Kalau sekadar pertanyaan "kapan nikah?" dan "siapa pacar" sih sudah kebal di telinga saya. Karena menurut saya jawabannya enggak ada di tangan saya, seberapa keraspun saya berusaha. Tapi, ketika pertanyaan mengenai karier atau "sibuk apa?" justru sering menjadi bahan renungan saya.
Sempat membantu mengadakan media gathering untuk Halal Guys Indonesia! So fun! |
Sekitar akhir April lalu saya memutuskan untuk keluar dari kantor saya. dan memutuskan untuk menjadi full time freelancer social media specialist. And to be honest, it was fun. Saya mendapatkan kesempatan bekerja di luar keseharian saya. Saya mendapatkan kesempatan membantu peluncuran sebuah restoran di Jakarta, saya juga sempat membantu mengelola social media sebuah brand fashion Indonesia, dan juga beberapa kali berksempatan menulis pengalaman travelling saya di sebuah majalah. Dan tanpa adanya ikatan waktu saya jadi bebas jalan-jalan. It was fun and it was great.
Sampai akhirnya saya berada di titik, "mau sampai kapan?"
Salah satu teman saya sempat memberi warning tentang kehidupan freelancer.
"Git, gue kasih tau ya, jadi freelancer itu enggak seenak kedengerannya. Gue sendiri ngalaminnya sendiri, empat tahun jadi freelancer di Bandung dan kalau dibandingin dengan kehidupan gue sekarang ya jelas lebih enak. Walaupun terikat kontrak dan aturan tapi setidaknya seluruh aspek kehidupan lo di perhatiin sama perusahaan. Lagi pula, mau sampai kapan? Sekarang mungkin lo bisa banyak job dan projek, tapi saat lo udah lebih tua lagi, akan lebih banyak lagi anak-anak socmed yang lebih muda yang mungkin bisa dengan harga yang lebih murah dan dengan kapabilitas yang lebih dari lo. Jadi freelancer, enggak ada promosi dan naik jabatan, yang nentuin berkembang atau enggaknya diri lo sendiri"
Three months ago, his advice is triggering me to do freelance as soon as possible. I mean, your works will be known as yourself not your company. You are you own boss. Tapi ternyata, its hard to be a boss and staff at the same time. Especially when its finally hits financially.
Sejujurnya semua pekerjaan freelance yang saya lakukan untungnya memberikan benefit yang sepadan. Bahkan dihitung-hitung kadang jumlahnya bisa lebih dari yang saya terima perbulan. Tapi, ketika saya mulai sakit, saya yang harus mulai mengurus semua keperluan dokternya sendiri. Dan ketika musim liburan tiba, saya enggak terima Tunjangan Hari Raya. Sepele, tapi karena dua hal ini saya mempertanyakan kembali kesiapan saya dalam menjadi freelancer. "Is this really for me?"
Pertanyaan tersebut membuat saya mempertanyakan, apa sih yang saya inginkan dalam hidup. Dan dari teman yang sama, saya ingat nasihatnya "coba deh lo gambarin rencana hidup lo selama 1 tahun ke depan. Buat goal-goal apa aja yang mau lo coba achieve selama satu tahun ke depan. Dan, coba capai itu di tiap harinya."
Again, when i heard this stupid advice (who turns out to be right) i feel i am not that kind of person. "Ya ampun, gue kan anaknya Carpe Diem (#anakgals #pameranfotoGFJA) banget. Masak iya gue butuh bikin-bikin gituan." Dan di masa-masa senggang, waktu liburan ke kampung halaman, saya mulai memprojeksikan diri saya. "Mau apa sih Gita?"
First, i am not seeing myself as oneself in one year. I want to see myself further than that. I want to see, who i am and what i want to become. 27 is quite late for this kind of realization, but i need this wake up call. Dan dalam imaji itu, saya masih melihat diri saya berdiri di dekat kaca jendela di sebuah perusahaan dan menjadi pemimpin rapat (you know, the kind of picture you see in thinkstock or gettyimages when you try put a keywords "successful woman"). Dari situ saya sadar, i am belong to the office.
there she is, looking inspiring and successful |
Lalu tahap kedua, karier apa yang ingin saya capai di dunia kerja? Well, since i was really drown deeply in digital content creator/editor/specialist i think its way more easier and make sense for me to find my "new home" to increase that kind of knowledge.
Dan, saya merasa saya tidak ingin pekerjaan baru menjadi terminal sementara, saya ingin karier di rumah baru. Saya ikut membangun rumah tersebut, bukan hanya duduk menunggu di terminal sampai akhirnya tawaran yang lebih baik datang. Dari premise itu, dari dasar pemikiran itu, saya butuh mengadaptasi mind set dan attitude baru ke dalam diri saya.
Saya perlu berubah.
Di awal tahun, saya dan teman saya sempat berkumpul di sebuah resto di bilangan Gading Serpong. Salah satu teman saya yang memang "terkenal" memiliki "six sense" mencoba membaca tanga saya (okay, i dont believe in this bullshit either, but what he about to say to me is make sense to my current mental state of mind). "Garis tangan lo itu garis tangannya orang yang berpetualang banget Git. Lo ngerasa enggak pernah bisa settle dengan apapun yang lo punya. Dan ini bukan hanya di karier tapi juga percintaan. Kalaupun lo ingin berubah, itu butuh perubahan yang besar. Dan itu semua tergantung dari diri lo."
Di luar hasil ramalan absurd yang meragukan tersebut, saya juga ingat sebuah ayat yang mengatakan "Tidak akan Allah mengubah nasib suatu kaum jika tidak kaum itu sendiri apa yang ada di diri mereka."
Dan sejak satu tahun yang lalu, saya tahu apa yang perlu saya lakukan, tapi selalu saya ragu untuk lakukan. I know who i am and i know what cost it will affect me, towards my attitude and my style. Semakin hari, saya menemukan semakin sedikit alasan untuk tidak melakukannya. Dan, sepenuhnya hal ini hanya bisa dilakukan jika memang datang dari diri saya, keluarga saya sudah mencoba untuk melakukannya selama beberapa tahun terakhir, and it never feels so right. Until, it is right!
Di hari pertama saya kembali bekerja, saya memutuskan mengadaptasi semangat baru dan mencoba mengontrol diri saya dengan mengenakan hijab. Saya sadar bagi banyak orang, keputusan hijab bukanlah keputusan besar. Tapi, ini besar, untuk saya. Saya ingin, ketika saya berhijab, bukanlah keputusan sesaat yang bisa saya anggap sepele. Semua hal yang tidak saya sukai dari stereotype perempuan berhijab. Contohnya, saya rasa pemikiran saya akan tetap berada di jalur liberal. Hijab saya tidak akan menutup rasa skeptis saya terhadap apapun.
It purely because this is what i believe and this is the change that i need.
With this post, i dont need, some kind of "applause" or "affirmation" from you (because i know, my closest friend will read this anyway, and i know it dearly, some of them will not fully support it. And i am fine with that. Because two years ago, i will not support this kind of chage as well). I just feel this is the right way to do it, and hopefully this post will help you understand why i am doing this (setidaknya menjawab pertanyaan "kenapa" saat saya ketemu teman-teman lagi).
And, for a guy who has gave an advance advice since four or three months ago but it still not stopping me to quit from my job, and i can sense you feel ignored and annoyed by that. You know i will not say it to your face. And with this post i want to admit, "YOU ARE RIGHT!"