Lelah tapi Agresif: Cerita Jalan - Jalan GOV ke Jepang (PART 2)

by - 10:09 AM


Ya ampun, ini tulisan yang harusnya di tahun lalu akhirnya rampung juga! Yah, gimana dong, namanya juga Gita! Okelah, kelanjutan keseruan kami di Jepang lanjut lagi yaa yang udah literary setahun lamanya ini.




Haruki Murakami bisa jadi salah satu orang Jepang yang membuat kunjungan saya ke Tokyo seperti pulang ke 'rumah'. Tiap saya melewati Stasiun Shinjuku yang dekat dengan jalan metro express way tokyo, saya jadi ingat adegan pembuka yang ada di buku 1Q84. Bagaimana Aomame hadir pertama kali di novel tersebut seperti perempuan muda pada umumnya. Kesal karena terjebak di dalam taksi di jalan layang express way, lalu ia memilih turun dari taksi dan menggunakan tangga tol darurat agar bisa tepat waktu sampai di Shinjuku untuk menyelesaikan meeting pentingnya hari itu. Di akhir chapter, baru saya tahu kalau Aomame adalah seorang pembunuh bayaran yang terampil dalam menggunakan jarum sebagai alat mematikannya.

Bukan contoh yang sempurna untuk menggambarkan rasa familiar saya terhadap Shinjuku tapi setidaknya saat saya pulang ke rumah dan kembali membuka Norwegian Wood atau 1Q84, saya sudah bisa mendapatkan gambaran utuh tempat-tempat yang Murakami coba deskripsikan dalam novelnya.

Setidaknya hal itulah yang kami harapkan dari perjalanan ini. Sedikit nostalgia dengan literatur, tokoh kartun, ataupun film-film favorit kami yang mengambil lokasi di Tokyo ataupun Jepang. Jelas, kami bertiga punya idola yang berbeda, personally saya pengin berkunjung ke museum Yayoi Kusama dan cari buku Haruki Murakami. Sedangkan Susan ambisius mau ke Ghibli Studio. Begitupula April, tapi dia juga pengin ke Universal Studio dan juga Museum Doraemon.

Sayangnya, enggak ada satupun dari rencana itu yang berhasil terwujud. Tiket masuk Yayoi Kusama sudah full booked sampai bulan Januari 2018. Museum Ghibli cuman bisa di pesan satu bulan sebelum kunjungan, dan Universal Studio terlalu mahal dan kalau kita kesana terlalu buang-buang waktu karena pasti akan ngabisin satu hari penuh di sana! Walaupun begitu, kita bertiga cukup kecewa karena enggak dapet tiket Ghibli. Karena sejak awal beli, museum itu yang jadi cita-cita kami. Tapi, ya, seperti yang dibaca dari postingan sebelumnya, neither of us were prepared to find out how to get the ticket. Walaupun demikian, we still very much has a blessed trip to Japan. 

Roti Enak dan Rusa Agresif 
Setelah menhabiskan satu malam di Ibis Shinjuku, secara fisik dan mental kami sebenarnya sudah ingin stay di Tokyo. Tapi apa daya, seluruh barang, pakaian, dan colokan chargeran kami kebanyakan masih tertinggal di Nagai Osaka. Butuh 4 jam dengan menggunakan kereta biasa - shinkansen - kereta biasa dari tempat kami tidur saat itu, ketempat barang-barang kami tertinggal. Kalau menurut kalian 4 jam bukanlah waktu yang panjang, coba bayangkan jarak yang kami tempuh. Shinkansen yang kami kendarai punya kecepatan di 350 - 385 km/jam. Dari Tokyo Station ke Shin osaka Station butuh waktu 2,5 jam, berapakah jarak km kedua tempat tersebut? Yap! Berkisar di 700-an km. Jarak yang sama seperti Jakarta - Surabaya lah. Hft.

Jam 7 pagi, tanpa mandi dan gosok gigi, kami langsung meluncur ke Tokyo Station. April yang memang sudah mem-booking Ibis Shinjuku untuk kami tinggali malam ini juga langsung check in dan meminta kamar yang sama. Dan seperti saya perkirakan, kami sampai di Osaka Station (1 stasiun dari Shin - Osaka) pukul setengah sebelas. Butuh setengah jam lagi untuk ke Tennoji Station lalu lanjut ke Nagai Station (Geez, tell me again why we choose that place?).

Mungkin karena tahu perjalanan kami masih panjang dan lama, untuk pertama kalinya kami enggak buang-buang waktu untuk nyasar atau keperluan enggak penting lainnya. Sesampainya di apartemen kami langsung mandi dan bebenah. Enggak ada ngulet-ngulet atau basa-basi yang enggak perlu tepat pukul 13.00 kami sudah siap untuk meninggalkan apartemen. Tanpa ada nyasar ke Tokyo (read this: Perjalanan Ambisius dan Banyak Mau) pun saya sudah prediksi kalau kita keluar apartemen sekitar jam 12an atau jam 1. Sayangnya, pencapaian ini enggak didukung dengan cuaca yang memadai. Karena, pas kami akan keluar kamar, hujan turun deras, sederas-derasnya. Tidak ingin membuang-buang waktu lagi, kami pun memutuskan sesuatu yang jauh sebelum kami berangkat sudah banyak di wanti-wanti orang untuk tidak dilakukan, yaitu, "Naik Taksi".

"Ya, tapi sekarang kan hujan, mana bawaan kita banyak banget! Kalau enggak naik taksi, lo mau nunggu ujan reda?" ujar Susan.
"Iya sih! Tapi kita mau naik taksi ampe mana? Kabarnya tarif mereka tuh mahal banget lho!" ungkap saya dengan nada pasrah, tapi juga masih perhitungan.
"Stasiun terdekat kita, tuh apa sih? Tennoji kan yaa? Yaudah, ke stasiun itu aja! Mana tau lebih murah!" solusi April.
Melihat hujan deras yang enggak memperlihatkan tanda-tanda akan berhenti kami pun setuju untuk meminta tim dari Hossy (host appartemen kami di Nagai), untuk memanggilkan taksi.
"We need it at 1.15," ujar saya lewat telepon.
"Oke, 1.15..." ujar si mbaknya yang diikuti dengan bahasa Jepang. Saya membalas dengan "haik" dan diakhiri dengan "arigatou".

Dan seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, apapun yang bergerak di Jepang itu enggak ada yang telat ataupun kecepetan. Pas, jam 1.15 supir taksi sampai di apartemen kami dan langsung sigap membawakan mengangkat seluruh tas kami. Tidak sampai 5 menit, kami sudah menuju Tennoji. Hujan masih deras mengguyur Nagai, pemandangan kota kecil Nagai ternyata tidak terlalu buruk di musim gugur ini. Tapi, sayangnya, saya sulit unguk menikmati pemandangan karena mata dan pikiran saya hanya berkonsentrasi dengan tarif taksi yang terus berjalan.

Pelajaran pertama, tarif taksi di Jepang memang cukup edan harganya. Sekali masuk, tarif mulai di 440 yen. Dan tiap kilometernya dia naik 440 yen. Jarak dari apartemen kami ke stasiun Tennoji sekitar 5-6 kilometer. Yang kalau pakai Uber di Jakarta mah masih kena 20ribu rupiah lah. Tapi di sini, kami turun di Tennoji dengan tarif 2500 yen atau berkisar 300 ribu rupiah. Nyesek? Pasti, tapi mau gimana lagi!

Walaupun uang kami udah terkuras 2500 yen untuk taksi, namun kami masih punya banyak tenanga untuk menjalankan ke BM-an kami lainnya, yaitu, ke Nara Park. Kebetulan Nara Park jaraknya hanya 30 menit dengan kereta dari stasiun Tennoji. Setelah berdiskusi singkat kami setuju untuk berkunjung ke kota Rusa sebelum menuju Tokyo. Kami pun setuju menyimpan tas bawaan kami di coin locker yang ada di stasiun Tennoji. Pelajaran kedua dari Jepang, koin loker itu hanya menerima coin 100 yen. Dan satu loker kecil seharga 500 yen dan satu loker besar seharga 700 yen. Sedangkan di momen itu, uang kami bentuknya udah aur-auran. Beberapa uang kertas 1000 yen, 5000 yen, dan selembar 10000 yen. Uang koin kami beragam dari 1 yen, 5 yen, 10 yen, 50 yen, dan enggak ada 100 yen! Solusinya, kami harus memecahkan salah satu uang kertas kami! 1000 yen ini enggak akan cukup untuk membuka 3 loker bertiga, jadi terpaksalah kami memecahkan uang kertas 5000 yen.

Di stasiun Tennoji ini cukup besarlah. Banyak vending machine, salon, nail art buka gerainya di sini. Dan saat saya berpikir untuk memecahkan uang, saya sadar sedikit pilihan tempat jajanan yang tersedia di sini. Sampai saya melihat sebuah toko roti kecil di dekat pintu masuk. Saya lupa nama toko roti-nya, tapi di dalamnya menjual beragam sandwhich seharga 110 yen - 140 yen. "Wah, murah nih!" dalam hati saya.

Saya pun masuk, dan seorang mbak-mbak Jepang yang lagi borong sandwhich. "Wah, kayaknya beneran enak nih!"tambah saya dalam batin makin yakin. Sambil memilih-milih, saya memutuskan rasa cookies cream dengan harga 140 yen. Setelah menunggu diantrian dengan tanpa sabar, si sesembaknya yang nge-borong baru selesai memilih sandwhich. Dan pas dihitung, harga sandwhich yang dia beli lebih dari 5000 yen. Mereka keliatan berdiskusi dengan bahasa Jepang, tapi sebagai orang pure Indonesia saya tahu, kaalu si sesembaknya cuman punya uang 5000 yen dan lagi coba nego untuk mengurangi sandwhich. Alhasil, 5 menit terkuras untuk si sesembaknya memilih 3 sandwhich yang dibatalkan dan kasirnya kembali menghitung satu persatu belanjaannya. "my God! ternyata ada embak embak dodol juga deh di Jepang," ujar saya dalam hati.

Hampir 15 menit menunggu akhirnya saya mendapatkan sandwhich dan pecahan uang 2100 yen dalam bentuk koin. Seluruh gembolan tas kami pun tersimpan dengan rapi. Kami menuju Yamatoji Line untuk menuju Nara Station. Di Google sih hanya ada 6 stops dengan estimasi perjalanan 33 menit. Hujan masih turun lumayan deras, saya pikir, "yaudahlah kalau emang hujan dan enggak mungkin main-main di Nara, kita tinggal balik lagi aja ke Osaka. Toh, setengah jam juga enggak lama!"
Di peron, kami udah mulai pinter untuk melihat arah dan nama Line kereta yang akan dituju. Dari stasiun Tennoji ada Yamatoji Line dan juga Osaka Loop Line. Kali ini, kita berhasil naik di Line yang tepat... tapi kereta yang salah! Well, enggak entirely salah sih. Tujuannya sama, cuman yang kami naiki keretanya jauh lebih lama karena kereta ini berhenti di seluruh stasiun dan hanya stasiun Oji. Which is dari stasiun Oji tinggal 1 stasiun lagi menuju Nara. Perjalanan yang harusnya cuman 33 menit jadi 1 jam lebih. Another time wasted on train, hft! But, on the other side, brighter side, hujan deras yang awalnya mengguyur perlahan mulai reda.
Sore mendung menggantung di Nara Park 


Tepat pukul 15.30 kita sampai di Nara Station. Stasiun kereta yang cukup besar untuk kota kecil Rusa ini. Enaknya, di setiap stasiun di Jepang sudah pasti jadi tempat pangkalan bus-bus. Jadi kemanapun kami nyasar, pasti ada kendaraan umum yang siap mengantar. Dan dari awal keluar stasiun Nara, kami sudah diarahkan ke sebuah papan bergambar rusa beserta nomor peron tempat menunggu busnya. Jadi, walaupun tulisannya full huruf Jepang tapi kami enggak nyasar. Di peron yang kami tunggu menunjukkan sebuah rute yang cukup menarik, mulai dari museum Nara, Taman Rusa, dan beberapa Shrine yang menarik untuk dikunjungi. Karena waktu terbatas, kami hanya mengunjungi Taman Rusa kenamaan.
kayak taman Bogor sih, cuman di sini Rusa dan Manusia dibiarkan bebas berinteraksi. Saking bebasnya sampai ke jalanan juga enggak ada yang marahin!
Meski mendung, tapi kami cukup puas bisa sampai ke kota Rusa ini. Rusa-rusa di sini besar-besar, enggak kayak di taman Bogor. Atau mungkin yang di taman Bogor itu kancil kali yaa? Any way, we made it here! Rusa di sini dibiarkan bebas lepas menyambut turis-turis mancanegara macam kami. Dan pastinya dengan sok akrab kami langsung menyapa hewan-hewan manis ini dengan penuh kehangatan.
Manis ya? Aslinya ganas!

Mereka sensitif banget sama turis yang bawa kantong plastik. btw, itu kantong plastik isi sandwhich yang gue perjuangkan beli di Stasiun Tennoji.
Betapa lucu dan menggemasnya bukan? Tapi itu hanya ilusi. Sekalinya kami datang, kami langsung di sambut dengan riang gembira oleh rusa-rusa ini. Bukan karena mereka ramah, tapi karena mereka kelaperan. Gini nih, permasalah di tiap daerah wisata yang ada  hewan liarnya. Kayak di Bali contohnya, monyet-monyet Pura itu kan udah pada pinter ngambil makanan ke tangan turis, bahkan enggak jarang sampai ada yang naik ke atas bahu turis buat ngambil makanan. Begitupula  Rusa Jepang. Mereka udah sensitif banget sama turis yang bawa kantong bawaan ke daerah taman. Langsung aja di sergap dan diikutin book. Awalnya kami sih ngerasa lucu dan gemes, sampe akhirnya kepala suku Rusa yang gede banget nyamperin. Emang sih tanduknya udah di potong tapi tetep aja horor karena badannya dua kali lipat dari badan rusa lainnya. Susan yang bawaannya adem ayem langsung panik dan ngelemparin si kantong makanan (yang berisi roti sandwhich penuh perjuangan) ke arah saya. Saya yang enggak siap mendapatkan banyak perhatian dari rusa-rusa ganas tanpa melirik langsung melempar balik ke arah Susan. Sayangnya, lemparan saya enggak nyampe ke Susan. Tersungkur dia di jalanan taman. Dan langsung aja plastik isi roti saya di lahap habis oleh si Rusa super gede. Kami menyaksikannya dengan penuh takut.

"Gila ketauan orang sini kayaknya bisa dipenjara enggak sih kita" pikir saya
"Duh, padahal semalem kita abis ngata-ngatain cewek yang ngasih minum alkohol ke hewan kebun bintang. Hari ini kita kasih makan plastik ke Rusa Jepang," ungkap Susan.
"Ambil Ta, ih kasian tau rusanya" ujar April berkali-kali (ada kali 10 kali)
"Enggak berani gue Pril, lo aja coba" jawab saya yang masih berusaha menarik plastik sandwhich dengan gagang payung. Tapi kalau dipikir-pikir, ya, kalau saya berani ngapain saya lempar kantongnya.

Perjalanan kami yang berawal gloomy beranjak makin gloomy. Enggak lama sekumpulan anak sekolah lewat di depan kami yang tengah menyaksikan Rusa makan plastik isi roti Sandwhich. Kami pun berusaha stay cool dengan sok-sok an melihat pemandangan sekitar. Baru beberapa saat si murid-murid Nippon lewat, plastik pun sudah lenyap! Habis terlap oleh Rusa.
"Ini gila banget deh si Rusa, laper banget apa emang segitu ganasnya yak!"

Mengingat sudah tidak ada daya dan upaya yang bisa kami lakukan, kami pun melanjutkan perjalanan. Dengan diikuti oleh Rusa pemakan plastik. sedih, takut, enggak enak sama Rusanya, karena enggak bisa ngasih makanan yang lebih bervitamin tinggi. Tapi di sisi lain ada perasaan "itu kan roti gue! kok lo makan sih. Dasar rusa anjing!" ungkap saya dalam hati. Tapi, karena tersangka utama dalam kasus ini adalah saya, jadi lewat blog ini saya ingin mengucapkan beribu-ribu maaf saya kepada Rusa Nara Park. Dan dari kejadian ini saya bersumpah untuk mengurangi penggunaan sampah plastik. Sudah cukup hewan-hewan laut yang hidup terjerat dalam sampah plastik, jangan ada lagi hewan-hewan dari maupun udara yang terganggu ekosistemnya oleh sampah plastik. Walaupun sebenernya di kasus saya ini enggak sepenuhnya saya ngasih makan mereka pakai plastik sih. Saya cuman melakukan perlawanan diri... karena takut... diserang... Rusa. Huff

Any way, walaupun perjalanan jadi enggak asik gara-gara Rusa makan plastiktapi hal tersebut enggak mempengaruhi kita untuk foto-foto asik  (eh bisa nge-rhyme gitu yal!). Tentu saja, foto-foto paripurna tingkat dewa bisa langsung disaksikan di akun-akun instagram kami. Tapi untuk salah satu foto-nya:

Physically cold and mentally traumatized. Tapi tetep harus happy
We able to spent our entire noon in Nara and it provided us the best memory for a life time. Kira-kira jam 5.30 kami sudah kembali lagi ke stasiun Nara. Kali ini kami berhasil menggunakan kereta cepat. Dalam waktu 33 menit (sesuai estimasi Google) kami berhasil kembali ke Tennoji Station dan melanjutkan perjalanan ke Shin - Osaka. Dan memulai kembali petualangan baru kami di TOKYO.

Prediksi Salju dan Desa Di Balik Bukit
Selama perjalanan menuju Tokyo, saya, April dan Susan mulai memikirkan itenerary kami untuk empat hari kedepan.
"Yuk, ah, kita jangan buang-buang waktu di jalan!" ungkap Susan, dengan balasan anggukan dari saya dan April.
"Kita rencananya di Tokyo mau kemana aja Ta?"
"Personally sih gue pengen ke Harajuku ketemu cosplayer sama main ke museum National Art di Tokyo, terus besokannya gue merencanakan ke Shirakawago. Mumpung JR-Pass kita masih aktif nih, sayang kalau dipake PP buat Tokyo - Osaka doang. Abis itu, besokannya kita masih punya satu hari JR-Pass bisa dipake buat jalan-jalan di Tokyo, kayak ke Asakusa atau belanja ke Shibuya," jelas saya.
Susan dengan sigap membuka aplikasi Accuweather (pelajaran ketiga saat jalan-jalan di Jepang, selalu lihat prediksi cuaca karena itu penting untuk menentukan harus gaya busana dan harus enggaknya bawa payung) dan pas di cek, diprediksikan kalau Shirakawago mulai bersalju. Rasa lelah yang melanda kami pun sirna. "Boookkk, lusa aja yuk kita ke Shirakawago! Biar bisa liat salju!".
Sekali lagi, tanpa booking bus, tanpa pengetahuan apapun. Kami pun membulatkan tekad ke Shirakawago.
Personally, saya agak seneng sih kita enggak langsung lanjut ke Shirakawago, karena badan saya udah mau rontok, demam, dan pusing kleyengan tak terperi. Jadi, saya punyalah waktu satu hari untuk mengistirahatkan diri. Untungnya kami dapat menginap yang nyaman selama di Tokyo. Yaitu di Mercure Ginza. Well, sebenernya rada jauh sih dari tempat favorit di tokyo, but at least, kami bisa istirahat dengan nyaman aman dan tentram.

Petualangan di Tokyo sebelum besok lanjut ke Shirakawago

Foto wajib saat ke Shibuya. Foto sama patung Hatchi. Turis abis!

Main ke toko Disney. Awalnya gak mau beli apa-apa, tapi ujung-ujungnya beli miniatur Toys Story 2. Kalau dirupiahin 180ribu rupiah Pas dibongkar, Made In Indonesia. Gakpapah banget!

Shibuya at night, freaking beautiful. Ku love banget.

aku selfie maka aku ada. 




senangnya punya temen super kaya

harta yang paling berharga Adalah titipan belanjaan keluarga pas kita lagi asik jalan jalan.

Ku tak sanggup belanja, aku mampunya foto-foto di window displaynya aja.

April nemu aja tempat beli kamera Leica yang murah. Gak boong sih beneran murah. 7 juta udah dapet Leica tuh waw banget! Bangga deh!

Ke Harajuku tapi enggak ketemu anak-anak cosplay itu sedih nya bukan main. Keliatan kan sedihnya. 

Duh, tante merusak momen deh!

Setelah kelar keliling-keliling Tokyo. Balik hotel dan foto foto lewlah. Karena besok kembali berpetualang. 

 KANAZAWA DAN SHIRAKAWA

Semakin hari, saya semakin yakin kalau perjalanan kita ke Jepang adalah untuk membuktikan seberapa jauh kita bisa ngalor ngidul. Karena perjalanan berlanjut ke Kanazawa dan Shirakawago.
Dan perjalanan ke Kanazawa dan Shirakawa-go bukanlah perkara mudah. Kami harus naik kereta subuh, dari Tokyo menuju Kanazawa yang perjalanannya butuh waktu 4 jam. Yap, empat jam pemirsa. Sesampainya di Kanazawa, kita harus booking bis untuk ke Shirakawago. Di sini juga drama, sama halnya kayak ke Fuji, bis atau kendaraan ke Shirakawago itu ada jadwalnya.
Seingat saya, kami tiba di Kanzawa pukul 11.00 siang, sedangkan bis baru ada pukul 13.00, sedangkan perjalanan ke Shirakawago hampir 2 jam, dan bis terakhir itu jam 18.00, jadi semacam kita nyampe sana foto-foto, menghangatkan diri terus balik. Benar-benar sebuah perjalanan yang lama dijalan. Tapi gakpapa lah, memaksimalkan JR Pass seharga 3,5 juta yang bener-bener dipake keseluruh Jepang.
Capek, lelah, tapi pengalamannya bener-bener gak bisa dilupain. Pengen nyoba sekali lagi ke Jepang sebelum Vsa Waivernya angus. Semoga tahun 2019, bisa kesampean. Meanwhile, menuju penghujung tahun 2018 ini mungkin kenangannya aja dulu lah yang dipamerin.




















You May Also Like

1 comments