahiran sesar kali ini tidak hanya berhasil melahirkan anak pertama saya, tapi juga berhasil mengeluarkan penyakit yang ada di rahim saya selama ini. Operasi sesar berlangsung enggak sampai 1 jam tapi saya baru keluar dari ruang operasi jam 18.00 tepat adzan maghrib. Selama operasi saya dengar dokter bedah dan obgyn berbincang kalau di rahim saya terjadi pelengketan, yang kemungkinan akibat dari keguguran kehamilan pertama saya yang belum bersih atau mungkin mioma yang pecah. Jadi para dokter harus membersihkan semua itu dari rahim saya selesai melahirkan Asiya. Selain itu terjadi juga varises di jaringan dalam rahim saya yang membuat dokter menyarankan untuk operasi sesar untuk kehamilan selanjutnya.
Bersyukurnya Asiya lahir dengan sehat tanpa ada cacat ataupun sakit apapun. Tidak terlahir kuning ataupun masalah bayi yang umum ditemui beberapa saat setelah lahir. Asiya juga berhasil langsung menyusu, menghisap kolostrum pertama dari payudara langsung. Serunya adalah keesokan hari setelah melahirkan, Asiya langsung dibiarkan berdua bersama saya untuk menyusu. Di siang hari air susu masih mau keluar, tapi pas malah hari sama sekali enggak ada. Sedangkan Asiya menangis kehausan terus menerus. Saya yang kondisinya masih kesakitan setelah operasi sesar pun jadi ikut panik, sedangkan bidan menolak untuk mengantarkan Asiya ke ruang bayi, katanya 24 jam pertama harus sama ibunya. Hingga akhirnya jam 4 pagi, bidan merasa kasihan dengan saya dan Asiya, mereka pun membawa Asiya keruangan bayi. Saya pun bisa tertidur dan sayup sayup dari ruangan saya tidak lagi mendengar tangis Asiya hingga pagi hari.
Asiya lahir dengan penuh perjuangan, enggak disangka lahir di tanggal yang sama dengan saya
Saya kasihan dengan mama yang kebetulan lagi menjaga saya hari itu, terpaksa ikut begadang bersama saya dan Asiya. Tapi, ternyata 24 jam saya menjadi ibu membuat kebutuhan tidur saya juga berubah drastis. Jam 8 pagi, setelah tidur kurang dari 4 jam, suster ke ruangan saya untuk mengajarkan sya berjalan dan ke kamar mandi. Berkat dorongan yang sangat besar ingin buang hajat dan bersih bersih sendiri saya pun berhasil melakukannya walau berjalan dengan sangat lama. Dan setelah saya bersih, tidak lama Asiya kembali ke ruangan saya, sudah dimandikan dan dipakaikan baju yang rapi. Karena hari itu hari minggu, dokter Fadhilah tidak berkunjung lagi, hanya saja menitipkan pesan kalau tidak ada masalah apa-apa, saya dan Asiya sudah dibolehkan pulang dan diminta untuk kontrol kembali di hari ke-10. Walaupun saya masih merasa nyeri-nyeri, tapi saya merasa lebih nyaman mengurus Asiya di kamar rumah saya sendiri ketimbang di rumah sakit. Jadi, dengan mantap saya bilang kalau saya sudah merasa lebih enakan dan siap untuk pulang.
5 MONTH OF MOTHERHOOD
Baru satu hari Asiya sampai dirumah, badannya langsung demam di malam hari. Penyebabnya, mungkin karena imunisasi polio yang diberikan saat sebelum pulang dari rumah sakit. Setelah diberikan kompres tempel untuk newborn dan disusui terus menerus Asiya berhasil normal kembali. Lalu saat usianya 6 minggu, Asiya juga harus mengalami demam tinggi disertai diare hebat. Penyebabnya mungkin dari gado-gado yang menggunakan sayur gak mateng yang saya makan sehari sebelumnya. Karena dokter bilang di pupnya ada warna hijau yang biasanya penyebabnya karena jamur makanan bukan karena virus ataupun bakteri. Dan juga karena hasil lab pup Asiya tidak ditemukan adanya virus tapi adanya jamur. Setelah diberikan obat puyer untuk diare, dan obat jamur, Asiya juga diberikan himbauan agar ibunya tidak meminum makanan mengandung protein susu sapi karena dari pupnya juga terdapat bercak darah yang katanya adalah ciri ciri bayi yang alergi protein sapi. Belum selesai di situ aja, setelah Asiya sembuh setiap bulannya harus suntik vaksin DPT yang selalu membuat Asiya demam ringan. Tapi karena takut Asiya demam tinggi lagi sampai 39 derajat seperti kejadian saat dia diare, saya dan suami selalu memberikan tempra. Dan baru-baru ini, setelah apa yang bayi kecil ini lalu enggak lama ia mengalami alergi di kulit yang cukup parah. Untungnya tidak disertai demam atau gejala lainnya. Tapi karena sangat parah, terjadi disekujur tubuhnya, jadilah ia harus kembali minum obat puyer dari dokter. Dan semua itu harus dilalui sebelum usianya 5 bulan.
Rasa cemas, panik, sedih, dan yang pasti frustasi semua saya alami seiring berjalannya waktu. Frustasi dan depresi terberat saya sempat rasakan di seminggu awal kelahirannya. Asiya sering nangis gak berhenti-berhenti setiap malam sampai subuh, saya kurang tidur, makanpun dipaksa paksain bukan karena nafsu atau suka, dan manalagi badan saya pasca sesar yang juga belum kunjung sepenuhnya pulih. Tapi benar-benar hanya di satu minggu itu saya rasakan berat dan frustasi sendiri. Nangis di kamar mandi tanpa jelas kenapa, tapi setiap semuanya berlalu, kembali lihat Asiya tidur nyenyak, nyusunya kuat, bahkan lihat pupnya lancar itu seperti ada energi baru masuk ke dalam tubuh saya untuk kembali kuat. Kembali semangat. Padahal setiap ngerasa down, saya merasa enggak akan sanggup jalanin peran baru sebagai ibu ini. Karena seluruh tubuh dan pikiran saya kaget betapa menjadi ibu itu menyita tenaga, pikiran, waktu, kayak enggak penting sepagi apapun saya bangun saya enggak akan bisa punya waktu untuk diri saya sendiri. Jangankan untuk sekedar dandan pakai baju cantik dan foto bareng yang proper gitu, untuk pegang handphone dan sekedar liat update berita aja saya kayak enggak sempat. Karena seringnya saya ikut ketidur waktu Asiya tidur dan waktu Asiya bangun saya gak mungkin saya sambil pegang handphone. Lihat aja, niat saya mau nulis blog ini aja baru kesampaian setelah jadi ibu selama 5 bulan dan Asiya udah terlatih tidur siang 2 jam setiap jam 2 siang. Sebelumnya, dia tiap tidur siang cuman setengah jam abis itu melek lagi, ngajak main lagi, terus rewel lagi, tidur lagi, dan terus gitu ampe waktunya tidur malem. Dan kalaupun saya jenuh dan sumpek dirumah terus saya enggak bisa keluar rumah, kayak ke mall gitu, karena kondisinya lagi pandemi. Mall AEON BSD paling deket dari rumah saya aja sampai 2 kali tutup karena ada yang kena COVID-19 di karyawannya selama saya cuti melahirkan.
Tapi masa-masa frustasi dan depresi syukurnya juga berlalu dengan gitu aja. Tiba-tiba aja semua kebiasaan jadi ibu baru ini udah melekat aja ke diri saya. Ya, tapi saya enggak mau jumawa, mama dan mertua saya berperan besar membantu saya menghadapi masa transisi menjadi ibu. Ibu mertua saya full tinggal di rumah selama kurang lebih sebulan, bantu masak, bantu gendongin Asiya kala rewel dari isya ke subuh. Mama juga gak kalah helpful, apalagi setelah mama mertua pulang ke Jogja, ngajarin saya mandiin anak, ngajarin nyusuin sambil tidur, ngajarin saya gendong anak pakai kain, ya walaupun ujung ujungnya beliau lebih suka megang Asiya sendiri. Hehehe.
Dan setelah 5 bulan, saya tidak hanya nyaman menjadi ibu tapi juga nyaman dengan title working mom. Saya sudah bisa memerah susu ke dalam botol, Asiya juga bisa minum susu dari botol, Asiya juga tidurnya sudah lebih teratur dan terprediksi. Tumbuh kembangnya juga alhamdulilah selalu baik. Bahkan condong terlalu baik alias terlalu gendut. Mau dalam kondisi sakit atau enggak Asiya selalu naik berat badannya sampai 1 kilo dan panjang badannya asti nambah 2 cm. Dan bagi saya saat ini enggak ada yang lebih rewarding dibandingkan melihat anak saya sehat dan tumbuh kembangnya sesuai anjuran.
NEVER TOO SOON OR TOO LATE
Dan menjadi ibu di masa pandemi seperti ini, saya merasa teramat sangat bersyukur sekali. Walaupun banyak hal yang tidak bisa saya dan Asiya lakukan seperti bayi di masa-masa sebelumnya, tapi untuk menjadi ibu, masa pandemi membantu saya bonding dengan anak saya lebih dekat. Karena saya benar-benar menjadi ibu bagi Asiya selama 24 jam. Karena saya bekerja juga masih working from home, kalaupun ada momen saya tidak megang Asiya, at least suami atau mama yang lagi ada di dekat Asiya. Jadi, kebutuhan Asiya selama ini masih dari keluarganya belum ada nanny ataupun suster yang ikut mengasuhnya.
Selain itu, saya juga bersyukur menjalani peran baru saya sebagai ibu di usia 30 tahun. Enggak kebayang kalau saya menjalani hidup menjadi ibu diusia saya baru 25 tahun, yang dimana gelora untuk jalan-jalan dan hura hura saya masih sangat berapi-api. Saya pikir, perempuan seperti saya pasti akan mengalami depresi yang lebih lama lagi. Karena bisa dibilang di usia ini ternyata saya benar-benar nyaman dengan kegiatan domestik, seperti memasak, menyiapkan pakaian suami, menjadi ibu, bukan berarti jiwa petualang saya untuk wisata ke luar negeri dan nonton konsernya sudah hilang, tapi ambisinya sudah beda. Saya pengen kalau next tripnya nanti bersama suami dan Asiya (tentunya juga bareng dua teman rempong saya April dan Susan dan juga pasangan mereka masing masing lah). Perjalanan yang lebih family friendly. Dan karena ambisinya sudah beda, jadi persiapan nabungnya juga sudah untuk hal-hal yang beda. Walaupun pikiran saya ada di antara Jepang ataupun Melbourne, tapi saya sadar sebagai keluarga saya perlu kendaraan sendiri. Jadi di tahun 2021, saya dan suami komitmen untuk membeli mobil dulu, ambil cicilan yang 18 bulan, lalu baru setelah itu kita nabung untuk trip-trip seru yang dimana Asiya juga sudah cukup umurlah, sekitar 2-3 tahun. Karena kalau sekarang merencanakan untuk trip juga Asiya masih terlalu kecil, dan dunia masih dalam kondisi pandemi jadi rada takut trip keluar negeri dengan bayi.
Dan dari situ, saya juga sadar satu hal, kita kayaknya harus berhenti membuat seolah olah berkeluarga dan punya anak adalah sebuah achievement untuk perempuan. Karena, setelah dijalani, being a mother should be a true call, a nature call. Bukan karena kata ibu, tante, temen, atau orang-orang, jadi ibu harus karena dorongan dari diri sendiri. Jadi ibu karena sayang sama anak, karena ingin anaknya mendapatkan yang terbaik walaupun ibunya hanya seadanya. Jadi ibu adalah proses menjadi selfless yang panjang dan melelahkan. Karena ketika anak menangis, percayalah, walau udah dipegang sama neneknya atau suster professional, yang anak inginkan adalah pelukan ibunya. Walau ibunya sendiri masih jauh dari sempurna. ya, emang sih banya juga anak yang gede sama mba and turns out fine, tapi rasanya akan beda aja ketika Dan, iya, he eh, semua ini menyadarkan saya betapa semua ocehan dan peraturan dari mama saya adalah bentuk cinta beliau ke saya.