Jangan ke Jepang! Unless...

by - 3:37 AM

taken by my supertalented friend: Deasy Aprilputri Natalia

Susah tahu dapet visa ke Jepang!
Apa-apa di Jepang tuh serba MAHAL!
Orang-orangnya kan pada cuek banget di sana, susah bahasa Inggris lagi!
Duh, makanan Jepang tuh semuanya mengandung babi! Bakalan susah makan lho!

Iya deh iya!
Ada aja lah pokoknya komentar dari kerabat kerja, keluarga, bahkan netizen, setiap saya kedengeran mau jalan kemana. Seneng dengernya. Walaupun belum tentu semuanya benar. Tapi unwanted comment jenis ini selalu seru untuk didengarkan. Lewat postingan ini (yang saya tulis sambil colong-colong waktu istirahat kerja), saya pengen mempreteli mitos-mitos SUSAH, SULIT, MAHAL, travelling ke Jepang.

1. Visa Waiver Jepang
Memang betul, bikin Visa ke Jepang itu cukup ribet dan makan waktu... bagi kalian yang masih pengguna passport lama. Kebetulan banget, passport lama saya bulan April 2018 akan habis, dan saat saya hendak jalan ke Jepang di bulan November, otomatis saya memang sudah waktunya perpanjang passport. Instead of, perpanjang passport lama, saya memilih untuk membuat e-passport. 
Kesadaaran untuk membuat e-passport sebenarnya sudah terbesit sejak enam bulan sebelum keberangkatan. Entah karena malas yang terlalu atau mungkin karena keburu horror duluan mengingat pengalaman teman saya membuat e-passport di Bandara Soekarno Hatta harus nunggu antrian dari jam 3 pagi, alhasil saya terus menunda membuat e-pass. Sampai H-30 keberangkatan. Sekitar di akhir bulan September, saya akhirnya ngulik-ngulik, cari tahu, bagaimana dan dimana saja saya bisa membuat e-passport. Syukur Alhamdulilah banget, di DKI Jakarta bisa bikin e-passport dengan pengambilan antrian lewat whatsapp. Iyes, whatsapp! Dari berita yang diturunkan oleh banyak media di bulan Agustus, dikabarkan kalau kantor imigrasi daerah DKI Jakarta sudah menyediakan nomor whatsapp khusus untuk perpanjang dan pembuatan passport baru. 
Setengah percaya dan enggak, tapi saya ngerasa udah enggak ada waktu untuk skeptis. Kondisinya waktu itu saya juga baru diterima di kantor baru, jadi enggak mungkin juga saya ijin satu hari dari pagi subuh buta untuk bikin e-passport di Cengkareng. Nggak mungkin, pokoknya itu mustahil banget! Dalam hati, kalau memang cari ini berhasil berarti Allah memang mengizinkan saya ke Jepang. Kalau enggak, ya, mungkin tiket hasil ngantri di Garuda Travel Fair kemaren memang harus dibuang untuk jadi pelajaran hidup di kemudian hari. Ternyata eh ternyata, everything goes flawlessly. 

tahapan dari kiri ke kanan yaa

Caranya, save dulu nomor Imigrasi Jakarta Pusat, lalu hubungi mereka lewat Whatsapp dengan menuliskan #NamaDepan #TanggalLahir #TanggalRencanaPembuatanPassport. Dan seperti yang tertera di atas, saya mencoba daftar untuk pembuatan di tanggal 3 Oktober. Dan balasannya enggak sampai 5 menit. Dan seperti yang dilihat, kalau tanggal segitu pihak Imigrasi Jakarta Pusat sudah kehabisan kuota pelayanan. Mereka juga langsung memberikan rekomendasi tanggal kedatangan.

Habis itu, tinggal tulis lagi #NamaDepan #TanggalLahir #TanggalKedatanganRekomendasi. Dan seperti yang terlihat di panel tengah, mereka langsung memberikan kode konfirmasi data diri. Copy nomor konfirmasi, dan mereka akan mengirimkan kode booking pembuatan e-passport beserta jam kedatangannya (usahakan on time ya!).

Pas, hari H, saya datang on time jam 10.00 di Imigrasi Jakarta Pusat. Saya udah cukup takut karena di depan counter lantai dasar udah ada antrian. Ternyata itu antrian yang belum daftar via whatsapp. Saya dan teman saya yang sudah punya kode booking, langsung diberikan nomor antrian interview dan foto beserta berkas yang harus diisi (jangan lupa bilang ke petugas kalau Anda ingin membuat e-passport yaa! Kalau lupa, bisa bilang pas sama pewawancara juga kok!). Saya wow banget karena semua selesai kurang dari satu jam. Sekitar jam 10.45 saya dan teman saya sudah selesai foto, interview. Kami diberi tahunkan untuk Whatsapp nomor baru khusus bagian pembayaran beserta kertas putih berisi kode data passport kami (kertas putih ini juga sangat penting saat pengambilan passport, jadi jaga baik-baik ya. Jangan sampai hilang!).

proses pembayaran butuh 1x24 jam setelah interview dan Passport jadi setelah 5 hari kerja setelah pembayaran.

Ribet sih mesti masukin nomor Whatsapp baru untuk bayar doang. Tapi percayalah, untuk anak yang males gerak dan males ngantri, menurut saya ini cara paling mutakhir untuk membuat e-passport. Cukup simpan nomor yang ada di kertas putih ke Whatsapp nomor pembayaran. Nanti dia akan membalas kode pembayaran yang harus ditulis saat transfer via bank. Dan selanjutnya dia akan memberikan tata cara pembayaran, beserta link Youtube mengenai tutorialnya. Setelah transfer, simpan bukti transfer dan rekatkan dengan si kertas putih yang diberikan setelah interview. Lalu sekitar seminggu (5 hari kerja) mereka akan otomatis memberitahu kapan passport sudah diambil.

Total pembayaran untuk e-passport sebesar Rp 655.000. Angka itu enggak perlu dimasukin kok, pas masukin kode pembayaran saat transfer, dia akan muncul angka dan jenis passport yang dibuat. Emang banyak nunggu sih, tapi menurut saya, untuk bikin e-passport sebulan sebelum keberangkatan ini cara paling simpel, nyaman, dan enggak deg-degan. 
Saya dan teman saya, setelah keluar e-passport, kita langsung menuju Lotte Shopping Avenue, ke VFS Global untuk proses pembuatan Visa Waiver yang enggak kalah cepet dan gampang. 
Patut diingat: VFS emang ada Kuningan City juga, tapi itu untuk visa Australia dan London. Di Lotte Shopping Avenue khusus untuk visa Jepang.
Seperti yang udah digembar-gemborin sejak 2014 sama kedutaan Jepang kalau mereka sudah mengeluarkan Visa Waiver bagi turis Indonesia yang sudah punya e-passport. Visa Waiver bisa didapatkan secara gratis alias enggak bayar kalau kita ngurus langsung ke Keduataan Jepang. Mengingat waktu itu saya cuman punya H-14 sebelum keberangkatan, jadi saya rasa bantuan VFS sangat diperlukan. Untuk membuat Visa Waiver, VFS memberikan uang administrasi sebesar Rp. 113.000 per orang. Visa Waiver bisa diambil 5 hari kerja juga (duh, deg-degan yaa)! Mereka biasanya kirim via email, kalau passport dan Visa Waiver sudah bisa diambil. Kasus saya, cuman 4 hari kerja sudah dapet email dari VFS kalau passport berstiker Waiver sudah bisa diambil. Alhamdulilah! Bahagia!

Dan Visa Waiver ini berlaku 3 tahun dengan maksimal tinggal di Jepang 15 hari. Jadi, kalau buat teman-teman yang baru ada segurat niat ke Jepang tapi belum punya tiket ke sana, mending dicicil bikin e-passport dulu aja. Terus lanjut bikin Waiver. Kalau udah ada passport dan waivernya, pasti perasaan berat beli tiket ke Jepang akan lebih ringan pas ngantri tiket di Travel Fair. Hehehe.

2. Jepang itu Murah Kalau Cermat
Oke, perkara passport dan visa udah clear kan ya! Sekarang mari patahkan asumsi kalau Jepang itu mahal. Well, emang enggak semurah Jakarta sih (apalagi semurah Jogja), tapi kalau kalian tipe orang yang bosen dikit ke Singapura atau kalau suka banget ke Thailand buat belanja barang-barang lucu murah, lah ya Jepang juga sama aja! 
Namun, saya akui, biaya transportasi Jepang itu MAHAL. Terus gimana dong? Ya, kalau pengen aman sih beli JR Pass. Menurut saya itu udah pilihan ekonomis bagi kalian yang emang niatnya mau eksplore Jepang dari west sampai east (saya banget tuh!). Kalau enggak mau keluar 3,5 juta tapi mau keluar-luar kota, ada cara sedikit lebih hematnya. Pertama tentuin kalian mau main ke daerah mana aja. JR West: Osaka, Kyoto, Shizuoka, Tokyo. JR East: Ueno, Shinagawa, Ueno, Toyama, Kanazawa. Di HIS Travel, jual kok JR Area Pass dengan harga yang enggak nyampe 3 juta. Bahkan bisa pilih berapa harinya. Mulai dari 1,9 sampai 2,9 juta harganya. 

Esensial dalam perjalan. Pocket Wifi wajib banget bawa karena Jepang salah satu negara yang cukup pelit ngasih wifi gratis. Saran: passpod.id. Murah, cepet, tahan lama.

Karena kemarin adalah kunjungan pertama saya, dan saya juga mau perginya ke kota-kota yang jauh dari mana-mana jadi saya rasa JR Pass udah pilihan yang pas. Bayangin aja, satu hari saya bisa naik 2 kali shin-kansen. Entah itu Osaka-Kyoto, Osaka-Shizuoka, atau Osaka-Tokyo. Karena, shinkansen cepet banget kalau kita naik bus atau pakai travel, yang ada kita ngabisin waktu banyak di jalan. Tapi, sekali lagi, pilihan di teman-teman lagi sih. menurut saya, 3,5 juta untuk 7 hari dengan perjalanan yang saya hitung kalau saya enggak pakai JR Pass bisa lebih dari 5 juta (karena naik shinkansen sekali jalan berkisar 1,5 juta) itu nyaman banget.

Dan untuk keliling kota, setiap stasiun kota itu punya bus dan juga kereta dalam kota yang juga di cover JR Pass. Tapi kalau kaya Kyoto dia udah ada sightseeing bus untuk one day pass (rata-rata semua kota udah pada punya sightseeing bus one day pass kok, even kota Gotemba aja punya! Kesadaran pariwisata mereka emang udah rata banget! Salut). Kalau enggak mau pusing ngeliatin google maps sih, beli tiket-tiket harian ini juga nyaman banget.

Untuk makanan, harga standard lah kaya di mall-mall Jakarta. Kisaran 500 - 800 yen udah makan enak kenyang banget. Cukup besar ya, tapi saya dan teman-teman saya ngakalinnya, kita makan gede yang kenyangnya pas makan malem aja. Makan pagi biasanya saya udah beliin mereka sandwhich dan makan siangnya cemilan aja yang ada di pinggir jalan. Entah karena seru dan udara dingin, dan waktu sinar mataharinya juga pendek, jadi kita juga jarang banget kelaperan.

Dan untuk barang-barang seperti sepatu, jam tangan, dan oleh-oleh, Jepang sih juara murahnya. Jadi, selama ini saya tuh lagi ngincer banget sepatu Huarache Nike Air. Kadang ada kadang enggak ada di Nike GI. Pas di Jepang harganya 11.000 yen which is 1,3 juta belum include potongan tax free 10%. Dih, mahal banget, ternyata pas di Indo emang harganya 1,7juta dan enggak ada diskon atau apa. Parahnya lagi di Indonesia jarang banget ukuran kaki saya. Di Zalora sempat ada Nike Air Huarache, tapi ukurannya paling besar 38. Sekalinya ada ukuran besar sampe 43-45. Jam tangan G-Shock dan Baby G juga murah, perbedaannya bisa sampai 400-500 ribu dan biasanya kalau belanja lebih dari 10ribu yen dapet diskon tax free 8-10%. Love banget kan!! Dan, yang paling hits sih kamera sekali pakai yang lagi nge-tren sama anak-anak kids jaman now. Di Indonesia ada tempat khusus kamera analog jual kamera jenis ini Rp 200.000, di minimini Shinjuku cuman 600 yen atau Rp 72.000. Mursidah harta! Menyesal kenapa enggak beli banyak!

Shibuya surga belanja. Geser dikit ada aja yang bisa dibeli. Ini di toko Onitsuka Tiger, sepatunya rang Jepang yang bentar lagi buka toko di Kuningan.
Toko Adidas di Shibuya lucu pisan. Gemsh!

Eits, tunggu dulu! Jangan gampang tergiur jadi penadah yaa saat belanja di Jepang. Karena tau sendiri kan Bea Cukai kita lagi ketat banget. Seperti yang diketahui bersama, batasan belanja luar negeri per-orang saat pulang ke negara Indonesia raya ini kan cuman bisa sebatas US$250 (atau sekitar 3,5 juta lah). Kalau emang mau beli lebih dari itu, ya, siap kena tax lagi di bea cukai Indonesia. Syukur-syukur kalau enggak ketahuan sih hehe.

Tapi biasanya yang paling sering kena kalau kita belanja barang mewah banget dari luar negeri. Karena, biasanya, nih yaa, dari Bea Cukai Luar Negeri nya udah nandain turis yang belanja barang mewah dan ngabarin ke negera asal mereka. Karena kalau kita pelajari lagi diaturan perpajakan negara, emang barang mewah ada pajaknya sendiri. Jadi, kalau emang di luar negeri udah mampu beli tas LV Lulu Vebrianti, ya bayar pajak untuk masuk ke Indonesia mah harusnya juga mampu lah ya! jangan kayak orang susah lah! hehe.

3. Orang Jepang Individualis, Tapi Informatif
Duh, emang bangsa Jepang ini termasuk bangsa yang bangga dengan budaya dan juga bahasanya. Hasilnya, budayanya terjaga apik dan..... orang-orangnya pun sulit bahasa lain selain Jepang. Chaos? Enggak juga! Sebagai makhluk sosial, ada kata-kata umum yang mereka pahamin kok, kayak "Toilet", "Bus Station", "Water", hal-hal esensial macem itu mereka langsung paham kok. Waktu kunjungan kami ke Arashiyama, google maps saya menggila dan enggak tentu arah. Alhasil saya harus melakukan satu-satunya hal yang semua turis hindari, "talk with the local". Seorang polisi lalu lintas yang tengah berjaga saya ajak bicara. Dengan clue bus station, dan kata Kyoto si polisi paham tapi sulit membalas saya. Dia bergumam dengan bahasa Jepang, sambil memberikan penunjuk arah jalan lurus dan belok kiri. Dia bahkan meminta saya membuka google maps saya dan ikutin jalan yang dia bilang. Sulit dipahami tapi ujung-ujungnya saya sampai di tempat pemberentian bus yang saya maksud tanpa harus bertanya ke orang lokal lainnya.

Hal ini enggak terjadi sekali. Saya dan teman-teman saya kebetulan adalah sekelompok turis sotoy hobi nyasar. Harusnya naik peron 3, tapi kereta masuk di peron 4 di naikin juga. Jadi kadang kesalahan-kesalahan dodol yang gak bermakna gitu deh. Tapi, orang Jepang enggak menghindari kami, apalagi penampilan saya yang begitu mencolok dengan hijab. Mereka tahu betul kalau kita turis. Tapi, kalau kita minta bantuan, mereka antusias membantu sebisa mereka. Enggak jarang mereka menggunakan tulisan di kertas biar enggak salah-salah lagi.

Hari minggu pada pakai baju lengkap olah raga. Mau turnamen kayaknya nih mereka! 

Soal, sikap mereka yang super individualis itu juga saya rasakan selama di sana. Di dalam kereta mereka bahkan ada tanda larang menjawab telfon dan meminta nada dering telfon jadi silent. Mereka jarang kelihatan ngobrol antar sesama mereka. Sesekalinya saya lihat ngobrol adalah anak sekolah di Osaka yang hari Minggu masuk sekolah untuk ekskul baseball (asumsi saya sih gitu!). Tapi, bukan berarti mereka orangnya gak asik. Hossy, pemilik apartemen airbnb kami di Osaka adalah salah satu contoh hidup kalau orang Jepang juga makhluk sosial. Yang sukanya pakai kutek warna-warna dan gelang-gelang spikey, padahal mah lakik. Tapi, ya, orang jenis hossy enggak dominan ditemuin di Jepang. 

4. Halal Food is Only Corner Away
Kalau bicara sulitnya cari makanan halal di luar negeri, saya rasa kesulitan dimana aja hampir sama aja. Mau di Singapura, Thailand, bahkan Bali juga sama susahnya nyari label halal di makanan yang kita makan. Kalau bagi saya sih caranya, jangan terlalu dibikin susah, tapi jangan ngegampangin juga. 
Yang masak dan waiternya orang India Nepal. Karena foto-foto di dindingnya Himalaya gitu! Pengen ajak ngobrol tapi dia juga terbatas bahasa Inggrisnya. 
Hiraukan burger keju yang diatas, punya saya burger mushroom vegetarian khas Shake Shack! Enak banget!!!

Pengertian makanan halal itu kan kalau di dalam makanan itu mengandung daging babi ataupun zat zat terkait lainnya. Nah, kalau saya sih ngatasinnya, selalu pilih menu vegetarian dalam menu, atau pilih makanan yang terpampang nyata enggak mengandung daging. Untuk sarapan saya milih makan roti yang bisa diangetin di microwave, dan makan malem selalu pilih menu vegetarian. Di Ginza NZ saya sempat dapet tempat Curry and Naan yang ada logo halal di depan pintunya. Di Shibuya dan Tokyo juga banyak restoran halal lainnya. Bahkan ada kok aplikasi "Halal Gournet" untuk mecari restoran halal selama di Jepang, mencari mesjid atau tempat solat, dan juga bisa mencari kiblat. Pokoknya udah enggak sebuta itu juga kok Jepang sama budaya muslim.

Apalagi yang mau ditanyain? Disanggah? Hmm, komentar mulu jalannya kapan! Hehehe



You May Also Like

0 comments