Powered by Blogger.

GA

Pages

  • Home
  • Let's Partner Up!

Jepang memang bukan negara yang biasa. Mungkin karena kondisi geografisnya yang terletak di pulau tersendiri di Samudera Pasifik membuat orang-orang yang hidup di dalamnya memiliki gaya dan pemikiran yang lain dari manusia di Benua Asia (bahkan belahan dunia lainnya). Salah seorang teman saya yang pernah tinggal di Jepang pernah memaparkan tingkat keunikan mereka, 
"lo tahu enggak Git, kenapa orang Jepang membuat semangka mereka jadi kotak?" ungkapnya saat kami sama-sama melihat berita tentang inovasi-inovasi unik dari Jepang di sebuah stasiun televisi. 
"Biar buahnya bisa gampang di simpen di kulkas. That's it alasannya Git! Cuman orang Jepang yang mau ngabisin waktu, tenaga, dan pikiran mereka ke sebuah eksperimen biologis terhadap buah-buahan untuk alasan sesepele itu, gila kan!" paparnya sambil memberikan contoh-contoh nyentrik lainnya dari masyarakat Jepang yang sulit di tangkap nalar manusia Asia Tenggara macam kami

Japanesse with their precious square watermelon
Hal-hal unik tersebut justru membuat pesona Jepang sulit untuk diabaikan. Butuh empat tahun dari perbincangan kami tersebut, untuk saya memutuskan menjelajahi negeri Sakura ini. Tapi, kemana saya harus memulai? Apakah menjelajahi Tokyo yang memiliki Tokyo tower, Tokyo Castle, dan Patung Gundam dengan ukuran sebenarnya cukup bagi saya dan tiga teman saya? Atau perlukah kami juga mengunjungi Osaka sambil mampir menikmati keindahan Shinto Temple yang ada di Kyoto? Bagaimana dengan pesona alam yang ada di Kawaguchiko dengan pemandangan gunung Fuji-nya atau Shirakawago yang lokasi pedesaannya masuk sebagai cagar budaya yang dilindungi oleh UNESCO?

"Girls on Voyage" thats how these girls see the life itself. Always on voyage.
Penerbangan tengah malam, 7 jam perjalanan harusnya nyampe Jepang segar bugar bersinar. Harusnya!
Beberapa orang mengatakan, "ke Jepang enggak bisa satu kali! Butuh beberapa kali kunjungan biar bisa dapet semuanya!" And my friend, as you know, i love to break every doubt and fear (sakelah!). Berkat dorongan ambisius (yang selalu) saya miliki saat merencanakan liburan, dan juga dukungan dua orang teman yang terlalu malas untuk membantahnya, jadilah sebuah 8 hari perjalanan Jepang yang cukup ambisius. 

Tokyo Atau Osaka?
After 10 hours of craziness. Nigga we made it. Made it to Osaka! Haha
Okey, harus diakui kalau perjalanan kali ini sangat minim rencana dan eksekusi yang kelewat terburu-buru. Walaupun beli tiket pesawatnya sendiri udah dari 9 bulan sebelum perjalanan, tapi tetep aja perencanaan jalan mau kemana aja, naik apa, dan bagaimananya semuanya diputuskan 3 minggu sebelum terbang. Nekad? Enggak juga!

Satu hal yang kami enggak kalkulasikan saat beli tiket pesawat adalah mau kemana dulu di hari-hari pertamanya nyampe Jepang. 3 minggu sebelum jalan kami baru putuskan kalau adalah keputusan yang baik dan bijak untuk menghabiskan 3 hari pertama di Osaka baru ke Tokyo. Keputusan yang diambil lantaran voucher gratis menginap dari Accor Group enggak bisa dipakai di akhir pekan.

Sebagai silver member Accor Group, kita dikasih gratis menginap selama dua malam di hotel Accor manapun di seluruh Asia Pasifik dalam satu tahun.  Karena kami ada bertiga, berarti kami berkesempatan untuk menginap 6 malam di group hotel Accor manapun di Jepang. Syaratnya, cuman booking aja terlebih dahulu lewat applikasi Accor, masukin kartu kredit (enggak akan kena charge, cuman keperluan administrasi aja) and all set. Seru banget kan? Tapi, ya, gitu, ternyata semua grup Hotel Accor di Jepang kalau weekend enggak bisa dipakai untuk complimentary stay, sedangkan kami sampai di Jepang hari Jumat. Hff. Alhasil, kami harus nyari penginapan non-Accor selama sisa 3 hari perjalanan weekend di Jepang. Mau nyari penginapan murah di Tokyo, pilihannya enggak ada yang cocok karena kebanyakan WC nya diluar dan campur pria dan wanita. Se doyan-doyannya saya sama travelling, kenyamanan sanitasi masih jadi hal utama bagi saya. Jadi, stay di Tokyo terpaksa kami coret. Dan adalah Susan dengan brilian mengidekan kalau kita tinggal di luar Tokyo.
"Gimana kalau kita stay di Osaka aja selama weekend itu," paparnya lewat Whatsapp. Saya dengan sigap langsung membuka traveloka dan agoda, ternyata banyak penginapan yang cocok dengan harga memadai di Osaka.
"Dari pada hotel, kita stay di Airbnb aja kali ya, biar lebih murah!" godbless April her another briliant idea. Percakapan yang sudah dilontarkan sejak tiga bulan sebelum keberangkatan ini pun akhirnya dieksekusi 2 minggu sebelum jalan.


Sebuah apartemen mungil di daerah Nagai, Osaka jadi pilihannya. Kenapa Nagai? Kenapa harus didaerah terpencil, bahkan butuh 30 menit dari Shin Osaka ke sini menjadi pilihan tiga orang perempuan asal Tangerang Selatan? Sampai hari ini masih misteri buat kami semua. Mungkin karena masing-masing kami lelah bekerja dan mencari opsi lain bukanlah pilihan. Harga bagus, apartemen tradisional dengan tatami, host menyenangkan, dekat dengan stasiun JR dan banyak lagi alasan lainnya yang membuat pilihan tinggal di Hossy Apartemen adalah keputusan dewa langit Jepang. (Sayangnya kita enggak sempet foto di appartemen Hossy, padahal bentuknya seperti kamar Nobita sekali. munil tapi Jepang pisan!)

30 menit dari Shin Osaka, 3 Jam dari Tokyo. Jadi butuh tambahan waktu tiga setengah jam buat kami sampai di tempat tinggal pertama kami di Jepang. Setelah tujuh jam penerbangan dari Soekarno Hatta ke Haneda.

Kami sendiri sampai Haneda pukul 9.45 pagi (Jepang 2 jam lebih cepat dari Jakarta). Sesampainya di Jepang, jelas, kami enggak bisa langsung naik kereta di Osaka, karena harus lewat imigrasi, nunggu bagasi, tuker JR Pass, dan yang pasti nyasar! Dengan energy seadanya setelah tidur enggak maksimal di pesawat (siapa sih yang bisa tidur nyenyak di pesawat?) dan juga berbekal perut yang setengah diisi sama menu sarapan Bubur dari Garuda yang rasanya cukup aneh (yap! Garuda, you have some flaws in your breakfast menu. "Pagi mbak, breakfast untuk pagi ini ada Omelet dan Bubur tapi Omelet kami baru saja habis, jadi bubur aja ya gakpapa," ujar embak-embak mugari yang langsung membuka meja dan menyiapkan sarapan saat mata saya masih setengah tertutup sleep mask), jelas saja kalau kami banyak miss-informasi dan kebingungan saat harus ke Shinagawa Station, sambil membawa bagasi kami yang luar biasa.
Originally the first picture taken in Japan. Lokasi, Haneda Station, lagi nunggu kereta ke Hamamatsucho. 
Dari Haneda Station, kami harus ke Hamamatsusho Station untuk berganti kereta menuju Shinagawa Station. kenapa Shinagawa? kata Susan, stasiun itu yang direkomendasikan oleh mbak-mbak JR nya, karena dianggap sebagai stasiun terdekat dari Haneda untuk naik Shinkansen menuju Osaka. Well, tapi, tau apa mbaknya soal jarak dan waktu. Karena, yang terjadi adalah, kami salah naik kereta di Hamamatsucho. Lebih tepatnya salah nunggu peron. Yang terjadi kami ujung-ujungnya nyampe di Tokyo Station, yang dimana jaraknya menjauhi Shinagawa Station.
Bahagia, padahal salah stasiun. Ini foto diambil di stasiun Tokyo. Stasiun salah pertama setelah landing di Jepang.

Kedinginan, tanpa pengetahuan or whatsoever. Yang kami tahu, kami harus ke Shinagawa, karena kami juga sudah memesan tempat duduk. Akhirnya, kami kembali turun ke stasiun, tanya ke mbak dan mas JR, peron mana yang bisa membawa kami ke Shinagawa Station. Dan tepat pukul 11.45 am, kami sampai di Shinagawa Station dan menunggu kereta Shinkansen kami menuju Osaka. Kereta Hikari 574 adalah nama kereta yang tertera di tiket JR kami. Sambil memegang bekal bento dan minuman dari vending machine, kami menunggu di peron yang sudah ditunjukkan oleh petugas JR di Shinagawa. Jadi, pasti sudah enggak akan salah lagi dong!  Baru, beberapa menit mengantri, sebuah kereta peluru sampai dan berhenti dihadapan kami. Dalam hati, "wah, keren banget, kereta ini dateng lebih cepet dari perkiraan jam yang ada di tiket!". Takjub dengan bentuk kereta yang beroperasi, kami pun langsung naik dan mencari seat yang sudah kami pesan tadi. Ternyata, seat kami sudah di duduki oleh tiga orang bule. Susan yang ada di depan dengan sigap menegur turis asing itu dan bilang
"Excuse me, i think you are in our seat," ujar Susan.
"Oh, no, its our seat. Let me see your ticket," balas si Bule.
Dengan humble tapi stay cool, Susan nunjukkin tiga tiket Shinkansen yang dipegangnya. Saya, perempuan berkerudung dengan wajah superasiatenggara, yang berdiri paling belakang pun enggak kalah cool.
"I'm sorry, i think you are in a wrong train. This is Nozomi not Hikari," ujar si bule.
Say What?
Mendengar kata-kata "wrong train", reaksi pertama saya adalah berlari menuju pintu keluar kereta. Seorang bapak-bapak Jepang yang lagi berusaha meletakkan bagasinya ke atas tempat duduknya terpaksa kena semprot "excuse me" dan "samimasen". Jaraknya tinggal sejengkal lagi dari langkah kaki saya dan, zleb, pintu kereta Shinkansen Nozomi secara otomatis tertutup di depan wajah kami.
Pelajaran pertama tentang Shinkansen: Kereta ini hanya berhenti kurang dari dua menit di tiap stasiun. Mereka selalu on-time, tidak pernah terlambat dan tidak pernah kecepetan!
Dan, lagi-lagi, tiga orang perempuan asal Tangerang Selatan, untuk kedua kalinya, salah naik kereta di Jepang, dalam kurun waktu kurang dari 3 jam setelah ketiganya landing di Jepang.

Beberapa menit kereta jalan, seorang petugas kereta yang hendak ngecek tiket penumpang melewati kami yang sedang berdiri di depan pintu kereta. Bingung, lelah, dan capek terus-terusan salah naik kereta. Si mas-nya pun mumbling dengan bahasa Jepang, kami dengan gontai menunjukkan tiket kami.
"Ohh, wrong train," ujar dia sambil menunjukkan ekspresi paham.
Yeah, we know!
Dia pun mengembalikan tiket kami, lalu pergi entah kemana, dan kembali membawa kertas putih. Idih, mampus banget kalau kita harus bayar kereta ini. Karena, FYI aja, sebenarnya semua kereta shinkansen dicover sama JR Pass kecuali kereta Nozomi dan Mizuho. Kenapa? enggak paham juga saya, padahal dari segi harga mah sama aja, sama-sama mahal. 1,5 juta sekali jalan! Jadi kebayang dong horornya saat kita pikir dia mau nge-charge kita.

Tapi ternyata yang tertera di kertas putih itu adalah sebuah tulisan, yang bertuliskan HIKARI dalam huruf Katakana beserta jam kedatangannya. "Down in Shin-Yokohama. This time, the Hikari train will come," ujar si mas-nya dengan broken english, dan baik banget, pria Jepang dengan kulit pucat langsat berkacamata. Dia pahlawan pertama di perjalanan kami (percayalah, ada lebih dari satu pahlawan di perjalanan ini). Enggak sampai lima menit, kami sampai di Shin Yokohama, begitu pintu terbuka, kami langsung melompat turun. Dan seperti biasa, enggak sampai 2 menit, kereta ini langsung jalan lagi. Dan saat kereta jalan, di ujung belakang kereta, muka si mas-mas Japun menyembul dari luar jendela dan melambaikan tangannya ke arah kami. Kami pun membalas lambaiannya dan teriak "Arigatou" dan sukses menarik perhatian orang-orang Nippon di sekitar kami.

Di Shin Yokohama, akibat salah naik kereta kedua. Daripada bete nunggu mending foto-foto sambil ngangetin wajah!

Yak, bayangin aja, dua kali salah naik kereta sambil bawa beginian!
Enggak lama (ya, memang di Jepang apa-apa cepet banget. Jarak antar satu kereta dengan kereta lainnya paling cuman 10 menit), kereta Hikari 574 kami sampai. Sebelum naik, kami memastikan huruf katakana yang ada di depan pintu kereta sama persis dengan yang di tulis mas-mas Nozomi tadi. Dan bener aja, seat kami yang begitu berharga ternyata enggak ada yang dudukin. Kali ini kami siap menuju Osaka! Fuuhh, alhamdulilah!

Trip To Fuji by Some Guy From Internet


Satu hal yang paling bikin saya addict saya travelling sendiri tanpa tour guide karena saya bisa dengan sesuka hati menentukan destinasi yang pengen saya tuju tanpa terpaut waktu yang ditentukan saya mas-mas tukang turnya. Selain itu, spirit Carpe Diem saya yang tinggi juga membuat saya merasa bisa menjelajahi negeri apapun selama bisa akses Internet. Mehehe. Maklum, Carpe Diem Millenial soalnya, jadi enggak bisa jauh-jauh dari internet!

Any way, salah satu hal yang membuat perjalanan ke Jepang kali ini super sekali karena saya merencanakan kunjungan ke dua tempat yang makan waktu di jalan dan syulit untuk esekusi tanpa perencanaan yang matang. Saya merencanakan kunjungan ke Kawaguchiko untuk lihat gunung Fuji dan juga Desa Shirakawago! Ambisius memang. Tapi berdasarkan riset yang cukup mengambang (enggak bisa bilang mendalam, karena pada kenyataannya saya banyak miss kalkulasi waktu dan jarak yang berakibat fatal. Sefatal apa? Baca terus ya sampe bawah!) saya lakukan dua minggu sebelum keberangkatan, saya merasa melakukan kunjungan ke dua tempat ini bukanlah perkara mustahil.

Karena lokasi tinggal kami dibagi menjadi dua, Osaka dan Tokyo, jadi menurut akan lebih bijak kalau dua lokasi ini dibagi disaat kami berada di dua tempat tinggal yang berbeda. Jadi, hari ketiga kami di Osaka, saya jadwalkan sebuah perjalanan ke Fuji. Menurut penulusuran saya di Google dengan menggunakan keywords: "Osaka to Fuji by JR Pass" ditemukan sebuah jawaban praktis dari warganet di Japan-Guide (at first, i think, reading those thing already convince me that i am able to do this, i mean, read it from Japan Guide, how could it be go wrong!):
1) take the Haruka Limited express from the airport to Shin-Osaka Station (fully covered, 50 minutes, 2 trains per hour)

2) take a hikari train on the Tokaido Shinkansen from Shin-Osaka to Mishima Station (fully covered, 2 hours by direct hikari, 1 direct train every 2 hours, a transfer is required otherwise)

3) take a local train on the JR Tokaido Line from Mishima to Numazu (fully covered, 5 minutes)

4) take a local train on the JR Gotemba Line from Numazu to Gotemba (fully covered, 30 minutes)

5) Take a Fujikyu bus from Gotemba Station to Kawaguchiko (1 hour, 1470 yen, not covered by Japan Rail Pass, 1-2 buses per hour)
Karena riset yang cukup sebentar, saya anggap ini adalah cara terbaik dan terhebat dan terdahsyat yang ada di internet. Tanpa saya sadari kalau postingan ini di publish tahun 2008. Yap! Saya pakai cara Sembilan tahun yang lalu untuk menuju Kawaguchiko dari Osaka. Sembilan tahun yang lalu, Obama masih jadi Presiden Amerika, SBY masih tergolong ke dalam kelompok musisi produktif yang menelurkan album musik kebanggaan negeri (well, not really), dan yang pasti sembilan tahun yang lalu berat badan saya bahkan masih kisaran 7 - 49 kilo, gigi masih tonggos, dan ke kampus naik motor sambil nenteng laptop yang beratnya lebih dari tiga kilo. Jadi, ketika dua teman saya mengatakan "kok lama banget ya perjalanan ke Fuji" itu bukan salah perjalanannya, tapi salah jalur yang diambil. Bayangin aja kita pakai cara sembilan tahun yang lalu, man.





even our trip take longer time than others, but the view from Gotemba to Kawaguchiko Station is beyond words!

Worth the time and pain. Mount Fuji from Kawaguchiko. So glad i did this with these two!  

Any way, walaupun total perjalanan yang awalnya saya prediksikan hanya 4 jam jadi 7 jam ini, tapi kami tetap sampai Kawaguchiko. Kesorean sih, tapi Allah Maha Baik, matahari bersinar terang banget. Susan yang udah dua kali ke tempat ini aja enggak pernah dapet pemandangan Fuji sesempurna kunjungan kami. Dan karena kami datengnya juga udah mepet, mataharinya juga udah tinggal seadanya, jadi kami semaksimal mungkin gunakan waktu untuk foto-foto. Hasilnya? Yak bisa dilihat di Instgram kami. Sekadar preview, berikut hasil-hasil foto yang berhasil di capture kang foto idola Alam Sutera @aprillpril dari kamera Fuji XT-nya: 
Kami nyampe lokasi udah jam 3 lewat, dua jam foto-foto sambil menahan udara dingin yang ampun-ampunan (di foto keliatan selow padahal ujung jari udah pada kebas, pas di check di accuweather temperatur Kawaguchiko sore itu mencapai 2 derajat selsius!)

Hari makin sore, matahari makin ngilang, Fuji juga makin gelap dan dingin menusuk. Ini saatnya untuk pulang. Setidaknya itulah yang Susan yakini. Tapi saat kami datang, Kawaguchiko sedang ada festival musim kemarau. Enggak ada yang spesial sih, cuman ada tenda makanan aja. Pas liat jam di handphone (yang udah mati-nyala-terus mati lagi.. pff, gadget aja menyerah sama udaranya!) juga masih berkisar jam 5 sore, bus terakhir ke Gotemba masih jam 18.30, jadi saya pikir ya bisa kali setengah jam main di sini dulu.
Ini festival yang ada di sepanjang Lake Kawaguchiko

Banyak stan makanan lucu-lucu khas Jepang

Udon, Long Fries, dan Mochi Bakar. Semuanya enak karena laper dan dingin.

Dan, itulah yang kami lakukan. Cari makanan, menghangatkan diri. Dan kurang dari setengah jam, kami udah siap-siap menuju Kawaguchiko Station untuk pulang ke Osaka. At least, that what's in mind. Ternyata bus dari Kawaguchiko menuju Kawaguchiko Station itu telat karena banyak festival sejenis di sepanjang pinggiran Lake Kawaguchiko yang bikin macet. Kami pun sampai di Kawaguchiko Station jam enam lewat.

Dan pada momen itu, saya, sama sekali enggak tahu hal buruk apa yang akan terjadi. Di otak saya, kami on time, on schedule. Sedangkan Susanti Putri udah ngasih tahu kalau sebaiknya kita naik kereta apapun menuju Odawara atau Tokyo dan keluar dari kawasan Kawaguchiko. Sedangkan otak Padang saya yang ekonomis berpikir, "kenapa kita mesti buang tiket PP Gotemba - Kawaguchiko - Gotemba sih, ini kan udah pilihan paling mursidah harta dan cara pulang paling bener!", at least thats what my mind keep telling me.

I'm pretty sure our money mostly spent for food. Baru nyampe gotemba Station, jelas-jelas udah kemaleman. Tetep aja nyari makanan lagi! Ini di Subway gotemba, kita makan sandwhich dulu!

Setelah diperdebatkan, akhirnya kita tetep pulang dengan bus Gotemba yang udah kelewat dan nunggu bus lainnya. Dan, ternyata, (o my God, guys, i still can feel how my nerve breakdown when the truth hit me!), sesampainya kami di Gotemba sudah pukul delapan malam. Rencananya kami harus naik Shinkansen dari Mishima Station menuju Osaka. Dan berpiraan perjalanan adalah 30 menit dari Gotemba ke Mishima. Waktu tempuh yang cukup reasonable. Dan, ditengah perjalanan, saya mau cek jadwal Shinkansen dari Mishima ke Osaka. Dari situ saya melihat kenyataan.
KERETA SHINKANSEN TERAKHIR DARI MISHIMA STATION KE OSAKA BERANGKAT 10 MENIT LAGI.
And when i said the last, it really the last transportation to Osaka. Enggak ada Kereta, Bus, atau apapun setelah pukul 8.24 pm menuju Osaka. Enggak cuman Mishima, kami juga ngecek ke Shizuoka, Nagoya, nothing! Rekomendasi Google adalah berangkat jam 6 pagi dari station Nagoya untuk pulang ke Osaka. Saat menyadari hal itu, saya bisa merasakan seluruh aliran darah saya meninggalkan otak, otak mengaktifkan tombol panic attack, sistem syaraf otak yang lagi menjalani "Travelling Zone, Let Get Lost" berganti jadi "You Lost Maderfaker, Lets Panic!", bendungan air mata yang hampir kering kareng udah lama enggak nangis mendapat instruksi untuk mempersiapkan diri untuk melengkapi nervous break down. Dahi Mengerinyit, senyum di bibir menjadi mengerut, mendadak di atas kepala saya ada awan hitam beserta petir dan puting beliungnya. Saya panik, takut, dan mentally udah siap untuk making  a scene in the train. Sambil menatap kedua wajah teman saya bergantian, saya bilang ke mereka,
"O My God, guys, we are officially lost!" ujar saya dengan nada suara bergetar siap nangis. (In the next passage, what you will read is the simplifies version of our conversation! Because, its too emotional damaging for me to write them all, even to remembering it actually cost me pain. Yes, i am that fucked up!)
Susan dan April masih melihat handphone saya yang menunjukkan jadwal shinkansen dari laman Google Maps.
Susan dengan santai mengatakan "Oh... coba lihat kalau shinkansen ke Tokyo masih ada enggak," ujar Susan.
April yang enggak kalau stay cool langsung ngetik rute baru ke Tokyo. Shinkansen dari Mishima menuju Tokyo masih ada sampai jam 9 malam."Masih ada nih sampai jam 9", jawab April.
"Yaudah kita ke Tokyo aja yuk!" balas Susan dengan senyuman.
DENGAN SENYUMAN! HOW COME!
"Kita enggak ada tempat tinggal guys di Tokyo!" ujar saya dengan nada oktaf tinggi, menunjukkan tingkat stress yang lagi terjadi di otak saya. Saya bisa merasakan darah saya kembali turun saat saya bilang 'kita enggak ada tempat tinggal di Tokyo'
"Yaudah, kita jalan-jalan aja di Tokyo, terus istirahat di Tokyo Station sambil nunggu Shinkansen pertama ke Osaka," ujar Susan.
"Serius?" jawab saya dengan keraguan super dewa.
"Mau gimana lagi?"
"Eh, wait, stasiun Tokyo itu ditutup kalau kereta Shinkansen terakhir udah lewat!" ujar April yang sekarang udah mulai mencari alternatif lain di handphonenya.
"Oh, ya, gak bisa ya. Yaudah atau enggak coba stay di Ibis Shinjuku aja," lagi, Susan menjawab dengan santai.
"Kita baru bisa masuk Ibis Shinjuku tuh besok. Enggak bisa diganti jadi malem ini," sekarang saya menjawab dengan nada yang luar biasa frustasi.
"Iyaudah, gakpapa besok tetep nginep di Shinjuku aja, lagian itu kan complimentary, malem ini kita bayar aja!" ujar Susan kembali stay cool as cucumber.
"Coba ya gue cek pakai Accor gue bisa enggak" timpal April.
"Coba di book, Pril," balas Susan.
"Harganya 19 ribu yen, sekitar mepet 2 juta lah kalau di rupiahin,"
"Yaudah coba di book bisa enggak,"
"Yes, bisa!"
"Tuh, udah ya, kita ada tempat tinggal di Tokyo!" ungkap Susan ke wajah saya.
And that's it. The problem solved? I feel weird. Lot of weirdness happen in my mind.
Susan, kayak bisa nangkep kalau pikiran saya masih berada di Limbo of Panic-ness. "Makanya, kalau Susan bilang waktunya pulang tuh pulang! Malah jajan-jajan dulu!" ungkapnya sambil tertawa. "Lagian, gue udah feeling sih kita tuh emang kalau pulang harus ke Tokyo dulu kalau dari Fuji! Harusnya gue enggak membiarkan lo beli tiket ke Gotemba itu sih, hmmm" tambahnya.

Sampai Shinjuku with less than two hours. Tebak hal pertama yang kami lakukan di sini? That's right! Makan maning. Kali ini rice bowl-nya Yoshinoya. April dan Susan yang makan, that night i'm too depressed to even think about food! hff
Malam itu, kita beneran tidur di Ibis Shinjuku. Tanpa bawa baju ganti atau perlengkapan mandi apapun. Cuman bawa badan aja. Waktu itu masih pukul 10 malam, tapi kami bertiga udah mentally tired untuk kembali jelajah kota. Teman saya yang saya ajak bicara soal semangka kotak empat tahun yang lalu menghardik saya via DM Instagram "Parah banget! Ke Jepang enggak kasih tau gue!". Parahan mana selama empat tahun temenan baru sekarang nanyain kabar saya! Tapi saya udah enggak punya tenaga untuk berantem. Saya curhat kalau saya baru aja ketinggalan shinkansen dan jawaban dia cuman ketawa aja, dan bilang "Lagian ide banget ke Fuji dari Osaka. Itu perjalanannya kan jauh banget tahu!". Saya mengiyakan kata-katanya. Sebelum tidur, saya kembali membuka Google dengan keywords "Osaka to Kawaguchiko by JRPASS". Kali ini saya mendapatkan jawaban yang beda dari Google. Kebanyakan dari mereka mengatakan kalau perjalanan dari Osaka ke Fuji itu sangat tidak disarankan. Ini salah satu contoh jawabannya dari Tripadvisory:

I recommend you visit Kawaguchiko from Tokyo as it is far closer than Osaka. For Kawaguchiko the JR Pass will take you as far as Otsuki station. From here you will need to use the non-JR Fujikyu lines up to Kawaguchiko itself. Here's a sample itinerary from Osaka to Kawaguchiko. You can see it will take 361mins from Osaka. From Tokyo the same trip will take 183m.
Oh, i wish i read this page sooner. And there i sleep, with complete regret in my mind. And then i realized, holyfuck, we only spent three days in Japan. Masih banyak hari untuk dijelajahi! Ayok, semangat lagi Gita. Pagi harinya, that's exactly what i feel, Inspired and excited!  

Mau tahu kelanjutan perjalanan kami selama di Jepang kayak apa? Di share atau di komen yaa postingan ini. Biar si Gita makin semangat lanjut nulisnya (ih gitu! Padahal gemes aja, pengen cepet-cepet di publish cerita bagian ini), hehe.



Share
Tweet
Pin
Share
1 comments
taken by my supertalented friend: Deasy Aprilputri Natalia

Susah tahu dapet visa ke Jepang!
Apa-apa di Jepang tuh serba MAHAL!
Orang-orangnya kan pada cuek banget di sana, susah bahasa Inggris lagi!
Duh, makanan Jepang tuh semuanya mengandung babi! Bakalan susah makan lho!

Iya deh iya!
Ada aja lah pokoknya komentar dari kerabat kerja, keluarga, bahkan netizen, setiap saya kedengeran mau jalan kemana. Seneng dengernya. Walaupun belum tentu semuanya benar. Tapi unwanted comment jenis ini selalu seru untuk didengarkan. Lewat postingan ini (yang saya tulis sambil colong-colong waktu istirahat kerja), saya pengen mempreteli mitos-mitos SUSAH, SULIT, MAHAL, travelling ke Jepang.

1. Visa Waiver Jepang
Memang betul, bikin Visa ke Jepang itu cukup ribet dan makan waktu... bagi kalian yang masih pengguna passport lama. Kebetulan banget, passport lama saya bulan April 2018 akan habis, dan saat saya hendak jalan ke Jepang di bulan November, otomatis saya memang sudah waktunya perpanjang passport. Instead of, perpanjang passport lama, saya memilih untuk membuat e-passport. 
Kesadaaran untuk membuat e-passport sebenarnya sudah terbesit sejak enam bulan sebelum keberangkatan. Entah karena malas yang terlalu atau mungkin karena keburu horror duluan mengingat pengalaman teman saya membuat e-passport di Bandara Soekarno Hatta harus nunggu antrian dari jam 3 pagi, alhasil saya terus menunda membuat e-pass. Sampai H-30 keberangkatan. Sekitar di akhir bulan September, saya akhirnya ngulik-ngulik, cari tahu, bagaimana dan dimana saja saya bisa membuat e-passport. Syukur Alhamdulilah banget, di DKI Jakarta bisa bikin e-passport dengan pengambilan antrian lewat whatsapp. Iyes, whatsapp! Dari berita yang diturunkan oleh banyak media di bulan Agustus, dikabarkan kalau kantor imigrasi daerah DKI Jakarta sudah menyediakan nomor whatsapp khusus untuk perpanjang dan pembuatan passport baru. 
Setengah percaya dan enggak, tapi saya ngerasa udah enggak ada waktu untuk skeptis. Kondisinya waktu itu saya juga baru diterima di kantor baru, jadi enggak mungkin juga saya ijin satu hari dari pagi subuh buta untuk bikin e-passport di Cengkareng. Nggak mungkin, pokoknya itu mustahil banget! Dalam hati, kalau memang cari ini berhasil berarti Allah memang mengizinkan saya ke Jepang. Kalau enggak, ya, mungkin tiket hasil ngantri di Garuda Travel Fair kemaren memang harus dibuang untuk jadi pelajaran hidup di kemudian hari. Ternyata eh ternyata, everything goes flawlessly. 

tahapan dari kiri ke kanan yaa

Caranya, save dulu nomor Imigrasi Jakarta Pusat, lalu hubungi mereka lewat Whatsapp dengan menuliskan #NamaDepan #TanggalLahir #TanggalRencanaPembuatanPassport. Dan seperti yang tertera di atas, saya mencoba daftar untuk pembuatan di tanggal 3 Oktober. Dan balasannya enggak sampai 5 menit. Dan seperti yang dilihat, kalau tanggal segitu pihak Imigrasi Jakarta Pusat sudah kehabisan kuota pelayanan. Mereka juga langsung memberikan rekomendasi tanggal kedatangan.

Habis itu, tinggal tulis lagi #NamaDepan #TanggalLahir #TanggalKedatanganRekomendasi. Dan seperti yang terlihat di panel tengah, mereka langsung memberikan kode konfirmasi data diri. Copy nomor konfirmasi, dan mereka akan mengirimkan kode booking pembuatan e-passport beserta jam kedatangannya (usahakan on time ya!).

Pas, hari H, saya datang on time jam 10.00 di Imigrasi Jakarta Pusat. Saya udah cukup takut karena di depan counter lantai dasar udah ada antrian. Ternyata itu antrian yang belum daftar via whatsapp. Saya dan teman saya yang sudah punya kode booking, langsung diberikan nomor antrian interview dan foto beserta berkas yang harus diisi (jangan lupa bilang ke petugas kalau Anda ingin membuat e-passport yaa! Kalau lupa, bisa bilang pas sama pewawancara juga kok!). Saya wow banget karena semua selesai kurang dari satu jam. Sekitar jam 10.45 saya dan teman saya sudah selesai foto, interview. Kami diberi tahunkan untuk Whatsapp nomor baru khusus bagian pembayaran beserta kertas putih berisi kode data passport kami (kertas putih ini juga sangat penting saat pengambilan passport, jadi jaga baik-baik ya. Jangan sampai hilang!).

proses pembayaran butuh 1x24 jam setelah interview dan Passport jadi setelah 5 hari kerja setelah pembayaran.

Ribet sih mesti masukin nomor Whatsapp baru untuk bayar doang. Tapi percayalah, untuk anak yang males gerak dan males ngantri, menurut saya ini cara paling mutakhir untuk membuat e-passport. Cukup simpan nomor yang ada di kertas putih ke Whatsapp nomor pembayaran. Nanti dia akan membalas kode pembayaran yang harus ditulis saat transfer via bank. Dan selanjutnya dia akan memberikan tata cara pembayaran, beserta link Youtube mengenai tutorialnya. Setelah transfer, simpan bukti transfer dan rekatkan dengan si kertas putih yang diberikan setelah interview. Lalu sekitar seminggu (5 hari kerja) mereka akan otomatis memberitahu kapan passport sudah diambil.

Total pembayaran untuk e-passport sebesar Rp 655.000. Angka itu enggak perlu dimasukin kok, pas masukin kode pembayaran saat transfer, dia akan muncul angka dan jenis passport yang dibuat. Emang banyak nunggu sih, tapi menurut saya, untuk bikin e-passport sebulan sebelum keberangkatan ini cara paling simpel, nyaman, dan enggak deg-degan. 
Saya dan teman saya, setelah keluar e-passport, kita langsung menuju Lotte Shopping Avenue, ke VFS Global untuk proses pembuatan Visa Waiver yang enggak kalah cepet dan gampang. 
Patut diingat: VFS emang ada Kuningan City juga, tapi itu untuk visa Australia dan London. Di Lotte Shopping Avenue khusus untuk visa Jepang.
Seperti yang udah digembar-gemborin sejak 2014 sama kedutaan Jepang kalau mereka sudah mengeluarkan Visa Waiver bagi turis Indonesia yang sudah punya e-passport. Visa Waiver bisa didapatkan secara gratis alias enggak bayar kalau kita ngurus langsung ke Keduataan Jepang. Mengingat waktu itu saya cuman punya H-14 sebelum keberangkatan, jadi saya rasa bantuan VFS sangat diperlukan. Untuk membuat Visa Waiver, VFS memberikan uang administrasi sebesar Rp. 113.000 per orang. Visa Waiver bisa diambil 5 hari kerja juga (duh, deg-degan yaa)! Mereka biasanya kirim via email, kalau passport dan Visa Waiver sudah bisa diambil. Kasus saya, cuman 4 hari kerja sudah dapet email dari VFS kalau passport berstiker Waiver sudah bisa diambil. Alhamdulilah! Bahagia!

Dan Visa Waiver ini berlaku 3 tahun dengan maksimal tinggal di Jepang 15 hari. Jadi, kalau buat teman-teman yang baru ada segurat niat ke Jepang tapi belum punya tiket ke sana, mending dicicil bikin e-passport dulu aja. Terus lanjut bikin Waiver. Kalau udah ada passport dan waivernya, pasti perasaan berat beli tiket ke Jepang akan lebih ringan pas ngantri tiket di Travel Fair. Hehehe.

2. Jepang itu Murah Kalau Cermat
Oke, perkara passport dan visa udah clear kan ya! Sekarang mari patahkan asumsi kalau Jepang itu mahal. Well, emang enggak semurah Jakarta sih (apalagi semurah Jogja), tapi kalau kalian tipe orang yang bosen dikit ke Singapura atau kalau suka banget ke Thailand buat belanja barang-barang lucu murah, lah ya Jepang juga sama aja! 
Namun, saya akui, biaya transportasi Jepang itu MAHAL. Terus gimana dong? Ya, kalau pengen aman sih beli JR Pass. Menurut saya itu udah pilihan ekonomis bagi kalian yang emang niatnya mau eksplore Jepang dari west sampai east (saya banget tuh!). Kalau enggak mau keluar 3,5 juta tapi mau keluar-luar kota, ada cara sedikit lebih hematnya. Pertama tentuin kalian mau main ke daerah mana aja. JR West: Osaka, Kyoto, Shizuoka, Tokyo. JR East: Ueno, Shinagawa, Ueno, Toyama, Kanazawa. Di HIS Travel, jual kok JR Area Pass dengan harga yang enggak nyampe 3 juta. Bahkan bisa pilih berapa harinya. Mulai dari 1,9 sampai 2,9 juta harganya. 

Esensial dalam perjalan. Pocket Wifi wajib banget bawa karena Jepang salah satu negara yang cukup pelit ngasih wifi gratis. Saran: passpod.id. Murah, cepet, tahan lama.

Karena kemarin adalah kunjungan pertama saya, dan saya juga mau perginya ke kota-kota yang jauh dari mana-mana jadi saya rasa JR Pass udah pilihan yang pas. Bayangin aja, satu hari saya bisa naik 2 kali shin-kansen. Entah itu Osaka-Kyoto, Osaka-Shizuoka, atau Osaka-Tokyo. Karena, shinkansen cepet banget kalau kita naik bus atau pakai travel, yang ada kita ngabisin waktu banyak di jalan. Tapi, sekali lagi, pilihan di teman-teman lagi sih. menurut saya, 3,5 juta untuk 7 hari dengan perjalanan yang saya hitung kalau saya enggak pakai JR Pass bisa lebih dari 5 juta (karena naik shinkansen sekali jalan berkisar 1,5 juta) itu nyaman banget.

Dan untuk keliling kota, setiap stasiun kota itu punya bus dan juga kereta dalam kota yang juga di cover JR Pass. Tapi kalau kaya Kyoto dia udah ada sightseeing bus untuk one day pass (rata-rata semua kota udah pada punya sightseeing bus one day pass kok, even kota Gotemba aja punya! Kesadaran pariwisata mereka emang udah rata banget! Salut). Kalau enggak mau pusing ngeliatin google maps sih, beli tiket-tiket harian ini juga nyaman banget.

Untuk makanan, harga standard lah kaya di mall-mall Jakarta. Kisaran 500 - 800 yen udah makan enak kenyang banget. Cukup besar ya, tapi saya dan teman-teman saya ngakalinnya, kita makan gede yang kenyangnya pas makan malem aja. Makan pagi biasanya saya udah beliin mereka sandwhich dan makan siangnya cemilan aja yang ada di pinggir jalan. Entah karena seru dan udara dingin, dan waktu sinar mataharinya juga pendek, jadi kita juga jarang banget kelaperan.

Dan untuk barang-barang seperti sepatu, jam tangan, dan oleh-oleh, Jepang sih juara murahnya. Jadi, selama ini saya tuh lagi ngincer banget sepatu Huarache Nike Air. Kadang ada kadang enggak ada di Nike GI. Pas di Jepang harganya 11.000 yen which is 1,3 juta belum include potongan tax free 10%. Dih, mahal banget, ternyata pas di Indo emang harganya 1,7juta dan enggak ada diskon atau apa. Parahnya lagi di Indonesia jarang banget ukuran kaki saya. Di Zalora sempat ada Nike Air Huarache, tapi ukurannya paling besar 38. Sekalinya ada ukuran besar sampe 43-45. Jam tangan G-Shock dan Baby G juga murah, perbedaannya bisa sampai 400-500 ribu dan biasanya kalau belanja lebih dari 10ribu yen dapet diskon tax free 8-10%. Love banget kan!! Dan, yang paling hits sih kamera sekali pakai yang lagi nge-tren sama anak-anak kids jaman now. Di Indonesia ada tempat khusus kamera analog jual kamera jenis ini Rp 200.000, di minimini Shinjuku cuman 600 yen atau Rp 72.000. Mursidah harta! Menyesal kenapa enggak beli banyak!

Shibuya surga belanja. Geser dikit ada aja yang bisa dibeli. Ini di toko Onitsuka Tiger, sepatunya rang Jepang yang bentar lagi buka toko di Kuningan.
Toko Adidas di Shibuya lucu pisan. Gemsh!

Eits, tunggu dulu! Jangan gampang tergiur jadi penadah yaa saat belanja di Jepang. Karena tau sendiri kan Bea Cukai kita lagi ketat banget. Seperti yang diketahui bersama, batasan belanja luar negeri per-orang saat pulang ke negara Indonesia raya ini kan cuman bisa sebatas US$250 (atau sekitar 3,5 juta lah). Kalau emang mau beli lebih dari itu, ya, siap kena tax lagi di bea cukai Indonesia. Syukur-syukur kalau enggak ketahuan sih hehe.

Tapi biasanya yang paling sering kena kalau kita belanja barang mewah banget dari luar negeri. Karena, biasanya, nih yaa, dari Bea Cukai Luar Negeri nya udah nandain turis yang belanja barang mewah dan ngabarin ke negera asal mereka. Karena kalau kita pelajari lagi diaturan perpajakan negara, emang barang mewah ada pajaknya sendiri. Jadi, kalau emang di luar negeri udah mampu beli tas LV Lulu Vebrianti, ya bayar pajak untuk masuk ke Indonesia mah harusnya juga mampu lah ya! jangan kayak orang susah lah! hehe.

3. Orang Jepang Individualis, Tapi Informatif
Duh, emang bangsa Jepang ini termasuk bangsa yang bangga dengan budaya dan juga bahasanya. Hasilnya, budayanya terjaga apik dan..... orang-orangnya pun sulit bahasa lain selain Jepang. Chaos? Enggak juga! Sebagai makhluk sosial, ada kata-kata umum yang mereka pahamin kok, kayak "Toilet", "Bus Station", "Water", hal-hal esensial macem itu mereka langsung paham kok. Waktu kunjungan kami ke Arashiyama, google maps saya menggila dan enggak tentu arah. Alhasil saya harus melakukan satu-satunya hal yang semua turis hindari, "talk with the local". Seorang polisi lalu lintas yang tengah berjaga saya ajak bicara. Dengan clue bus station, dan kata Kyoto si polisi paham tapi sulit membalas saya. Dia bergumam dengan bahasa Jepang, sambil memberikan penunjuk arah jalan lurus dan belok kiri. Dia bahkan meminta saya membuka google maps saya dan ikutin jalan yang dia bilang. Sulit dipahami tapi ujung-ujungnya saya sampai di tempat pemberentian bus yang saya maksud tanpa harus bertanya ke orang lokal lainnya.

Hal ini enggak terjadi sekali. Saya dan teman-teman saya kebetulan adalah sekelompok turis sotoy hobi nyasar. Harusnya naik peron 3, tapi kereta masuk di peron 4 di naikin juga. Jadi kadang kesalahan-kesalahan dodol yang gak bermakna gitu deh. Tapi, orang Jepang enggak menghindari kami, apalagi penampilan saya yang begitu mencolok dengan hijab. Mereka tahu betul kalau kita turis. Tapi, kalau kita minta bantuan, mereka antusias membantu sebisa mereka. Enggak jarang mereka menggunakan tulisan di kertas biar enggak salah-salah lagi.

Hari minggu pada pakai baju lengkap olah raga. Mau turnamen kayaknya nih mereka! 

Soal, sikap mereka yang super individualis itu juga saya rasakan selama di sana. Di dalam kereta mereka bahkan ada tanda larang menjawab telfon dan meminta nada dering telfon jadi silent. Mereka jarang kelihatan ngobrol antar sesama mereka. Sesekalinya saya lihat ngobrol adalah anak sekolah di Osaka yang hari Minggu masuk sekolah untuk ekskul baseball (asumsi saya sih gitu!). Tapi, bukan berarti mereka orangnya gak asik. Hossy, pemilik apartemen airbnb kami di Osaka adalah salah satu contoh hidup kalau orang Jepang juga makhluk sosial. Yang sukanya pakai kutek warna-warna dan gelang-gelang spikey, padahal mah lakik. Tapi, ya, orang jenis hossy enggak dominan ditemuin di Jepang. 

4. Halal Food is Only Corner Away
Kalau bicara sulitnya cari makanan halal di luar negeri, saya rasa kesulitan dimana aja hampir sama aja. Mau di Singapura, Thailand, bahkan Bali juga sama susahnya nyari label halal di makanan yang kita makan. Kalau bagi saya sih caranya, jangan terlalu dibikin susah, tapi jangan ngegampangin juga. 
Yang masak dan waiternya orang India Nepal. Karena foto-foto di dindingnya Himalaya gitu! Pengen ajak ngobrol tapi dia juga terbatas bahasa Inggrisnya. 
Hiraukan burger keju yang diatas, punya saya burger mushroom vegetarian khas Shake Shack! Enak banget!!!

Pengertian makanan halal itu kan kalau di dalam makanan itu mengandung daging babi ataupun zat zat terkait lainnya. Nah, kalau saya sih ngatasinnya, selalu pilih menu vegetarian dalam menu, atau pilih makanan yang terpampang nyata enggak mengandung daging. Untuk sarapan saya milih makan roti yang bisa diangetin di microwave, dan makan malem selalu pilih menu vegetarian. Di Ginza NZ saya sempat dapet tempat Curry and Naan yang ada logo halal di depan pintunya. Di Shibuya dan Tokyo juga banyak restoran halal lainnya. Bahkan ada kok aplikasi "Halal Gournet" untuk mecari restoran halal selama di Jepang, mencari mesjid atau tempat solat, dan juga bisa mencari kiblat. Pokoknya udah enggak sebuta itu juga kok Jepang sama budaya muslim.

Apalagi yang mau ditanyain? Disanggah? Hmm, komentar mulu jalannya kapan! Hehehe



Share
Tweet
Pin
Share
No comments



Di usia late 20's ini makin hari makin banyak pertanyaan mendasar yang kian jadi prioritas. Entah kenapa pertanyaan remeh nan sepele kian hari kian jadi momok yang membuat saya mempertanyakan hal-hal fundamental dalam hidup saya. Berlebihan kah?

Kalau sekadar pertanyaan "kapan nikah?" dan "siapa pacar" sih sudah kebal di telinga saya. Karena menurut saya jawabannya enggak ada di tangan saya, seberapa keraspun saya berusaha. Tapi, ketika pertanyaan mengenai karier atau "sibuk apa?" justru sering menjadi bahan renungan saya.

Sempat membantu mengadakan media gathering untuk Halal Guys Indonesia! So fun!

Sekitar akhir April lalu saya memutuskan untuk keluar dari kantor saya. dan memutuskan untuk menjadi full time freelancer social media specialist. And to be honest, it was fun. Saya mendapatkan kesempatan bekerja di luar keseharian saya. Saya mendapatkan kesempatan membantu peluncuran sebuah restoran di Jakarta, saya juga sempat membantu mengelola social media sebuah brand fashion Indonesia, dan juga beberapa kali berksempatan menulis pengalaman travelling saya di sebuah majalah. Dan tanpa adanya ikatan waktu saya jadi bebas jalan-jalan. It was fun and it was great.

Sampai akhirnya saya berada di titik, "mau sampai kapan?"
Salah satu teman saya sempat memberi warning tentang kehidupan freelancer. 

"Git, gue kasih tau ya, jadi freelancer itu enggak seenak kedengerannya. Gue sendiri ngalaminnya sendiri, empat tahun jadi freelancer di Bandung dan kalau dibandingin dengan kehidupan gue sekarang ya jelas lebih enak. Walaupun terikat kontrak dan aturan tapi setidaknya seluruh aspek kehidupan lo di perhatiin sama perusahaan. Lagi pula, mau sampai kapan? Sekarang mungkin lo bisa banyak job dan projek, tapi saat lo udah lebih tua lagi, akan lebih banyak lagi anak-anak socmed yang lebih muda yang mungkin bisa dengan harga yang lebih murah dan dengan kapabilitas yang lebih dari lo. Jadi freelancer, enggak ada promosi dan naik jabatan, yang nentuin berkembang atau enggaknya diri lo sendiri"

Three months ago, his advice is triggering me to do freelance as soon as possible. I mean, your works will be known as yourself not your company. You are you own boss. Tapi ternyata, its hard to be a boss and staff at the same time. Especially when its finally hits financially. 

Sejujurnya semua pekerjaan freelance yang saya lakukan untungnya memberikan benefit yang sepadan. Bahkan dihitung-hitung kadang jumlahnya bisa lebih dari yang saya terima perbulan. Tapi, ketika saya mulai sakit, saya yang harus mulai mengurus semua keperluan dokternya sendiri. Dan ketika musim liburan tiba, saya enggak terima Tunjangan Hari Raya. Sepele, tapi karena dua hal ini saya mempertanyakan kembali kesiapan saya dalam menjadi freelancer. "Is this really for me?"

Pertanyaan tersebut membuat saya mempertanyakan, apa sih yang saya inginkan dalam hidup. Dan dari teman yang sama, saya ingat nasihatnya "coba deh lo gambarin rencana hidup lo selama 1 tahun ke depan. Buat goal-goal apa aja yang mau lo coba achieve selama satu tahun ke depan. Dan, coba capai itu di tiap harinya."

Again, when i heard this stupid advice (who turns out to be right) i feel i am not that kind of person. "Ya ampun, gue kan anaknya Carpe Diem (#anakgals #pameranfotoGFJA) banget. Masak iya gue butuh bikin-bikin gituan." Dan di masa-masa senggang, waktu liburan ke kampung halaman, saya mulai memprojeksikan diri saya. "Mau apa sih Gita?"

First, i am not seeing myself as oneself in one year. I want to see myself further than that. I want to see, who i am and what i want to become. 27 is quite late for this kind of realization, but i need this wake up call. Dan dalam imaji itu, saya masih melihat diri saya berdiri di dekat kaca jendela di sebuah perusahaan dan menjadi pemimpin rapat (you know, the kind of picture you see in thinkstock or gettyimages when you try put a keywords "successful woman"). Dari situ saya sadar, i am belong to the office. 

there she is, looking inspiring and successful


Lalu tahap kedua, karier apa yang ingin saya capai di dunia kerja? Well, since i was really drown deeply in digital content creator/editor/specialist i think its way more easier and make sense for me to find my "new home" to increase that kind of knowledge.

Dan, saya merasa saya tidak ingin pekerjaan baru menjadi terminal sementara, saya ingin karier di rumah baru. Saya ikut membangun rumah tersebut, bukan hanya duduk menunggu di terminal sampai akhirnya tawaran yang lebih baik datang. Dari premise itu, dari dasar pemikiran itu, saya butuh mengadaptasi mind set dan attitude baru ke dalam diri saya.

Saya perlu berubah.

Di awal tahun, saya dan teman saya sempat berkumpul di sebuah resto di bilangan Gading Serpong. Salah satu teman saya yang memang "terkenal" memiliki "six sense" mencoba membaca tanga saya (okay, i dont believe in this bullshit either, but what he about to say to me is make sense to my current mental state of mind). "Garis tangan lo itu garis tangannya orang yang berpetualang banget Git. Lo ngerasa enggak pernah bisa settle dengan apapun yang lo punya. Dan ini bukan hanya di karier tapi juga percintaan. Kalaupun lo ingin berubah, itu butuh perubahan yang besar. Dan itu semua tergantung  dari diri lo."

Di luar hasil ramalan absurd yang meragukan tersebut, saya juga ingat sebuah ayat yang mengatakan "Tidak akan Allah mengubah nasib suatu kaum jika tidak kaum itu sendiri apa yang ada di diri mereka." 

Dan sejak satu tahun yang lalu, saya tahu apa yang perlu saya lakukan, tapi selalu saya ragu untuk lakukan. I know who i am and i know what cost it will affect me, towards my attitude and my style. Semakin hari, saya menemukan semakin sedikit alasan untuk tidak melakukannya. Dan, sepenuhnya hal ini hanya bisa dilakukan jika memang datang dari diri saya, keluarga saya sudah mencoba untuk melakukannya selama beberapa tahun terakhir, and it never feels so right. Until, it is right!



Di hari pertama saya kembali bekerja, saya memutuskan mengadaptasi semangat baru dan mencoba mengontrol diri saya dengan mengenakan hijab. Saya sadar bagi banyak orang, keputusan hijab bukanlah keputusan besar. Tapi, ini besar, untuk saya. Saya ingin, ketika saya berhijab, bukanlah keputusan sesaat yang bisa saya anggap sepele. Semua hal yang tidak saya sukai dari stereotype perempuan berhijab. Contohnya, saya rasa pemikiran saya akan tetap berada di jalur liberal. Hijab saya tidak akan menutup rasa skeptis saya terhadap apapun. 

It purely because this is what i believe and this is the change that i need. 

With this post, i dont need, some kind of "applause" or "affirmation" from you (because i know, my closest friend will read this anyway, and i know it dearly, some of them will not fully support it. And i am fine with that. Because two years ago, i will not support this kind of chage as well). I just feel this is the right way to do it, and hopefully this post will help you understand why i am doing this (setidaknya menjawab pertanyaan "kenapa" saat saya ketemu teman-teman lagi).


And, for a guy who has gave an advance advice since four or three months ago but it still not stopping me to quit from my job, and  i can sense you feel ignored and annoyed by that. You know i will not say it to your face. And with this post i want to admit, "YOU ARE RIGHT!"
Share
Tweet
Pin
Share
1 comments

Mungkin banyak yang tidak tahu kalau Sumatera Barat memiliki pemandangan alam yang indah. Area pegunungan dan bukit yang indah, kepulauan di Pesisir Selatan Painan yang menawan, dan beragam danau yang memukau mulai dari Singkarak sampai Solok. Dan libur lebaran kemarin saya berkesempatan mengunjungi beberapa tempat di Sumatera Barat yang menurut saya bisa memuaskan para pencari "likes" di Instagram.

1. Pantai Carocok - Pesisir Selatan Painan
Pantai Carocok ini biasanya memiliki beragam aktivitas seperti banana boat atau sekarang bermain di pantai saat liburan

Di pesisir selatan dari Sumatera Barat terdapat garis pantai yang indah. Dari sini pula Anda mendapatkan akses untuk menyebrang ke pulau-pulau yang ada di Sumatera Barat mulai dari pulau Cibudak, pulau Siberut, pulau Sikuai, pulau Mentawai, dan masih banyak lagi lainnya.
Untuk mengunjungi pesisir Selatan ini butuh waktu kurang lebih 2 jam perjalanan dari bandara Minangkabau. Itupun karena supir yang kami sewa membawa mobilnya cukup ngebut dan jalanan masih kosong, jadi jika Anda berencana menyewa mobil sendiri di waktu liburan mungkin siapkan waktu 4-5 jam. Itu baru sampai ke daerah Pesisir Selatan, untuk berkunjung ke daerah kepulauan Anda masih butuh beberapa jam lagi dengan kapal kayu.
bukit Langkisau memperlihatkan pemandangan pantai pesisir Selatan

Tapi jarak tempuh dan kendaraan tiap pulau berbeda-beda. Seperti Pulau Cingkuak yang lokasinya hanya 200 meter dari pantai Carock dan bisa dikunjungi dengan menyebrangi jembatan. Tapi jika Anda ingin mengunjungi tempat yang jauh lebih indah seperti pulau Mentawai, pastikan Anda menyediakan waktu satu hari karena waktu penyebrangan dari pesisir selatan menuju pulau mentawai bisa memakan waktu 7 jam dengan menggunakan kapal besar. Yap, pulau itu cukup jauh!
Sedangkan bukit Mandeh memiliki pemandangan kepulauan yang ada di sebrang pulau Sumatera Barat
Tapi, jika Anda seperti saya, yang tidak terlalu punya banyak waktu tapi tetap ingin menikmati suasana pantai dan kepulauan Anda bisa mengunjungi Pantai Carocok. Di atas pantai Carocok ada bukit Langkisau dimana Anda bisa mendapatkan pemandangan pantai yang cantik. Saya juga sempat mengunjungi bukit Mandeh yang jaraknya sekitar 40 menit dari bukit Langkisau. Dari bukit ini lebih jelas lagi pemandangan kepulauan yang ada di sebrang pulau Sumatera Barat.
Hampir sama dengan tempat wisata kebanyakan, daerah ini memiliki tukang parkir gaib yang tiba-tiba muncul dan hanya mau dibayar Rp 5.000/ mobil.

2. Ngalau Indah - Payakumbuh
Mungkin bagi beberapa orang Ngalau Indah biasa saja, bahkan di daerah lain banyak yang memiliki tempat wisata serupa. Ngalau Indah sebenarnya adalah sebuah goa yang berada di Payakumbuh. Karena letaknya sedikit di atas perbukit membuat area luar dari tempat ini memiliki pemandangan yang luar biasa cantik.
Foto saya di atas pohon, mama memang tukang foto yang jago!

Sebelum sampai di area parkir, terdapat sebuah pohon yang di pasang papan pijak untuk pengunjung menikmati pemandangan jalan raya Bukittinggi - Payakumbuh dari atas. Tidak seperti jalan raya di Jakarta, di sini jalan rayanya dipadati oleh bukit, pegunungan, dan area pesawahan yang asri. Jadi, benar-benar sebuah rekreasi mata.
sempat merinding sih waktu ambil foto ini. Takut handphone saya jatuh! hehe.

Untuk naik ke pohon ini, tiap orang harus membayar Rp 5.000 setiap 10 menit dan maksimal hanya tiga orang yang boleh ada di atas pohon. Dan jujur saja, waktu saya dan adik saya berada di atas sudah cukup bikin deg-degan karena papannya seperti bedenyit-denyit. Mungkin karena saya dan adik saya gerombolan si berat kali ya!


Tapi selain pohon di Ngalau, area wisata utama dari Ngalau Indah adalah area goa alam yang legendaris. Saya kurang paham legenda apa yang ada di balik goa ini, tapi saya akui tempat ini cukup menarik untuk dikunjungi. Terutama bagi And ayang ingin punya foto ala-ala tomb raider. Hehe. Tiket masuk ke goa berkisan Rp 5.000 / orang. Karena saya datang saat bulan puasa jadi tempat ini cukup sepi dan menyenangkan untuk foto-foto. Tapi, kalau sudah masuk waktu liburan, sepertinya tempat ini bisa sangat sesak. Sepertinya bukan tempat yang asyik jika dikunjungi ramai-ramai orang!


3. Lembah Harau - Payakumbuh
suka sekali dengan sangkar-sangkaran ini

Rugi besar jika Anda telah sampai ke Payakumbuh tapi tidak ke Lembah Harau. Karena bagi saya, pemandangan yang ada di lembah ini memiliki keunikan tersendiri. Sesaat saya masuk ke area Harau saya merasa berada di dalam area Jurrasic World dimana hewan-hewan purbakala tinggal dan berkembang biak di sini. Ada kesan tua yang menakjubkan di tiap sudut lembah yang membuat saya tidak berhenti berdecak kagum.

Salah satu atraksi utama dari Lembah Harau adalah air terjunnya. Pilihan pemandangan di Lembah Harau saat Anda masuk ada dua tempat yaitu di sebelah kiri dan sebelah kanan. Dan rekomendasi saya untuk Anda yang mengincar tempat untuk foto-foto cantik ada di sebelah kiri saat pintu masuk. Karena saya datang bukan untuk main apalagi mandi di air terjun, dan air terjun di sebelah kiri jauh lebih bersih untuk foto-foto. Selain itu, di sebelah kiri juga ada semacam camp alam dimana ada tempat penyewaan kuda dan tempat foto dari akar-akar pohon yang menurut saya sangat instagramable. Di sebelah kanan juga ada tempat serupa, air terjun, tempat foto, dan bahkan tempat untuk bermain sampan. Tapi, karena saya datang ketika mulai memasuki waktu lebaran, kecantikan yang ada di area sebelah kanan terasa lebih sumpek dan sesak ketimbang sebelah kiri.


Satu hal yang saya sadari selama perjalanan di Lembah Harau ini adalah banyaknya perumahan ataupun resort untik yang ditawarkan. Mungkin jika Anda berminat untuk bermalam di sini, Anda bisa mencari tempat tinggal yang paling unik. Mulai dari yang berbentuk rumah gadang sampai dengan berdesain eco.  Dan untuk masuk ke daerah ini dikenakan biaya Rp 5.000 / orang.

4. Nagari Tuo, Desa Terindah - Pariangan
Sejujurnya saya enggak terlalu paham kenapa temapt ini bisa-bisanya menang sebagai desa terindah nomor lima di dunia versi TravelBudget.com. Entah karena ada rasa egois semata tapi saya merasa kampung halaman saya di Koto Laweh tidak kalah cantik dari Nagari Tuo Pariangan.

Jika dilihat dengan mata kepala sendiri, desa ini sebenarnya hampir mirip dengan desa-desa di kebanyakan tempat di daerah perbukitan Sumatera Barat. Tapi setelah saya baca kembali alasan TravelBudget memilih tempat ini adalah karena bangunan rumah yang ada di tempat ini masih dijaga dari ratusan tahun silam. Hal ini terlihat dari banyaknya bagunan rumah bertanduk yang mendominasi di rumah warganya. Dan, hal itu yang saya rasa hilang dari kampung saya.
Selain itu, Nagari Tuo juga diyakini sebagai tempat pertama suku Minang hadir dan menyebar di seluruh Sumatera Barat (yap, just because you lived in Sumatera Barat doesnt makes you a part of Minang tribe). Di sini juga terdapat beberapa peninggalan sejarah yang teramat tua dari era megalitikum. Hal ini dipercaya sebagai penanda desa Pariangan telah ada dari era tersebut.

Jika Anda mau mendaki sedikit lebih dke atas tangga yang telah disediakan, Anda bisa mendapat tempat foto tang cukup mumpuni untuk dipajang di social media Anda. Pemandangan gunung merapi dan bangunan desa dengan atap bertanduk bisa Anda dapatkan di sini.

5. Danau Ateh Danau Bawah - Solok
Sumatera Barat mungkin salah satu daerah di Indonesia dengan populasi danau yang cukup banyak mulai dari Danau Singkarak, Danau Maninjau, dan kini saya berkesempatan untuk mengunjungi Danau Atas dan Danau Bawah di Solok.
Cuacanya cukup membingungkan waktu saya ke sini, kadang berawan kadang cerah
 Jarak Solok dari tempat tinggal saya sekitar dua setengah jam. Sangat jauh tapi dipastikan jalannya sudah sangat bagus. Slok sendiri memiliki iklim yang serupa dengan kampung saya, relatif dingin dengan pemandangan gunung dan sawah sejauh mata memandang. Kalau di kampung saya lebih dekat ke Danau Maninjau, di Solok mereka memiliki danau kembar yang mereka bernama Danau Ateh dan Danah Bawah. Hal ini tidak masuk akal bagi saya karena dari apa yang saya lihat dari mata keduanya memiliki ketinggian yang sama. Tapi setelah saya cari tahu lewat Google (thank's God!) ternyata dua danau kembar ini berada di atas bukit yang berbeda dengan perbedaan ketinggian hampir 1 kilometer lebih. Wow!
pemandangan danau di atas dari dalam mobil
Bunga dan bakso, masuk akal kan? 

Untuk bisa melihat kedua danau yang bagi saya hasil dari fenomena alam yang mengagumkan ini kita harus mencari posisi terbaik. Supir saya memiliki rekomendasi puncak bukit yang bisa melihat kedua danau dengan leluasa. Walaupun tidak terlalu terlihat di foto tapi tempat ini sangat menyegarkan mata. Dan seperti biasa, untuk memasuki area ini tiap pengunjung dikenakan tiket Rp 5.000/ orang.
Di area puncak bukit ini juga terdapat banyak penjual tanaman, saya dan ibu saya membeli banyak bunga untuk di rumah kami. Harganya tidak terlalu mahal, dengan Rp 100.000 ibu saya bisa mendapatkan 8 jenis tanaman.

Selain ke lima tempat ini saya juga mengunjungi beberapa tempat yang umum saat berwisata ke Sumatera Barat seperti Jam Gadang, Great Wall Ngarai Sianok, Kelok 9, dan beberapa tempat lainnya. Tapi, saya merasa di tempat lima ini tempat dengan harga terjangkau dan hasil foto maksimal. Jadi, apa tempat favorit Anda saat di Sumatera Barat?

Share
Tweet
Pin
Share
1 comments
Newer Posts
Older Posts

Gita Adinda

Gita Adinda
Freelance writer full time day dreamer. Passionate story teller and traveler. Very critical about politic and music. Love sleeping and good food. True Cancer Signs.

About Me

Gita Adinda
View my complete profile

Blog Archive

  • ►  2020 (1)
    • ►  December (1)
  • ►  2019 (2)
    • ►  July (1)
    • ►  February (1)
  • ►  2018 (1)
    • ►  December (1)
  • ▼  2017 (27)
    • ▼  December (1)
      • Ambisius dan Banyak Mau: Cerita Jalan-Jalan GOV ke...
    • ►  November (1)
      • Jangan ke Jepang! Unless...
    • ►  July (2)
      • Kenapa?
      • 5 Tempat Wisata Instagramable di Sumatera Barat
    • ►  June (3)
    • ►  April (5)
    • ►  March (4)
    • ►  February (4)
    • ►  January (7)
  • ►  2016 (3)
    • ►  August (1)
    • ►  April (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2015 (1)
    • ►  November (1)
  • ►  2014 (2)
    • ►  August (2)

Follow Me at




Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates