Ambisius dan Banyak Mau: Cerita Jalan-Jalan GOV ke Jepang (PART 1)

by - 6:16 AM


Jepang memang bukan negara yang biasa. Mungkin karena kondisi geografisnya yang terletak di pulau tersendiri di Samudera Pasifik membuat orang-orang yang hidup di dalamnya memiliki gaya dan pemikiran yang lain dari manusia di Benua Asia (bahkan belahan dunia lainnya). Salah seorang teman saya yang pernah tinggal di Jepang pernah memaparkan tingkat keunikan mereka, 
"lo tahu enggak Git, kenapa orang Jepang membuat semangka mereka jadi kotak?" ungkapnya saat kami sama-sama melihat berita tentang inovasi-inovasi unik dari Jepang di sebuah stasiun televisi. 
"Biar buahnya bisa gampang di simpen di kulkas. That's it alasannya Git! Cuman orang Jepang yang mau ngabisin waktu, tenaga, dan pikiran mereka ke sebuah eksperimen biologis terhadap buah-buahan untuk alasan sesepele itu, gila kan!" paparnya sambil memberikan contoh-contoh nyentrik lainnya dari masyarakat Jepang yang sulit di tangkap nalar manusia Asia Tenggara macam kami

Japanesse with their precious square watermelon
Hal-hal unik tersebut justru membuat pesona Jepang sulit untuk diabaikan. Butuh empat tahun dari perbincangan kami tersebut, untuk saya memutuskan menjelajahi negeri Sakura ini. Tapi, kemana saya harus memulai? Apakah menjelajahi Tokyo yang memiliki Tokyo tower, Tokyo Castle, dan Patung Gundam dengan ukuran sebenarnya cukup bagi saya dan tiga teman saya? Atau perlukah kami juga mengunjungi Osaka sambil mampir menikmati keindahan Shinto Temple yang ada di Kyoto? Bagaimana dengan pesona alam yang ada di Kawaguchiko dengan pemandangan gunung Fuji-nya atau Shirakawago yang lokasi pedesaannya masuk sebagai cagar budaya yang dilindungi oleh UNESCO?

"Girls on Voyage" thats how these girls see the life itself. Always on voyage.
Penerbangan tengah malam, 7 jam perjalanan harusnya nyampe Jepang segar bugar bersinar. Harusnya!
Beberapa orang mengatakan, "ke Jepang enggak bisa satu kali! Butuh beberapa kali kunjungan biar bisa dapet semuanya!" And my friend, as you know, i love to break every doubt and fear (sakelah!). Berkat dorongan ambisius (yang selalu) saya miliki saat merencanakan liburan, dan juga dukungan dua orang teman yang terlalu malas untuk membantahnya, jadilah sebuah 8 hari perjalanan Jepang yang cukup ambisius. 

Tokyo Atau Osaka?
After 10 hours of craziness. Nigga we made it. Made it to Osaka! Haha
Okey, harus diakui kalau perjalanan kali ini sangat minim rencana dan eksekusi yang kelewat terburu-buru. Walaupun beli tiket pesawatnya sendiri udah dari 9 bulan sebelum perjalanan, tapi tetep aja perencanaan jalan mau kemana aja, naik apa, dan bagaimananya semuanya diputuskan 3 minggu sebelum terbang. Nekad? Enggak juga!

Satu hal yang kami enggak kalkulasikan saat beli tiket pesawat adalah mau kemana dulu di hari-hari pertamanya nyampe Jepang. 3 minggu sebelum jalan kami baru putuskan kalau adalah keputusan yang baik dan bijak untuk menghabiskan 3 hari pertama di Osaka baru ke Tokyo. Keputusan yang diambil lantaran voucher gratis menginap dari Accor Group enggak bisa dipakai di akhir pekan.

Sebagai silver member Accor Group, kita dikasih gratis menginap selama dua malam di hotel Accor manapun di seluruh Asia Pasifik dalam satu tahun.  Karena kami ada bertiga, berarti kami berkesempatan untuk menginap 6 malam di group hotel Accor manapun di Jepang. Syaratnya, cuman booking aja terlebih dahulu lewat applikasi Accor, masukin kartu kredit (enggak akan kena charge, cuman keperluan administrasi aja) and all set. Seru banget kan? Tapi, ya, gitu, ternyata semua grup Hotel Accor di Jepang kalau weekend enggak bisa dipakai untuk complimentary stay, sedangkan kami sampai di Jepang hari Jumat. Hff. Alhasil, kami harus nyari penginapan non-Accor selama sisa 3 hari perjalanan weekend di Jepang. Mau nyari penginapan murah di Tokyo, pilihannya enggak ada yang cocok karena kebanyakan WC nya diluar dan campur pria dan wanita. Se doyan-doyannya saya sama travelling, kenyamanan sanitasi masih jadi hal utama bagi saya. Jadi, stay di Tokyo terpaksa kami coret. Dan adalah Susan dengan brilian mengidekan kalau kita tinggal di luar Tokyo.
"Gimana kalau kita stay di Osaka aja selama weekend itu," paparnya lewat Whatsapp. Saya dengan sigap langsung membuka traveloka dan agoda, ternyata banyak penginapan yang cocok dengan harga memadai di Osaka.
"Dari pada hotel, kita stay di Airbnb aja kali ya, biar lebih murah!" godbless April her another briliant idea. Percakapan yang sudah dilontarkan sejak tiga bulan sebelum keberangkatan ini pun akhirnya dieksekusi 2 minggu sebelum jalan.


Sebuah apartemen mungil di daerah Nagai, Osaka jadi pilihannya. Kenapa Nagai? Kenapa harus didaerah terpencil, bahkan butuh 30 menit dari Shin Osaka ke sini menjadi pilihan tiga orang perempuan asal Tangerang Selatan? Sampai hari ini masih misteri buat kami semua. Mungkin karena masing-masing kami lelah bekerja dan mencari opsi lain bukanlah pilihan. Harga bagus, apartemen tradisional dengan tatami, host menyenangkan, dekat dengan stasiun JR dan banyak lagi alasan lainnya yang membuat pilihan tinggal di Hossy Apartemen adalah keputusan dewa langit Jepang. (Sayangnya kita enggak sempet foto di appartemen Hossy, padahal bentuknya seperti kamar Nobita sekali. munil tapi Jepang pisan!)

30 menit dari Shin Osaka, 3 Jam dari Tokyo. Jadi butuh tambahan waktu tiga setengah jam buat kami sampai di tempat tinggal pertama kami di Jepang. Setelah tujuh jam penerbangan dari Soekarno Hatta ke Haneda.

Kami sendiri sampai Haneda pukul 9.45 pagi (Jepang 2 jam lebih cepat dari Jakarta). Sesampainya di Jepang, jelas, kami enggak bisa langsung naik kereta di Osaka, karena harus lewat imigrasi, nunggu bagasi, tuker JR Pass, dan yang pasti nyasar! Dengan energy seadanya setelah tidur enggak maksimal di pesawat (siapa sih yang bisa tidur nyenyak di pesawat?) dan juga berbekal perut yang setengah diisi sama menu sarapan Bubur dari Garuda yang rasanya cukup aneh (yap! Garuda, you have some flaws in your breakfast menu. "Pagi mbak, breakfast untuk pagi ini ada Omelet dan Bubur tapi Omelet kami baru saja habis, jadi bubur aja ya gakpapa," ujar embak-embak mugari yang langsung membuka meja dan menyiapkan sarapan saat mata saya masih setengah tertutup sleep mask), jelas saja kalau kami banyak miss-informasi dan kebingungan saat harus ke Shinagawa Station, sambil membawa bagasi kami yang luar biasa.
Originally the first picture taken in Japan. Lokasi, Haneda Station, lagi nunggu kereta ke Hamamatsucho. 
Dari Haneda Station, kami harus ke Hamamatsusho Station untuk berganti kereta menuju Shinagawa Station. kenapa Shinagawa? kata Susan, stasiun itu yang direkomendasikan oleh mbak-mbak JR nya, karena dianggap sebagai stasiun terdekat dari Haneda untuk naik Shinkansen menuju Osaka. Well, tapi, tau apa mbaknya soal jarak dan waktu. Karena, yang terjadi adalah, kami salah naik kereta di Hamamatsucho. Lebih tepatnya salah nunggu peron. Yang terjadi kami ujung-ujungnya nyampe di Tokyo Station, yang dimana jaraknya menjauhi Shinagawa Station.
Bahagia, padahal salah stasiun. Ini foto diambil di stasiun Tokyo. Stasiun salah pertama setelah landing di Jepang.

Kedinginan, tanpa pengetahuan or whatsoever. Yang kami tahu, kami harus ke Shinagawa, karena kami juga sudah memesan tempat duduk. Akhirnya, kami kembali turun ke stasiun, tanya ke mbak dan mas JR, peron mana yang bisa membawa kami ke Shinagawa Station. Dan tepat pukul 11.45 am, kami sampai di Shinagawa Station dan menunggu kereta Shinkansen kami menuju Osaka. Kereta Hikari 574 adalah nama kereta yang tertera di tiket JR kami. Sambil memegang bekal bento dan minuman dari vending machine, kami menunggu di peron yang sudah ditunjukkan oleh petugas JR di Shinagawa. Jadi, pasti sudah enggak akan salah lagi dong!  Baru, beberapa menit mengantri, sebuah kereta peluru sampai dan berhenti dihadapan kami. Dalam hati, "wah, keren banget, kereta ini dateng lebih cepet dari perkiraan jam yang ada di tiket!". Takjub dengan bentuk kereta yang beroperasi, kami pun langsung naik dan mencari seat yang sudah kami pesan tadi. Ternyata, seat kami sudah di duduki oleh tiga orang bule. Susan yang ada di depan dengan sigap menegur turis asing itu dan bilang
"Excuse me, i think you are in our seat," ujar Susan.
"Oh, no, its our seat. Let me see your ticket," balas si Bule.
Dengan humble tapi stay cool, Susan nunjukkin tiga tiket Shinkansen yang dipegangnya. Saya, perempuan berkerudung dengan wajah superasiatenggara, yang berdiri paling belakang pun enggak kalah cool.
"I'm sorry, i think you are in a wrong train. This is Nozomi not Hikari," ujar si bule.
Say What?
Mendengar kata-kata "wrong train", reaksi pertama saya adalah berlari menuju pintu keluar kereta. Seorang bapak-bapak Jepang yang lagi berusaha meletakkan bagasinya ke atas tempat duduknya terpaksa kena semprot "excuse me" dan "samimasen". Jaraknya tinggal sejengkal lagi dari langkah kaki saya dan, zleb, pintu kereta Shinkansen Nozomi secara otomatis tertutup di depan wajah kami.
Pelajaran pertama tentang Shinkansen: Kereta ini hanya berhenti kurang dari dua menit di tiap stasiun. Mereka selalu on-time, tidak pernah terlambat dan tidak pernah kecepetan!
Dan, lagi-lagi, tiga orang perempuan asal Tangerang Selatan, untuk kedua kalinya, salah naik kereta di Jepang, dalam kurun waktu kurang dari 3 jam setelah ketiganya landing di Jepang.

Beberapa menit kereta jalan, seorang petugas kereta yang hendak ngecek tiket penumpang melewati kami yang sedang berdiri di depan pintu kereta. Bingung, lelah, dan capek terus-terusan salah naik kereta. Si mas-nya pun mumbling dengan bahasa Jepang, kami dengan gontai menunjukkan tiket kami.
"Ohh, wrong train," ujar dia sambil menunjukkan ekspresi paham.
Yeah, we know!
Dia pun mengembalikan tiket kami, lalu pergi entah kemana, dan kembali membawa kertas putih. Idih, mampus banget kalau kita harus bayar kereta ini. Karena, FYI aja, sebenarnya semua kereta shinkansen dicover sama JR Pass kecuali kereta Nozomi dan Mizuho. Kenapa? enggak paham juga saya, padahal dari segi harga mah sama aja, sama-sama mahal. 1,5 juta sekali jalan! Jadi kebayang dong horornya saat kita pikir dia mau nge-charge kita.

Tapi ternyata yang tertera di kertas putih itu adalah sebuah tulisan, yang bertuliskan HIKARI dalam huruf Katakana beserta jam kedatangannya. "Down in Shin-Yokohama. This time, the Hikari train will come," ujar si mas-nya dengan broken english, dan baik banget, pria Jepang dengan kulit pucat langsat berkacamata. Dia pahlawan pertama di perjalanan kami (percayalah, ada lebih dari satu pahlawan di perjalanan ini). Enggak sampai lima menit, kami sampai di Shin Yokohama, begitu pintu terbuka, kami langsung melompat turun. Dan seperti biasa, enggak sampai 2 menit, kereta ini langsung jalan lagi. Dan saat kereta jalan, di ujung belakang kereta, muka si mas-mas Japun menyembul dari luar jendela dan melambaikan tangannya ke arah kami. Kami pun membalas lambaiannya dan teriak "Arigatou" dan sukses menarik perhatian orang-orang Nippon di sekitar kami.

Di Shin Yokohama, akibat salah naik kereta kedua. Daripada bete nunggu mending foto-foto sambil ngangetin wajah!

Yak, bayangin aja, dua kali salah naik kereta sambil bawa beginian!
Enggak lama (ya, memang di Jepang apa-apa cepet banget. Jarak antar satu kereta dengan kereta lainnya paling cuman 10 menit), kereta Hikari 574 kami sampai. Sebelum naik, kami memastikan huruf katakana yang ada di depan pintu kereta sama persis dengan yang di tulis mas-mas Nozomi tadi. Dan bener aja, seat kami yang begitu berharga ternyata enggak ada yang dudukin. Kali ini kami siap menuju Osaka! Fuuhh, alhamdulilah!

Trip To Fuji by Some Guy From Internet


Satu hal yang paling bikin saya addict saya travelling sendiri tanpa tour guide karena saya bisa dengan sesuka hati menentukan destinasi yang pengen saya tuju tanpa terpaut waktu yang ditentukan saya mas-mas tukang turnya. Selain itu, spirit Carpe Diem saya yang tinggi juga membuat saya merasa bisa menjelajahi negeri apapun selama bisa akses Internet. Mehehe. Maklum, Carpe Diem Millenial soalnya, jadi enggak bisa jauh-jauh dari internet!

Any way, salah satu hal yang membuat perjalanan ke Jepang kali ini super sekali karena saya merencanakan kunjungan ke dua tempat yang makan waktu di jalan dan syulit untuk esekusi tanpa perencanaan yang matang. Saya merencanakan kunjungan ke Kawaguchiko untuk lihat gunung Fuji dan juga Desa Shirakawago! Ambisius memang. Tapi berdasarkan riset yang cukup mengambang (enggak bisa bilang mendalam, karena pada kenyataannya saya banyak miss kalkulasi waktu dan jarak yang berakibat fatal. Sefatal apa? Baca terus ya sampe bawah!) saya lakukan dua minggu sebelum keberangkatan, saya merasa melakukan kunjungan ke dua tempat ini bukanlah perkara mustahil.

Karena lokasi tinggal kami dibagi menjadi dua, Osaka dan Tokyo, jadi menurut akan lebih bijak kalau dua lokasi ini dibagi disaat kami berada di dua tempat tinggal yang berbeda. Jadi, hari ketiga kami di Osaka, saya jadwalkan sebuah perjalanan ke Fuji. Menurut penulusuran saya di Google dengan menggunakan keywords: "Osaka to Fuji by JR Pass" ditemukan sebuah jawaban praktis dari warganet di Japan-Guide (at first, i think, reading those thing already convince me that i am able to do this, i mean, read it from Japan Guide, how could it be go wrong!):
1) take the Haruka Limited express from the airport to Shin-Osaka Station (fully covered, 50 minutes, 2 trains per hour)

2) take a hikari train on the Tokaido Shinkansen from Shin-Osaka to Mishima Station (fully covered, 2 hours by direct hikari, 1 direct train every 2 hours, a transfer is required otherwise)

3) take a local train on the JR Tokaido Line from Mishima to Numazu (fully covered, 5 minutes)

4) take a local train on the JR Gotemba Line from Numazu to Gotemba (fully covered, 30 minutes)

5) Take a Fujikyu bus from Gotemba Station to Kawaguchiko (1 hour, 1470 yen, not covered by Japan Rail Pass, 1-2 buses per hour)
Karena riset yang cukup sebentar, saya anggap ini adalah cara terbaik dan terhebat dan terdahsyat yang ada di internet. Tanpa saya sadari kalau postingan ini di publish tahun 2008. Yap! Saya pakai cara Sembilan tahun yang lalu untuk menuju Kawaguchiko dari Osaka. Sembilan tahun yang lalu, Obama masih jadi Presiden Amerika, SBY masih tergolong ke dalam kelompok musisi produktif yang menelurkan album musik kebanggaan negeri (well, not really), dan yang pasti sembilan tahun yang lalu berat badan saya bahkan masih kisaran 7 - 49 kilo, gigi masih tonggos, dan ke kampus naik motor sambil nenteng laptop yang beratnya lebih dari tiga kilo. Jadi, ketika dua teman saya mengatakan "kok lama banget ya perjalanan ke Fuji" itu bukan salah perjalanannya, tapi salah jalur yang diambil. Bayangin aja kita pakai cara sembilan tahun yang lalu, man.





even our trip take longer time than others, but the view from Gotemba to Kawaguchiko Station is beyond words!

Worth the time and pain. Mount Fuji from Kawaguchiko. So glad i did this with these two!  

Any way, walaupun total perjalanan yang awalnya saya prediksikan hanya 4 jam jadi 7 jam ini, tapi kami tetap sampai Kawaguchiko. Kesorean sih, tapi Allah Maha Baik, matahari bersinar terang banget. Susan yang udah dua kali ke tempat ini aja enggak pernah dapet pemandangan Fuji sesempurna kunjungan kami. Dan karena kami datengnya juga udah mepet, mataharinya juga udah tinggal seadanya, jadi kami semaksimal mungkin gunakan waktu untuk foto-foto. Hasilnya? Yak bisa dilihat di Instgram kami. Sekadar preview, berikut hasil-hasil foto yang berhasil di capture kang foto idola Alam Sutera @aprillpril dari kamera Fuji XT-nya: 
Kami nyampe lokasi udah jam 3 lewat, dua jam foto-foto sambil menahan udara dingin yang ampun-ampunan (di foto keliatan selow padahal ujung jari udah pada kebas, pas di check di accuweather temperatur Kawaguchiko sore itu mencapai 2 derajat selsius!)

Hari makin sore, matahari makin ngilang, Fuji juga makin gelap dan dingin menusuk. Ini saatnya untuk pulang. Setidaknya itulah yang Susan yakini. Tapi saat kami datang, Kawaguchiko sedang ada festival musim kemarau. Enggak ada yang spesial sih, cuman ada tenda makanan aja. Pas liat jam di handphone (yang udah mati-nyala-terus mati lagi.. pff, gadget aja menyerah sama udaranya!) juga masih berkisar jam 5 sore, bus terakhir ke Gotemba masih jam 18.30, jadi saya pikir ya bisa kali setengah jam main di sini dulu.
Ini festival yang ada di sepanjang Lake Kawaguchiko

Banyak stan makanan lucu-lucu khas Jepang

Udon, Long Fries, dan Mochi Bakar. Semuanya enak karena laper dan dingin.

Dan, itulah yang kami lakukan. Cari makanan, menghangatkan diri. Dan kurang dari setengah jam, kami udah siap-siap menuju Kawaguchiko Station untuk pulang ke Osaka. At least, that what's in mind. Ternyata bus dari Kawaguchiko menuju Kawaguchiko Station itu telat karena banyak festival sejenis di sepanjang pinggiran Lake Kawaguchiko yang bikin macet. Kami pun sampai di Kawaguchiko Station jam enam lewat.

Dan pada momen itu, saya, sama sekali enggak tahu hal buruk apa yang akan terjadi. Di otak saya, kami on time, on schedule. Sedangkan Susanti Putri udah ngasih tahu kalau sebaiknya kita naik kereta apapun menuju Odawara atau Tokyo dan keluar dari kawasan Kawaguchiko. Sedangkan otak Padang saya yang ekonomis berpikir, "kenapa kita mesti buang tiket PP Gotemba - Kawaguchiko - Gotemba sih, ini kan udah pilihan paling mursidah harta dan cara pulang paling bener!", at least thats what my mind keep telling me.

I'm pretty sure our money mostly spent for food. Baru nyampe gotemba Station, jelas-jelas udah kemaleman. Tetep aja nyari makanan lagi! Ini di Subway gotemba, kita makan sandwhich dulu!

Setelah diperdebatkan, akhirnya kita tetep pulang dengan bus Gotemba yang udah kelewat dan nunggu bus lainnya. Dan, ternyata, (o my God, guys, i still can feel how my nerve breakdown when the truth hit me!), sesampainya kami di Gotemba sudah pukul delapan malam. Rencananya kami harus naik Shinkansen dari Mishima Station menuju Osaka. Dan berpiraan perjalanan adalah 30 menit dari Gotemba ke Mishima. Waktu tempuh yang cukup reasonable. Dan, ditengah perjalanan, saya mau cek jadwal Shinkansen dari Mishima ke Osaka. Dari situ saya melihat kenyataan.
KERETA SHINKANSEN TERAKHIR DARI MISHIMA STATION KE OSAKA BERANGKAT 10 MENIT LAGI.
And when i said the last, it really the last transportation to Osaka. Enggak ada Kereta, Bus, atau apapun setelah pukul 8.24 pm menuju Osaka. Enggak cuman Mishima, kami juga ngecek ke Shizuoka, Nagoya, nothing! Rekomendasi Google adalah berangkat jam 6 pagi dari station Nagoya untuk pulang ke Osaka. Saat menyadari hal itu, saya bisa merasakan seluruh aliran darah saya meninggalkan otak, otak mengaktifkan tombol panic attack, sistem syaraf otak yang lagi menjalani "Travelling Zone, Let Get Lost" berganti jadi "You Lost Maderfaker, Lets Panic!", bendungan air mata yang hampir kering kareng udah lama enggak nangis mendapat instruksi untuk mempersiapkan diri untuk melengkapi nervous break down. Dahi Mengerinyit, senyum di bibir menjadi mengerut, mendadak di atas kepala saya ada awan hitam beserta petir dan puting beliungnya. Saya panik, takut, dan mentally udah siap untuk making  a scene in the train. Sambil menatap kedua wajah teman saya bergantian, saya bilang ke mereka,
"O My God, guys, we are officially lost!" ujar saya dengan nada suara bergetar siap nangis. (In the next passage, what you will read is the simplifies version of our conversation! Because, its too emotional damaging for me to write them all, even to remembering it actually cost me pain. Yes, i am that fucked up!)
Susan dan April masih melihat handphone saya yang menunjukkan jadwal shinkansen dari laman Google Maps.
Susan dengan santai mengatakan "Oh... coba lihat kalau shinkansen ke Tokyo masih ada enggak," ujar Susan.
April yang enggak kalau stay cool langsung ngetik rute baru ke Tokyo. Shinkansen dari Mishima menuju Tokyo masih ada sampai jam 9 malam."Masih ada nih sampai jam 9", jawab April.
"Yaudah kita ke Tokyo aja yuk!" balas Susan dengan senyuman.
DENGAN SENYUMAN! HOW COME!
"Kita enggak ada tempat tinggal guys di Tokyo!" ujar saya dengan nada oktaf tinggi, menunjukkan tingkat stress yang lagi terjadi di otak saya. Saya bisa merasakan darah saya kembali turun saat saya bilang 'kita enggak ada tempat tinggal di Tokyo'
"Yaudah, kita jalan-jalan aja di Tokyo, terus istirahat di Tokyo Station sambil nunggu Shinkansen pertama ke Osaka," ujar Susan.
"Serius?" jawab saya dengan keraguan super dewa.
"Mau gimana lagi?"
"Eh, wait, stasiun Tokyo itu ditutup kalau kereta Shinkansen terakhir udah lewat!" ujar April yang sekarang udah mulai mencari alternatif lain di handphonenya.
"Oh, ya, gak bisa ya. Yaudah atau enggak coba stay di Ibis Shinjuku aja," lagi, Susan menjawab dengan santai.
"Kita baru bisa masuk Ibis Shinjuku tuh besok. Enggak bisa diganti jadi malem ini," sekarang saya menjawab dengan nada yang luar biasa frustasi.
"Iyaudah, gakpapa besok tetep nginep di Shinjuku aja, lagian itu kan complimentary, malem ini kita bayar aja!" ujar Susan kembali stay cool as cucumber.
"Coba ya gue cek pakai Accor gue bisa enggak" timpal April.
"Coba di book, Pril," balas Susan.
"Harganya 19 ribu yen, sekitar mepet 2 juta lah kalau di rupiahin,"
"Yaudah coba di book bisa enggak,"
"Yes, bisa!"
"Tuh, udah ya, kita ada tempat tinggal di Tokyo!" ungkap Susan ke wajah saya.
And that's it. The problem solved? I feel weird. Lot of weirdness happen in my mind.
Susan, kayak bisa nangkep kalau pikiran saya masih berada di Limbo of Panic-ness. "Makanya, kalau Susan bilang waktunya pulang tuh pulang! Malah jajan-jajan dulu!" ungkapnya sambil tertawa. "Lagian, gue udah feeling sih kita tuh emang kalau pulang harus ke Tokyo dulu kalau dari Fuji! Harusnya gue enggak membiarkan lo beli tiket ke Gotemba itu sih, hmmm" tambahnya.

Sampai Shinjuku with less than two hours. Tebak hal pertama yang kami lakukan di sini? That's right! Makan maning. Kali ini rice bowl-nya Yoshinoya. April dan Susan yang makan, that night i'm too depressed to even think about food! hff
Malam itu, kita beneran tidur di Ibis Shinjuku. Tanpa bawa baju ganti atau perlengkapan mandi apapun. Cuman bawa badan aja. Waktu itu masih pukul 10 malam, tapi kami bertiga udah mentally tired untuk kembali jelajah kota. Teman saya yang saya ajak bicara soal semangka kotak empat tahun yang lalu menghardik saya via DM Instagram "Parah banget! Ke Jepang enggak kasih tau gue!". Parahan mana selama empat tahun temenan baru sekarang nanyain kabar saya! Tapi saya udah enggak punya tenaga untuk berantem. Saya curhat kalau saya baru aja ketinggalan shinkansen dan jawaban dia cuman ketawa aja, dan bilang "Lagian ide banget ke Fuji dari Osaka. Itu perjalanannya kan jauh banget tahu!". Saya mengiyakan kata-katanya. Sebelum tidur, saya kembali membuka Google dengan keywords "Osaka to Kawaguchiko by JRPASS". Kali ini saya mendapatkan jawaban yang beda dari Google. Kebanyakan dari mereka mengatakan kalau perjalanan dari Osaka ke Fuji itu sangat tidak disarankan. Ini salah satu contoh jawabannya dari Tripadvisory:

I recommend you visit Kawaguchiko from Tokyo as it is far closer than Osaka. For Kawaguchiko the JR Pass will take you as far as Otsuki station. From here you will need to use the non-JR Fujikyu lines up to Kawaguchiko itself. Here's a sample itinerary from Osaka to Kawaguchiko. You can see it will take 361mins from Osaka. From Tokyo the same trip will take 183m.
Oh, i wish i read this page sooner. And there i sleep, with complete regret in my mind. And then i realized, holyfuck, we only spent three days in Japan. Masih banyak hari untuk dijelajahi! Ayok, semangat lagi Gita. Pagi harinya, that's exactly what i feel, Inspired and excited!  

Mau tahu kelanjutan perjalanan kami selama di Jepang kayak apa? Di share atau di komen yaa postingan ini. Biar si Gita makin semangat lanjut nulisnya (ih gitu! Padahal gemes aja, pengen cepet-cepet di publish cerita bagian ini), hehe.



You May Also Like

1 comments